Aku Pernah Jatuh dalam Pacaran yang Tidak Sehat, Namun Tuhan Memulihkanku

Oleh Grace Lim, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Lost My Virginity But Not My Faith

Usiaku masih cukup muda ketika aku menjalani sebuah hubungan romantis. Sejak usiaku 15 tahun, aku sudah mulai memiliki hubungan pacaran yang berlangsung cukup lama.

Pacar pertamaku adalah orang Kristen. Kami berdua percaya kepada Tuhan, tetapi itu tidak secara otomatis membuat hubungan kami menjadi sehat. Hubungan kami melampaui batas-batas keintiman, tapi kami belum pernah sekalipun melakukan hubungan seksual. Selama masa berpacaran itu, aku menyakinkan diriku bahwa segala hal yang kulakukan itu tidak apa-apa karena kami berdua “saling mencintai” dan “kami orang Kristen”. Setelah dua tahun menjalin relasi yang diwarnai ketidaksepakatan dan pertengkaran, hubungan kami pun berakhir.

Karena aku ingin melepaskan diriku dari segala masalah yang dulu ditimbulkan dari hubungan pacaran pertamaku, aku pun segera menemukan pacar baruku tanpa banyak berpikir ataupun diliputi rasa menyesal. Kali ini, pacarku bukan orang Kristen. Lagi-lagi, hubungan kami melampaui batas-batas yang seharusnya. Saat itulah kami melakukan sesuatu yang lebih jauh dari apa yang kami rencanakan sebelumnya. Singkatnya, aku kehilangan keperawananku. Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya dan tidak bisa tidur karena aku tahu apa yang terjadi hari itu tidak dapat diperbaiki kembali.

Sekalipun hubungan pacaranku ini tidak sehat dan kami bukanlah pasangan yang sepadan. Sulit bagiku untuk melepaskan diri dari hubungan ini. Selama hampir tiga tahun, hubungan ini terus berlanjut.

Selama tiga tahun itu, aku menghadapi pertempuran yang tidak pernah berakhir dengan jiwaku sendiri. Kehidupan seksualku yang kututupi ini sangat kontras dengan kehadiranku di gereja setiap minggunya. Aku merasa jijik, kotor, dan bersalah. Aku benci kepada diriku sendiri. Aku tahu bahwa apa yang kulakukan itu salah namun aku tidak punya kekuatan untuk melepaskan diri. Seperti sebuah kecanduan, aku memberitahu diriku sendiri: “Sekali lagi saja dan itu sudah cukup!” Tapi, “sekali lagi” itu tidak pernah menjadi yang terakhir.

Aku menjauh dari Allah. Sekalipun secara fisik aku hadir di gereja, tetapi secara rohani aku tidak di sana. Aku bisa mengajar untuk selalu mengutamakan Allah, tapi kenyataannya malah aku menjadikan keinginan dagingku sebagai penguasa atas hidupku. Aku bisa hadir dalam persekutuan doa, tapi pikiranku melayang-layang. Aku sedang menghidupi kehidupan bermuka dua, dan inilah yang menjadi rahasiaku yang paling dalam dan gelap.

Pada intinya, aku merasa begitu berdosa dan menganggap bahwa apa yang kulakukan itu sudah melampaui batas karunia keselamatan yang Allah sudah berikan untukku. Aku yakin bahwa Allah membenciku.

Namun, Allah tidak pernah menyerah denganku; Dia terus mengejarku. Orang-orang di sekitarku berusaha menjangkau dengan menanyaiku apakah aku baik-baik saja atau apakah aku membutuhkan teman bicara. Ayat-ayat Alkitab menegurku; khotbah-khotbah yang disampaikan mengetuk pintu hatiku dengan penuh kasih. Tapi, sama seperti Firaun, hatiku dikeraskan.

Bertahun-tahun kemudian, melalui kasih karunia Allah, mataku akhirnya terbuka. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang beracun ini, mengakui dosa-dosaku di hadapan Tuhan, dan sekalipun aku merasa begitu takut, ada sesuatu yang mendorongku untuk berani menceritakan hal ini kepada seseorang yang aku percayai.

Aku menemui kakak pembimbing rohaniku, seorang wanita di gereja yang dulu membimbingku selama aku remaja. Aku ingat sekali ketika dia menanyaiku apakah aku lebih nyaman berbicara melalui telepon atau lewat chat saja. Aku memilih opsi kedua karena aku merasa canggung dan takut dihakimi.

Akhirnya, aku mengumpulkan keberanianku dan aku pun menceritakan rahasia tergelapku kepadanya: aku tidak lagi perawan. Hatiku bergetar. Aku menduga bahwa dia akan menghakimiku atau mengatakan supaya aku sebaiknya pindah gereja saja.

Tapi, apa yang ada di pikiranku itu tidak terwujud. Alih-alih menghakimiku, dia mengatakan bahwa selama ini dia telah memperhatikanku dan dia melihat bahwa ada yang berbeda dariku. Aku menjadi orang yang kurang fokus dan sering tertanggu. Dia bahkan berterima kasih kepadaku karena aku bersedia membagikan kepadanya hal yang sulit untuk diungkapkan. Dia juga meyakinkanku bahwa hidupku belumlah berakhir dan Allah tidak membenciku karena dosa.

Dia mengingatkanku bahwa dosa adalah sesuatu tidak terelakkan, menjalar dalam kehidupan setiap orang. Manusia telah kehilangan kemuliaan dan kekudusan Allah (Roma 3:23). Apa yang telah kulakukan itu bukan berarti bahwa aku lebih buruk daripada orang lain. Aku hanyalah manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kemudian aku teringat ayat dari Roma 5:8: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”

Untuk pertama kalinya, aku mengerti sebuah kenyataan bahwa Allah sanggup mengampuni dosa yang membuatku sempat merasa bahwa aku telah terpisah dari-Nya selamanya. Tak peduli seberapa dalam aku terjatuh, aku tidak pernah terlalu jauh untuk diselamatkan Yesus. Malah, Yesus sudah terlebih dulu menyelamatkanku sejak aku menerima-Nya masuk ke dalam hatiku. Aku dipenuhi kasih karunia-Nya yang tiada bandingnya dan aku pun mengucap syukur bahwa Allah telah mendengar seruanku untuk “menyembunyikan wajah-Nya dari dosaku dan menghapuskan segala kesalahanku” (Mazmur 51:9).

Aku sadar bahwa Allah mengizinkan kesalahanku sebagai sarana untuk meremukkan egoku, untuk membawaku ke suatu titik di mana tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain daripada mencari-Nya. Di titik tergelap jiwaku itulah Allah memenuhiku. Tidak ada nama lain selain Yesus; aku tidak akan pernah mengalami atau mengetahui hal ini tanpa sebuah keputusasaan yang kualami hingga aku dikuatkan kembali oleh tangan-Nya yang setia.

Teruntuk kalian yang sedang bergumul dalam keterpurukan rasa malu, aku mau mendorong kalian dengan kebenaran-kebenaran berharga yang sebelumnya telah berbicara kepadaku:

  1. Jangan meremehkan kuasa darah dan penebusan Yesus. Allah berfirman kepada bangsa Israel yang terus menerus berpaling dari-Nya, “Aku, Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu” (Yesaya 43:25). Tentu, Allah pun akan mengingat kita. Karena Allah, masa lalu kita bukanlah sesuatu yang menentukan masa depan kita.
  2. Ingat bahwa kita semua adalah manusia yang rusak karena dosa, dan Allah tidak pernah memandang hina siapapun yang mencari Dia. “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mazmur 51:19).
  3. Meskipun keperawanan adalah hadiah yang indah bagi pasangan hidupmu, hal yang terbaik yang bisa kamu miliki adalah kasih yang teguh kepada Allah. Manusia mungkin melihat tampilan luarmu, tetapi Allah melihat hatimu (1 Samuel 16:7). Seorang pasangan hidup yang benar-benar mengasihi Allah akan melihat pertama-pertama kekudusan dan kemuliaan Kristus di dalam dirimu, bukan sesuatu yang hanya terlihat dari luar saja.

Satu minggu dalam hubungan yang kujalin dengan pasanganku sekarang, aku terdorong untuk menceritakan masa laluku kepadanya. Aku tahu bahwa tindakan ini memiliki risiko. Ketika akhirnya aku selesai berbicara kepadanya, tanggapannya memancarkan kasih Allah dan menurutku hampir sempurna. Dia mengatakan, “Aku tidak marah kepadamu. Kita semua punya kesalahan masing-masing, tapi kesalahan-kesalahan itu tidak mendefinisikan siapa dirimu sesungguhnya. Bukankah ini yang membuat kita perlu Tuhan? Kita memang melakukan kesalahan, tapi kita sendiri adalah bagian yang berbeda dari dosa-dosa itu karena pengampunan Allah. Dosa-dosa bukanlah bagian dari identitas kita lagi. Aku tetap mengasihimu.”

Seiring berjalannya waktu, aku belajar bahwa pergumulan yang kualami bukanlah pergumulan yang kualami sendirian. Allah bisa menggunakan kerapuhan dan kehancuran kita untuk kemuliaan-Nya. Apa yang semula menjadi beban yang sangat berat untuk dipikul dapat menjadi sebuah kesaksian yang bisa kugunakan untuk menjangkau dan membagikan kasih Allah kepada orang-orang lain yang juga bergumul sepertiku dan aku pun bisa menjadi wadah supaya mereka dapat merasakan kasih Allah.

Doaku untuk semua orang yang sedang bergumul adalah bahwa Allah akan mengubah rasa sakitmu menjadi kekuatanmu dan kesaksianmu untuk melayani orang lain dan memuliakan nama-Nya. Berdoalah setiap hari untuk pemulihan dan serahkanlah segala bebanmu kepada Allah. Temukanlah teman atau pembimbing yang bisa kamu percayai, dan jalanilah proses pemulihan ini bersama-sama. Tangan Tuhan selalu terbuka untuk menerimamu, sama seperti seorang ayah yang menyambut anaknya yang hilang (Lukas 15:11-31).

 

 

 

 

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber : www.warungsatekamu.org

Leave a Comment