Belajar dari Perbedaan Suku: Kasih Mengalahkan Prasangka

Oleh Paramytha Magdalena, Surabaya

Saat SD dulu, aku bersekolah di SD swasta di dekat rumahku. SDku itu merupakan SD Katolik, tetapi murid-muridnya tidak hanya diisi oleh orang Katolik dan Protestan saja, ada dari agama-agama lain juga. Jika dilihat dari komposisi sukunya, kebanyakan teman-temanku berasal dari etnis Tionghoa, dan aku sendiri berasal dari etnis Jawa.

“Duh, ketemu dia lagi, dia lagi,” kataku saat bertemu temanku yang kebetulan adalah seorang keturunan Tionghoa.

Aku mengalami kesulitan untuk membaur dengan mereka. Di satu sisi, aku menganggap mereka dululah yang sulit membaur, dan aku pun memelihara persepsi buruk lainnya tentang mereka di benakku. Kesan buruk ini diperparah ketika aku duduk di bangku SMP. Waktu itu temanku yang adalah seorang Tionghoa sering menyuruh-nyuruhku seenaknya. Kami pun sempat bertengkar dan aku ditampar olehnya. Sejak saat itu, aku tak mau lagi berurusan dengannya. Aku lalu menganggap bahwa semua orang yang sesuku dengan temanku itu punya karakter yang sama.

Ketika masuk SMA, aku pindah ke sekolah negeri. Sekarang teman-temanku banyak yang satu suku denganku, dan aku pun senang. Begitupun selanjutnya saat aku kuliah S1 dan S2.

Hingga saat aku masuk dunia kerja, aku bertemu dengan seorang rekan Tionghoa. Pertemuan kami terjadi tidak sengaja karena aku dikenalkan oleh temanku. Kami menjadi kawan karena menyenangi aktivitas sosial kemasyarakatan seperti penyuluhan, edukasi, dan promosi tentang kesehatan. Jika dulu aku sempat berpikir buruk dengan rekan-rekan Tionghoaku, kali ini pikiran buruk itu pelan-pelan terkikis. Rekan Tionghoaku sekarang ini begitu ramah, ia selalu tersenyum kepada orang lain. Ia tidak segan memberikan apa yang jadi kepunyaannya untuk membantu orang lain dan dengan kerelaan hati, dia mengedukasi orang-orang tentang kesehatan. Aku pun dibuatnya kagum.

Seiring waktu, aku melihat pengabdian dan passion yang temanku itu curahkan. Ia mau mengasihi sesama, tidak mencari keuntungan pribadi, dan melayani tanpa melihat latar belakang orangnya. Ia memiliki klinik yang tak jauh dari rumahnya. Kliniknya kecil, tapi pasien yang antre di kliniknya banyak karena biaya berobatnya yang terjangkau. Yang paling mengejutkanku adalah ada seorang ibu dari keyakinan lain, yang pakaiannya sangat tertutup datang dan mengantarkan anaknya berobat di situ. Dari ruang tunggu pasien, aku mendengar mereka mengobrol akrab. Aku heran, tapi juga terpesona!

Pengalaman yang kulihat hari ini membuatku melihat kembali kesan buruk yang pernah kutorehkan kepada teman-temanku yang tidak sesuku denganku. Karena perbuatan buruk satu orang, aku pernah membuat generalisasi bahwa seseorang dari suku ini pasti melakukan itu. Padahal, itu adalah cara pikir yang tidak benar. Seharusnya tidak ada lagi ungkapan “Oh dia dari suku Jawa, Tionghoa, Batak”, dan lainnya. Atau berpikiran oh dia dari keyakinan yang berbeda, atau dia berkeyakinan sama. Apapun latar belakangnya, kita semua dikaruniai satu identitas kebangsaan: Indonesia, sebuah bangsa yang telah berkomitmen untuk bersatu. Berangkat dari pemahaman itulah aku mengubah cara pikir dan sikapku. Aku tidak lagi membeda-bedakan responsku hanya karena perbedaan suku maupun agama.

Kasih yang rekanku curahkan untuk sesamanya adalah sebuah cara yang ampuh untuk menghilangkan prasangka-prasangka buruk. Aku percaya, dari pelayanannya banyak orang-orang yang diberkati. Dan, sudah selayaknya kita semua yang mengaku murid Kristus menunjukkan kasih kita kepada sesama kita, mulai dari keluarga dan teman-teman di sepergaulan kita.

Memberikan stigma atau label negatif kepada orang lain tidak akan memberikan kedamaian bagi kita. Segala perbedaan yang ada di Indonesia, dengan lebih dari 700 suku, adalah sebuah keanekaragaman yang memperkaya Indonesia sebagai bangsa yang besar yang punya komitmen Bhinneka Tunggal Ika.

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Roma 12:18).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment