Apakah Kamu Orang Percaya?

Oleh: Chia Poh Fang
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Are You A Believer?

Apakah kamu orang percaya? Mungkin kamu akan terkejut mengetahui bahwa kita semua adalah orang percaya—terlepas dari apa pun agama yang kita anut.

Kita semua hidup oleh iman setiap hari—kita mengimani bahwa alarm jam kita akan membangunkan kita tepat waktu dan percaya bahwa kita masih akan hidup untuk menghadapi hari esok. Setiap kita memiliki serangkaian asumsi tertentu tentang bagaimana kehidupan ini seharusnya berjalan. Kita duduk di atas sebuah kursi dengan asumsi bahwa kursi itu sanggup menopang berat badan kita. Kita membuat rencana untuk hari esok karena kita percaya kita akan hidup untuk menjalankan rencana-rencana itu.

Kita adalah sekelompok makhluk yang beriman. Setiap kita menganut keyakinan, nilai, dan pengetahuan tertentu, dan kita memegang hal-hal tersebut sebagai kebenaran dalam hidup kita. Apa yang kita anggap sebagai kebenaran itu menentukan tindakan-tindakan kita dan membentuk proses berpikir kita, seringkali tanpa kita menyadarinya.

Seperti organ jantung, pandangan-dunia—cara kita menerima dan menanggapi sekeliling kita—diam-diam menjadi penggerak banyak hal yang terjadi dalam hidup kita. Jantung kita memompa darah dengan kecepatan 70 kali per menit. Dalam satu tahun, jantung kita akan memompa 3,5-7 juta liter darah melalui seluruh tubuh (tergantung aktivitas kita). Apa yang dikerjakan jantung kita dalam 12 jam setara dengan pekerjaan mengangkat sebuah mobil tangki 65.000 kg sejauh 30 cm dari atas permukaan tanah. Aktivitas yang tidak terlihat namun konsisten inilah yang menjaga kita tetap hidup.

Untuk dapat tetap prima dan untuk mencegah sakit mendadak, kita harus tetap menjaga kesehatan dengan memperkuat ritme jantung kita melalui olahraga yang teratur dan diet yang seimbang. Kita harus mengawasi kadar kolesterol kita untuk mencegah serangan jantung. Jika pandangan-dunia kita ibaratkan sebagai jantung, kita harus terus-menerus memeriksa asumsi-asumsi yang kita miliki. Apakah ada “lemak” dalam pola pikir kita? Bagaimana cara kita melatih penalaran kita? Nutrisi apa yang saat ini kita berikan untuk pemikiran kita?

Sangatlah menarik memperhatikan bahwa sebuah pengalaman yang sama dapat memunculkan penafsiran yang berbeda-beda dari orang yang berbeda. Yang satu bisa merasa begitu sial lalu mengumpat, yang lain melihat adanya berkat lalu bersyukur. Mengapa bisa muncul tanggapan yang jauh berbeda?

Mungkin, karena sebagian dari kita percaya bahwa seseorang merupakan produk dari pengalamannya. Kita percaya bahwa orang-orang yang terlibat di sepanjang masa pertumbuhan kita serta berbagai hal yang kita jumpai dalam hidup, punya peran yang sangat besar dalam menentukan cara kita berhubungan dengan dunia di sekitar kita. Jika pandangan ini benar, kita sama sekali tidak bisa mengendalikan hidup kita. Kita hanyalah korban dari zaman ini, dipermainkan oleh takdir, diombang-ambingkan oleh angin keberuntungan. Orang yang memiliki cara pandang semacam ini jarang mau mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Mereka punya kecenderungan untuk menyalahkan orang lain dan situasi di sekitar mereka. Pertanyaanku adalah: Apakah orang yang demikian membangun hidup di atas sebuah asumsi yang masuk akal?

Sebagian orang lainnya percaya bahwa manusia memegang kunci masa depan mereka sendiri. Istilah para filsuf untuk orang-orang yang demikian adalah para “humanis”. Mereka tidak pasrah pada situasi yang ada, mereka berusaha menaklukkannya. Mereka sepertinya percaya bahwa manusia itu sempurna—benarkah manusia tidak pernah gagal?

Dua contoh tersebut mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan perilaku manusia yang sangat kompleks. Poin yang ingin aku tunjukkan adalah bagaimana kedua sistem kepercayaan dan pola perilaku yang dihasilkannya itu dibangun di atas dasar yang sama: asumsi-asumsi yang tidak diuji secara cermat. Parahnya lagi, kita bisa saja memegang dua asumsi yang bertolak belakang pada saat yang sama, dan tindakan yang kita ambil bisa berbeda-beda tergantung situasi yang kita hadapi. Hal ini membuat kita menjadi orang-orang yang tidak punya prinsip, yang menjalani hidup hanya berdasarkan naluri untuk melindungi dan mencari kenyamanan diri. Kita mengiyakan kepercayaan apapun yang paling cocok dengan minat kita pada satu waktu tertentu.

Mungkin ini waktunya bagi kita untuk memperhatikan nasihat Jonathan Edwards, salah satu filsuf dan ahli teologi di Amerika yang banyak dikenal karena pemikiran-pemikirannya yang penting dan orisinal: “Sangatlah penting untuk selalu menyelidiki hatimu; agar di dalamnya citra Tuhan dapat tertanam; hal-hal yang disukai-Nya dapat terus berkembang; dunia dan kedagingan dapat ditaklukkan; cinta akan dosa dapat disingkirkan, dan cinta akan kekudusan dapat bertumbuh.

Mari memeriksa apa yang kita percayai dan mengapa kita mempercayainya, karena keyakinan kita membentuk kelakuan kita. Salah satu cara terbaik untuk memeriksa keyakinan kita adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan kita lalu bertanya: Mengapa aku melakukan hal ini? Mengapa aku mengucapkan hal itu? Lebih penting lagi, kita perlu menanyakan: Apakah sikapku mencerminkan citra Allah dan hal-hal yang disukai-Nya? Apakah aku sedang bertumbuh dalam kekudusan atau keduniawian?

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment