Berkali-kali Gagal Mencari Pekerjaan, Tuhan Membawaku pada Rencana-Nya yang Tak Terduga

Oleh Aryanto Wijaya

Satu hari setelah dinyatakan lulus sebagai Sarjana, aku pikir kehidupan akan menjadi lebih mudah. Aku tidak perlu lagi berpikir keras untuk merangkai kata-kata dalam skripsi, ataupun memikirkan tugas-tugas kuliah lainnya. Tapi, semua itu hanya sementara hingga sebuah pertanyaan menyergapku, “Habis lulus mau ngapain dan kerja di mana?”

Menjadi seorang wartawan adalah cita-citaku sejak masih menjadi seorang mahasiswa baru. Kesukaanku akan menulis dan jalan-jalan menjadi motivasi utamaku untuk kuliah di Jurusan Jurnalistik. Namun, menjelang lulus aku harus menghadapi dilema yang mungkin juga dihadapi oleh teman-teman sejurusan lainnya. Pilih passion atau gaji? Pilihan yang berat untuk seorang fresh graduate, apalagi di Yogyakarta gaji pekerjaan di bidang Jurnalistik hanya sejumlah UMR saja. Akhirnya, aku menjatuhkan pilihanku pada gaji dan untuk mendapatkan gaji besar, tentu aku harus bekerja juga di perusahaan ternama. Itulah yang ada di pikiranku saat itu.

Di minggu pertama setelah ujian skripsi, aku segera mengikuti bursa pameran kerja yang diselenggarakan di Solo. Dari Yogyakarta, dengan bersemangat aku mengendarai motor sambil membawa 30 lembar CV. Tapi, semangatku seketika luntur tatkala dari puluhan perusahaan yang membuka lowongan, tak satu pun yang aku tertarik untuk melamar di sana. Kebanyakan perusahaan-perusahaan itu hanya membuka lowongan sebagai marketing, bidang yang aku tidak terlalu tertarik untuk menekuninya.

Aku belum mau menyerah. Aku bergabung dengan sebuah grup di LINE yang berisikan ratusan mahasiswa pencari kerja. Setiap hari selalu ada info lowongan dan bursa kerja. Satu minggu setelah pameran bursa kerja pertama, aku mengikuti bursa kerja lainnya. Kali ini ada dua perusahaan berskala nasional yang membuatku tertarik. Di kedua perusahaan itu aku melamar dan berharap supaya bisa lolos seleksi.

Perusahaan pertama menggelar seleksi terlebih dahulu. Namun, aku cukup ragu karena perusahaan ini adalah perusahaan rokok, sedangkan aku sendiri tidak merokok. Aku lolos di seleksi administrasi dan besok harus melanjutkan tahap kedua, yaitu psikotes. Namun, di tahap kedua inilah aku gagal. Dari 300-an peserta, hanya 75 orang yang dinyatakan lolos ke seleksi selanjutnya.

Masih belum patah semangat, aku menyiapkan diri untuk seleksi psikotes di perusahaan kedua. Lagi-lagi aku gagal karena aku merasa soal-soal yang diberikan cukup sulit. Waktu itu aku mendaftar dengan teman-teman lainnya. Karena mereka juga tidak diterima, jadi aku tidak merasa terlalu kecewa. Selain mendatangi langsung bursa pameran kerja, aku juga mencoba melamar kerja secara online. Ada sekitar lima perusahaan yang aku kirimkan aplikasi lamaranku, namun tak satu pun yang merespons.

Memikirkan kembali esensi bekerja

Kegagalan itu membuatku berpikir keras. Apakah memang yang kubutuhkan nanti dalam bekerja hanya sekadar gaji? Apakah nama perusahaan yang besar nanti memang akan membuatku bangga? Apakah aku tidak ingin mengembangkan ilmu jurnalistik yang telah kudapat di kuliah lewat pekerjaan yang nanti kukerjakan? Pertanyaan itu membuatku memikirkan ulang langkah apa yang seharusnya kuambil.

Waktu itu, aku melihat ada lowongan kerja sebagai editor untuk sebuah website yang dikelola oleh yayasan non-profit di Jakarta. Aku tertarik untuk mendaftar karena walaupun bukan wartawan, pekerjaan sebagai editor itu erat kaitannya dengan jurnalistik. Tapi, aku ragu karena aku masih mendambakan supaya bisa bekerja di perusahaan ternama dengan gaji besar. Jadi, aku mencoba mendaftarkan diriku ke sebuah perusahaan lainnya yang menurutku terkenal. Walaupun yang kulamar tidak sesuai dengan jurusanku, tapi aku ingin sekali diterima di sana .

Namun, pertanyaan itu kembali menghantuiku. Di tengah rasa bimbang itu, aku memutuskan pergi sejenak ke rumah temanku yang berada di Cilacap supaya bisa menenangkan diri. Aku juga berdoa meminta Tuhan boleh memberiku petunjuk mengenai langkah apa yang harus kuambil. Setiap kali berdoa, aku merasakan ada dorongan di hatiku untuk mencoba mendaftar sebagai editor di yayasan non-profit itu. Setelah berkonsultasi dengan temanku, dia menjawab tidak ada salahnya untuk mencoba saja mendaftar di yayasan itu.

Akhirnya aku mendaftar di yayasan itu dan mengikuti serangkaian seleksi rekrutmen. Satu minggu berlalu, tatkala aku membuka e-mail, aku kaget. Perusahaan besar yang kulamar mengirimi aku e-mail bahwa aku lolos tahap psikotes dan diharap melanjutkan tahap seleksi di Jakarta. Sementara itu, yayasan non-profit itu juga mengirimi aku pesan serupa supaya aku tiba di Jakarta tepat keesokan hari.

Jika beberapa bulan lalu aku sempat khawatir karena ketakutan tidak bisa mendapat pekerjaan, hari itu aku bingung karena dua pilihan yang tersaji di depanku. Aku takut apabila pilihan yang kuambil ternyata salah. Aku berdoa lagi dan lagi, serta menceritakan kebimbangan ini kepada teman-teman di kost. Akhirnya, di malam hari aku mengambil kesimpulan demikian, “Perusahaan yang menerimaku duluan, itulah yang akan kuambil.” Seberapa pun gaji yang nanti akan diberikan, selama itu cukup untukku memenuhi kebutuhan hidup, aku akan menerima tawaran pekerjaan itu.

Keesokan paginya aku terbang ke Jakarta. Setelah melakukan wawancara lanjutan, yayasan non-profit itu menerimaku bekerja sebagai seorang editor. Sesuai dengan keputusanku malam sebelumnya, aku menerima tawaran bekerja di sana. Kemudian, aku mengirim e-mail mengundurkan diri ke perusahaan yang seharusnya aku melakukan seleksi lanjutan.

Pilihanku untuk bekerja sebagai seorang editor

Setelah aku menerima tawaran kerja sebagai editor, aku tidak lagi mencari-cari pekerjaan lainnya. Aku mengundurkan diri dari grup pencari kerja di LINE. Sembari menanti wisuda di akhir November 2016, aku menyiapkan diri untuk pindah ke Jakarta. Sejujurnya, aku takut akan hari-hariku nanti setelah lulus kuliah. Tapi, aku teringat akan firman Tuhan yang berkata bahwa “kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. Aku berdoa supaya di hari-hari yang kulewati, aku boleh belajar taat.

“Apakah menjadi editor adalah memang panggilan Tuhan dalam hidupku?” Tanyaku dalam hati. Waktu itu aku tidak tahu jawabannya, apakah ya atau tidak. Tapi, satu yang aku tahu bisa lakukan adalah coba saja jalani dulu pekerjaan ini. Satu bulan pertama bekerja sebagai editor adalah masa-masa transisi. Di samping aku harus menyesuaikan diri dari lingkungan hidup yang kontras antara Yogyakarta dan Jakarta, aku juga harus belajar segala sesuatu tentang dunia editor dari nol. Ilmu yang kudapat selama kuliah ternyata belum cukup untuk menjadi seorang editor yang tak hanya mampu mengedit, namun juga mampu menulis dan bertindak amat teliti.

Setiap harinya, aku menerima tulisan-tulisan yang dikirim oleh penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka itu unik. Ada yang berkisah tentang opininya, namun banyak pula yang bercerita mengenai pengalaman hidupnya. Dari sekian banyak tulisan, biasanya ada beberapa tulisan yang membuatku terharu. Ada seseorang yang mengalami kecelakaan, namun tidak menyerah dan tetap sanggup mengakui Tuhan itu baik. Ada yang menulis tentang hatinya yang hancur setelah berpacaran sekian lama namun putus tanpa alasan yang jelas. Bahkan, ada pula seorang nenek berusia 71 tahun yang tubuhnya tak lagi prima dan penglihatannya kabur, namun masih semangat menulis.

Penulis-penulis inilah yang membuatku bersukacita setiap harinya dan menguatkanku bahwa pekerjaan inilah yang memang Tuhan siapkan untukku. Untaian kata yang mereka kirimkan seolah menjadi bahan bakarku untuk semangat bekerja sebagai editor setiap harinya. Sekarang, aku telah tujuh bulan bekerja di yayasan non-profit ini dan menemukan diriku menikmati pekerjaan ini.

Dahulu, aku sempat berpikir bahwa pekerjaan yang ideal itu diukur dari seberapa besar gaji yang diterima. Dalam benakku, dengan gaji besar aku bisa bahagia, bisa membeli apa pun yang kuinginkan, juga bisa traveling ke tempat-tempat baru yang belum pernah aku kunjungi. Namun, pekerjaanku sebagai editor memberiku paradigma yang baru tentang pekerjaan.

Aku bersyukur karena lewat gaji yang kuterima setiap bulannya, aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri, mendukung orangtuaku, menabung, juga bisa pergi traveling ke beberapa tempat di pulau Jawa. Aku bekerja memang untuk mendapatkan gaji, namun lebih tinggi dari itu, pekerjaanku adalah untuk kemuliaan Tuhan sebagaimana Rasul Paulus pernah berkata, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Sebagai seorang mantan fresh graduate, aku tentu memiliki mimpi-mimpi besar. Hingga saat ini pun mimpi-mimpi itu tetap ada, namun lebih mengerucut. Aku masih berharap kelak dapat melanjutkan pendidikan kembali, namun tugasku saat ini adalah memberikan yang terbaik lewat pekerjaanku. Pekerjaanku adalah bagian dari rencana Tuhan supaya aku bisa memuliakan-Nya. Ketika aku menjadikan Tuhan sebagai yang utama dan terutama, aku percaya bahwa Tuhan sendirilah yang akan memenuhi tiap-tiap kebutuhanku seperti firman-Nya berkata “Janganlah kamu kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Matius 6:25).

Apakah kamu sedang bergumul mencari pekerjaan? Jangan menyerah dan tetaplah berdoa. Naikkan permohonanmu kepada-Nya dan biarkan Tuhan bekerja dalam hidupmu hingga kelak, lewat pengalaman-pengalaman hidupmu kamu boleh melihat pekerjaan Tuhan yang luar biasa.

“Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment