Bisu Tuli Tak Menyurutkan Niatku Menjadi Perancang Busana

Saat masih kanak-kanak, Catherine Jahja (28) pernah bertanya pada ibunya, “Kenapa saya berbeda?” Ia memang bisu dan tuli. Namun, berkat pendampingan orang tuanya, ia berhasil menjadi perancang busana. Perjalanan hidupnya penuh liku.

Lahir Tunarungu

Catherine Jahja, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Budiyanto Jahja dan Henny Theresia, lahir pada tanggal 11 Juni 1977 di RS St. Carolus Jakarta. Secara fisik, ia normal. Hanya saat itu, ia harus digips karena bahu kanannya patah. Ini disebabkan saat proses kelahirannya, kaki Henny sempat kram.

Saat Tintin, begitu ia biasa dipanggil, berumur enam bulan, ia mulai memerlihatkan kelainan. “Ibu saya bilang ada yang tak beres tapi tidak tahu apanya. Saya berkali-kali memainkan benda-benda di depan matanya, selalu ada reaksi. Pandangan Tintin mengikuti ke arah benda itu. Matanya bagus. Tiba-tiba saya terpikir bagaimana dengan telinganya? Kemudian saya jatuhkan benda-benda di dekatnya termasuk panci. Ia cuek saja, tidak kaget sama sekali. Penasaran, saya jatuhkan benda-benda yang lebih besar, bunyinya sangat keras. Tintin tak bereaksi, ia diam saja. Ah, jangan-jangan tuli, pikir saya dalam hati,” tutur Henny.

Henny dan Budi langsung membawa Tintin ke dokter. Hasil pemeriksaan dokter menjawab tanda tanya besar mereka. Setelah dites ternyata Tintin memiliki pendengaran 40-60, jauh dari angka normal 70-80. Ia tunarungu.

Kesedihan yang mendalam memenuhi hati Henny dan Budi. Mereka terus mencari penyembuhan bagi Tintin. Demi Tintin, anak yang sangat dikasihinya, mereka bersedia melakukan apa saja untuk masa depannya. Akhirnya, dokter menyarankan agar Tintin menjalani pengobatan di Belanda, tapi keuangan tidak memungkinkan untuk itu.

Merasa Berbeda

Pernah satu kali Tintin bertanya kepada ibunya, “Mami kenapa saya berbeda dari Cici dan Adik?” Pertanyaan yang menyentuh itu sempat membuat Henny terdiam. Dengan penuh kasih, ia menjawab “Tin, kamu memang berbeda dari kakak dan adikmu. Tapi kelahiranmu itu seizin Tuhan.”

Henny dan Budi selalu berusaha membawa Tintin ke acara rohani. Satu kali, saat “altar call” di acara KKR, pengkhotbah mengundang yang sakit untuk didoakan. Budi dan Henny memberi isyarat Tintin untuk maju. “Bukankah ada kuasa di dalam nama-Nya? Ah, siapa tahu malam itu, Tuhan berkenan menyembuhkan hingga Tintin bisa mendengar.”

“Saat Tintin maju untuk didoakan, pengkhotbah tersebut mengatakan “Bapak anak ini maju!” Budi pun maju. Dengan lantang pengkhotbah itu bertanya, “Dosa apa yang kamu lakukan sehingga anakmu seperti ini?” kata Henny menirukan kata-kata pengkhotbah itu. Peristiwa itu membuat hati Budi dan Henny hancur. Budi benar-benar “shock”, bahkan sampai berminggu-minggu kesedihan itu belum juga sirna.

Tintin seolah merasakan kepedihan yang dirasakan orang tuanya akibat kata-kata yang diucapkan pengkhotbah itu. “Satu kali dia berkata pada kami, `Saya sayang papi dan mami, saya cinta Yesus`,” tutur Henny. Matanya basah mengenang peristiwa itu.

Dididik untuk Mandiri

Henny dan Budi sepakat untuk mendidik Tintin agar mandiri. Umur dua tahun, Tintin dimasukkan ke “play group” bagi para tunarungu. Di tempat itulah, ia menemukan teman-teman bermain yang sama dengan dirinya, tidak dapat mendengar dan bicara. Kondisi Tintin membuat Henny dan Budi mencari informasi sebanyak mungkin mengenai tunarungu. Mereka pun belajar bahasa isyarat yang dipakai oleh tunarungu di seluruh dunia. Dengan cara seperti ini, mereka lebih bisa berkomunikasi dengan Tintin. Namun dalam keseharian, Henny dan Budi lebih sering bicara dengan bahasa lisan. Karena tak bisa mendengar, Tintin “membaca” gerakan bibir lawan bicaranya.

Umur lima tahun, setelah beberapa kali diantar sekolah oleh Henny, Tintin minta berangkat sendiri padahal jarak antara rumah yang terletak di Pasar Baru, Jakarta Pusat dengan SLB Santi Rama di Cipete, Jakarta Selatan, cukup jauh. “Dia bilang kasihan saya yang sering pusing setelah mengantar dia sekolah. Syukurlah, kondektur bis patas dua belas waktu itu sangat sabar dan mengerti kondisi Tintin. Saya antar dia sampai naik bis dan menitipkannya pada kondektur. Dia sering digendong kalau mau turun bis. Kebetulan bis lewat di depan sekolahnya. Jadi, biar jauh, enak, nggak repot,” kenang Henny.

Menjadi Perancang Busana

Di sekolah Santi Rama tingkat kejuruan, Tintin belajar menyablon dan menjahit. Ia tergolong murid yang pandai. Nilai rapornya bagus. Ia selalu berada di rangking 1 atau 2. Minat pada desain pakaian mengantarnya masuk ke Bunka School of Fashion International — sekolah fashion bergengsi di Jakarta yang telah melahirkan banyak desainer ternama. Keterbatasan tidak menghalangi untuk belajar dan berkarier. “Pada awalnya, pihak Bunka keberatan. Mereka menyangsikan kemampuan Tintin dalam menerima pelajaran. Tetapi saya katakan kepada mereka untuk memberi kesempatan. Tintin bisa mengerti dari gerakan bibir,” ungkapnya. Sejak Desember 1999, Tintin bekerja sebagai desainer di perusahaan konfeksi Indah Jaya, Jakarta.

Aktif Pelayanan

Salah satu penghiburan bagi Henny dan Budi adalah kemauan Tintin membaca Alkitab. Sejak kecil, kalau tak mengerti, ia bertanya. Tintin juga gemar berdoa sendirian di kamarnya. Orang tuanya memang selalu menekankan bahwa hidup manusia milik Tuhan yang harus dipersembahkan bagi kemuliaan nama-Nya. Firman Tuhan yang selalu dibaca ataupun yang diketahui lewat lingkungan keluarga tertanam dan tumbuh di hati Tintin. Ia percaya penuh bahwa hidup itu berarti. Tuhan selalu bersamanya.

Tintin sangat rajin mengikuti ibadah, terlebih ketika di gerejanya, GBI Sungai Yordan membuka ibadah bagi tunarungu. Ia menjadi pengurusnya. Salah satu yang membahagiakan Henny dan Budi adalah ketika Tintin menjadi koordinator perwakilan Indonesia dalam Konferensi Misi Kristen Tunarungu Asia Pasifik ke-9, “Harvest Together in Love” di Bali.

Bertemu Pasangan Hidup

Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan anak-anaknya. Ibadah tunarungu telah mempertemukan Tintin dengan Herman Handoyo, yang bekerja di bagian desain grafis. Keduanya saling suka dan jatuh cinta. Beberapa bulan pacaran, Herman pun melamar Tintin. Pada 8 Oktober 2005, mereka melangsungkan pernikahan. Janji pernikahan yang agung itu diucapkan keduanya di hadapan Tuhan. Janji setia dalam susah dan senang, sehat dan sakit, sampai maut memisahkan.

Air mata menitik dari banyak orang yang menyaksikan pernikahan itu. Lebih-lebih Henny dan Budi, mereka berulang kali menyeka mata mereka yang selalu basah. Mereka melepas masa lajang anak perempuan tunarungu yang selama ini mereka kuatkan batinnya. Selain keluarga, banyak sahabat kedua mempelai yang kebanyakan tunarungu ikut menghadiri pernikahan mengharukan itu.

Hidup manusia, apa pun keadaannya, tetaplah berharga. Karena tak akan pernah ada kelahiran tanpa seizin-Nya. Kata-kata yang ditulis Tintin di bagian depan Alkitabnya, seakan mewakili jejak-jejak imannya. “Dalam masa penuh tekanan dan kesusahan, bahkan dalam kesenangan, Alkitab memberi padaku kekuatan lebih dari yang kuharapkan. Setiap kali kubaca firman Tuhan, aku tidak pernah menemui kegagalan dalam menerima cahaya pengertian. Setiap kali kubaca tentang Yesus, hatiku dipenuhi kegirangan. Sebab suara-Nya yang penuh kasih sayang terus saja kedengaran berkumandang.”

“Saya sangat bahagia …,” kata Tintin.

 

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber: sabda.org

Web Kesaksian : www.kesaksian.org
Email: papua@kesaksian.org
Whatsapp: +62 882-9116-6911

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment