Berjalan dalam Kerendahan Hati Kristus

Baca: Filipi 2:5-8

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Aku tidak akan pernah melupakan pengalaman ketika aku pindah di tahun pertama kuliahku. Gejolak emosiku memuncak saat aku menghadiri kebaktian khusus bersama rektor. Beliau adalah seorang guru dan teolog yang dihormati. Orang tuaku antusias untuk mendengar khotbahnya dan bahkan menyalaminya. Bagi mereka, beliau adalah seorang “raksasa iman”.

Di akhir pidatonya, beliau melakukan tindakan yang luar biasa untuk seseorang dengan status terhormat sepertinya. Beliau meminta semua mahasiswa tahun pertama untuk maju menghadap mimbar dan berlutut menerima berkat. Sang rektor, dalam usianya yang melampaui 70 tahun, mengenakan setelan resmi, turut berlutut hingga hampir terjatuh. Beliau kemudian menengadahkan tangannya ke atas para mahasiswa dan berdoa untuk kami.

Rasanya mengejutkan untuk melihat pemimpin senior dan dihormati ini berkenan memosisikan dirinya dalam postur yang tidak nyaman demi para mahasiswa muda. Sikap berlututnya menggambarkan kerendahan hatinya.

Dalam suratnya kepada gereja Filipi, Paulus menasihati para pengikut Kristus untuk selalu rendah hati dan “berpikir seperti Yesus Kristus” (Filipi 2:5). Kebanyakan dari kita akrab dengan gambaran Yesus sebagai seorang pelayan yang rendah hati—halus, lembut, baik hati. Tapi penting juga untuk tidak melupakan betapa kerendahan hati ini sangat berlawanan dengan dunia ini yang begitu menghargai prestasi, status sosial, dan kekayaan.

Paulus memberitahu para jemaat Filipi bahwa meskipun Yesus dalam naturnya adalah Tuhan, Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Bapa sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Malahan, Yesus “membuat dirinya menjadi bukan siapa-siapa”—bukannya menggunakan hak istimewanya yang Ilahi untuk keuntungan-Nya sendiri, Yesus menanggalkan semuanya untuk menjadi sama seperti manusia (ayat 7). Dia juga “mengambil rupa seorang hamba” (ayat 7), bukan rupa sebagai raja, yang seharusnya bisa dipilih-Nya.

Yesus memilih untuk dilahirkan sebagai seorang manusia, menerima semua keterbatasan tubuh manusia yang terikat dengan tempat dan waktu dan dibalut dalam kulit yang tidak sempurna. Sampai akhirnya, Yesus “merendahkan diri-Nya sendiri dengan menundukkan diri kepada kematian—bahkan kematian di atas kayu salib!”. Ia menyerahkan diri kepada rancangan indah Allah meskipun itu membuat Ia sengsara dan terhina (ayat 8).

Ketika Paulus mendorong orang-orang Kristen untuk “memiliki pola pikir yang sama” seperti Yesus (ayat 5), hal itu bisa terasa susah dan tidak nyaman bagi kita. Tapi, itu juga memerdekakan kita. Ketika kita bersedia memiliki kerendahan hati, kita bisa keluar dari jerat perlombaan mengejar kekuasaan, kejayaan, dan kekayaan yang dunia agung-agungkan. Kita bisa mengaku bahwa kita memang terbatas, tapi ada Satu yang tidak terbatas. Kita dapat menundukkan diri kepada rencana Tuhan, meskipun itu tidak masuk akal bagi dunia sekitar kita. Pemahaman inilah yang mengubah cara kita berhubungan dengan anggota lain dalam keluarga Tuhan—gereja. Hidup dengan kerendahan hati memungkinkan kita untuk menjadi “sepemikiran, memiliki kasih yang sama, dan menjadi satu dalam roh dan satu dalam pikiran” (ayat 2).

Jadi, bagaimana cara kita mengikuti kerendahan hati Yesus dalam keseharian kita? Mungkin kita tidak dipanggil untuk memanggul salib dengan cara disiksa sampai berdarah-darah, tetapi kita bisa mencari cara untuk memakai hak istimewa kita untuk memberkati orang lain, bukan untuk keuntungan kita sendiri. Alih-alih mengejar posisi yang tinggi, kita bisa mulai melayani dari posisi bawah. Alih-alih berusaha tampil sempurna, kita bisa menerima dan menghargai keterbatasan kita. Dan, kita pun bisa dengan rendah hati menerima apa yang Tuhan telah berikan kepada kita sebagai bagian dari rancangan indah-Nya.— Karen Pimpo, Amerika Serikat.

Handlettering oleh Gerardine Eunike

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kamu dapat meniru kerendahan hati Kristus dalam keseharianmu?

2. Bagaimana kamu dapat “memiliki pola pikir yang sama seperti Kristus” dalam hubunganmu dengan sesama?

3. Adakah seseorang yang dapat kamu layani dengan rendah hati hari ini?

4. Hal-hal apa yang sulit kamu lepaskan? Bagaimana teladan Kristus dapat mendorongmu untuk melakukannya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment