Belajar Memaknai Kasih dari Sudut Pandang yang Berbeda

Oleh Bagaskara Wijaya

Sepuluh tahun lalu, aku pernah mengeluh dalam doaku kepada Tuhan:

“Seandainya aku punya ayah yang benar-benar mencintaiku, pasti hidupku tidak akan begini,” ucapku.

Dilahirkan di keluarga broken-home bukanlah sebuah kehidupan yang aku inginkan. Tapi, di sinilah Tuhan menempatkanku, di sebuah keluarga yang terkoyak dalam konflik dan perceraian. Menurutku, sebenarnya sumber konflik utama dalam keluargaku adalah ayahku. Sebagai seorang yang dibesarkan di tanah rantau dan dalam keluarga broken-home juga, karakter ayahku sangat keras. Dia sering berkata kasar, membentak, bahkan tak segan untuk menggunakan kekerasan. Karena perangainya yang demikian, ibuku sempat melarikan diri darinya dan aku pun merasa bahwa ayahku bukanlah ayah yang terbaik untukku.

Setiap kali aku berkunjung ke rumah temanku, ataupun saat aku berjalan-jalan dan melihat ada seorang anak yang begitu akrab dengan ayahnya, di situ hatiku merasa sedih dan tertusuk. Imajiku berandai-andai bilamana aku bisa menikmati kemesraan seperti itu dengan ayahku. Ah, tapi itu hanya sekadar imaji, hiburku pada diri sendiri. Tapi, tak jarang aku pun menangis karena mendambakan seorang ayah yang bisa hadir secara nyata, memberi kata-kata semangat, dan memelukku kala aku merasa lemah.

Bertahun-tahun, setiap kali berdoa, isi doaku selalu sama, yaitu mengeluh dan memohon. Aku mengeluh karena perangai buruk ayahku yang dilakukannya kepadaku dan ibuku. Dan, aku memohon supaya Tuhan berkenan mengubahkan ayahku supaya kelak keluargaku pun dipulihkan seutuhnya.

Syukurlah, karena sekalipun isi doaku selalu sama, nyata-nyatanya Tuhan tidak pernah lelah mendengarkan doaku. Telinga-Nya selalu dengar-dengaran terhadap setiap rintihanku. Juga, kasih-Nya selalu mendekapku. Hanya, jawaban doa yang Tuhan berikan, tidak melulu senada dengan apa yang kuinginkan.

Sewaktu aku memohon supaya Tuhan mengubahkan ayahku, Dia tidak segera mengubahkan ayahku saat itu juga seperti adegan sulap.

Singkat cerita, di tahun 2016, perjalanan studiku di perguruan tinggi pun usai. Aku dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana dengan IPK 3,71. Cum Laude! Saat pelaksanaan wisuda mendekat, aku mencoba menelepon ayahku. Aku mengundangnya untuk hadir dalam pelaksanaan wisudaku. Sebelumnya, ibuku sudah mengatakan bahwa ayah tidak mungkin mau menghadiri wisudaku. Tapi, entah mengapa, aku tetap ingin mengundangnya walau sebenarnya aku tidak berharap banyak apabila ayahku akan datang, karena saat itu ayah dan ibuku sudah tidak tinggal bersama lagi.

Namun, aku cukup terkejut saat ayahku mengatakan bahwa dia akan menghadiri wisudaku. Dan, yang lebih mengherankan lagi, katanya dia akan mengajak ibuku juga untuk hadir! Aku tercengang, tapi tidak mau berpikir jauh-jauh. Yang ada dalam imajiku adalah nanti orangtuaku datang wisuda, berfoto bersama, lalu selesai, pikirku seperti itu.

Setelah upacara wisuda selesai, sambil memakai toga dan mengalungi piagam, aku menghampiri ayahku. Aku tidak tahu hendak berkata apa, demikian juga dengan ayahku. Dia tidak banyak berkata. Hanya menatapku dengan ekspresi datar. Kemudian, dia menepuk pundakku, dan senyumnya pun merekah.

Peristiwa ini sebenarnya sangatlah sederhana. Namun, buatku peristiwa ini begitu luar biasa. Bukan karena gelar cum laude yang aku raih. Bukan karena saat wisuda aku sudah diterima bekerja. Tapi, senyuman ayahku itulah yang menggetarkan hatiku. Senyuman itu adalah senyum paling tulus yang pernah ayahku berikan. Senyuman itu menumbangkan segala imaji negatif tentang ayahku yang selama bertahun-tahun kupelihara tumbuh di dalam hatiku.

Memang benar bahwa ayahku adalah ayah yang sering berkata kasar dan ringan tangan. Memang benar bahwa ayahku bukanlah ayah yang romantis, yang tak pernah mengucapkan kata “aku mengasihimu” kepadaku. Memang benar bahwa ayahku tidak seperti ayah-ayah lain yang bisa bersenda gurau dan bercengkrama dengan anaknya. Tapi, di balik semuanya itu, aku lupa bahwa Tuhan sejatinya tidak pernah menciptakan kesalahan di dalam dunia ini, termasuk ketika dia mengizinkanku untuk menjadi seorang putra dari ayahku.

Hari itu, aku menyadari bahwa selama ini aku telah salah memandang ayahku. Aku tahu bahwa sikap dan perbuatan ayahku adalah salah dan tidak terpuji. Aku boleh membenci dosa-dosa yang dilakukan ayahku, tetapi tidak seharusnya aku membenci pribadinya. Di balik perangainya tersebut, ada satu kebenaran yang baru saat ini aku pahami. Aku sempat menyesal, seandainya saja aku memahami kebenaran ini sedari awal, mungkin aku tidak akan memelihara rasa pahit dalam hatiku lama-lama.

Setiap orang, termasuk ayah, memiliki bahasa kasihnya masing-masing. Ada seorang yang mengungkapkan bahasa kasihnya dengan ucapan yang menyejukkan hati. Ada seorang yang mengungkapkan ekspresi kasihnya dengan sentuhan dan dekapan hangat. Ada seorang yang mengungkapkan empati terdalamnya dengan pemberian. Tapi, bahasa dan ekspresi kasih terdalam ayahku sejatinya telah dia wujudkan dalam rupa kerja keras.

Kerja kerasnya siang malam berjualan makanan di atas gerobak adalah wujud kasih paling tinggi yang bisa dia berikan kepadaku hingga akhirnya aku bisa menyelesaikan studiku. Dia sudah terlalu lelah setiap harinya hingga tak punya lagi waktu luang untuk berjalan dan bercengkrama bersamaku. Tubuhnya sudah dipenuhi peluh hingga dia sungkan untuk mendekapku. Di balik perangainya yang buruk, tersimpan sebuah niatan tulus yang tak mampu terlihat olehku kala itu.

Momen wisuda ini mengajariku untuk belajar memaknai kasih dari sudut pandang yang berbeda, tak hanya kepada ayahku, juga kepada orang-orang lain. Selama ini aku selalu melihat kasih dari sudut pandang “aku” saja. Jika ayahku mengasihiku, maka dia harus berbuat ini dan itu untukku. Jika ayahku mengasihiku, maka dia harus mengatakan ini dan itu kepadaku. Sudut pandang ini pada akhirnya membuatku hanya mampu melihat kasih secara dangkal tanpa pernah memahami lebih jauh tentang bagaimana kasih itu diproses. Ketika apa yang diperbuat oleh seseorang tidak memenuhi ekspektasiku, atau ketika caranya berbeda dari apa yang kuinginkan, aku pun jadi kecewa dan tak jarang segera melabeli bahwa orang itu tidak mengasihiku. Padahal hal ini hanyalah prasangkaku saja. Kenyataannya mungkin berbeda.

Tapi, bagaimana jika aku belajar memaknai kasih dari sudut pandang “dia”? Sudut pandang ini dapat menolongku untuk mengikis rasa egosiku, juga menghidarkanku dari prasangka negatif. Jika sebelumnya fokusku lebih ke diri sendiri, aku mencoba untuk melihat dari sudut pandang orang itu, mencoba memahami seandainya akulah yang berada di posisinya. Alih-alih tersinggung karena ucapan ayahku, aku belajar memahami bahwa di balik kata-katanya itu mungkin saja ayahku lelah dan ada beban pikiran yang tak mampu dia utarakan.

Perubahan sudut pandang ini mungkin tidak mengubahkan ayahku secara langsung, tetapi secara nyata perubahan ini mengubahku. Aku mampu memandang ayahku dengan lebih positif. Tiada lagi prasangka dan kepahitan yang tumbuh subur di dalam hatiku. Dan, kupikir, sejatinya inilah jawaban doa yang Tuhan berikan kepadaku.

Tuhan tidak mengubahkan ayahku dan keluargaku secara sekejap. Melainkan, melalui perjalanan selama bertahun-tahun, Dia mengizinkanku untuk mengecap sebuah proses dan memahami bahwa Dia tidak sedang menempatkanku dalam kesalahan. Dia hanya ingin supaya aku bisa memiliki kasih yang tulus. Bukankah Rasul Paulus dalam suratnya pernah berkata bahwa kasih adalah pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan?

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kolose 3:13-14).

Saat ini, dua tahun hampir berlalu sejak peristiwa itu. Lambat-laun, ada relasi yang mulai pulih. Jika dahulu aku menjadi seorang yang menuntut kasih dari ayahku, sekarang aku menjadi seorang yang proaktif mewujudkan kasih untuk ayahku. Jika dahulu aku ingin supaya dia mengajakku pergi dan bercengkrama, sekarang akulah yang mengajaknya. Jika dahulu aku ingin supaya dia berkata-kata yang baik, akulah yang memulai pembicaraan yang berisi kata-kata yang membangun kepadanya.

Pada akhirnya, kasih itu tidak selalu bicara tentang bagaimana kita diberi, melainkan tentang bagaimana kita memberi. Kristus telah memberikan kasih dan pengampunan-Nya terlebih dahulu kepada kita, bahkan saat kita masih tidak menyadari akan betapa butuhnya kita akan kasih-Nya. Oleh karena itu, hari ini, maukah kita meneruskan kasih-Nya dengan komitmen untuk mengasihi sesama kita? Mulailah dari orang yang paling dekat dengan kita.

“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:8).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment