Cerita Maknyus Dari Hati

Oleh: Rio Susanto

Kalau kamu orang yang suka wisata kuliner, mungkin kamu pernah punya pengalaman mencicipi hidangan yang rasanya maknyuuusss banget di tempat tertentu. Saking maknyusnya, kamu tak bisa pindah ke lain hati. Ketika ada yang minta rekomendasi tempat makan yang enak, tanpa ragu kamu segera menceritakan tentang tempat di mana kamu menemukan hidangan itu.

Ini mungkin sedikit banyak menggambarkan apa yang dirasakan oleh Paulus dan teman-temannya tentang kasih Kristus. Paulus mencatat dalam 2 Korintus 5:14-15, “…Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka….” Kata “menguasai” dalam terjemahan Bahasa Inggris menggunakan kata “compel” yang berarti “mendorong”. Paulus melihat kasih Kristus yang ditunjukkan lewat kematian di atas salib itu begitu luar biasa, sehingga ia tidak bisa tidak terdorong untuk berbicara tentang hal itu. Ia tidak bisa menyimpannya untuk diri sendiri. Kasih itu harus diketahui orang lain, agar hidup mereka juga dapat memiliki pengharapan di dalam Kristus.

Hal ini kontras sekali dengan gambaran yang kita lihat dari para orang Farisi yang tampaknya lebih suka mencari kesalahan orang dibanding menceritakan kebaikan Tuhan. Misalnya saja, dalam Matius 12, para orang Farisi ini mengecam mereka yang memetik gandum di hari Sabat. Memang ada aturan Taurat yang tidak membolehkan orang bekerja pada hari Sabat. Namun, aturan tersebut jelas tidak dibuat karena Tuhan ingin umat-Nya kelaparan! Aturan ibadah itu justru dibuat karena Tuhan mengasihi umat-Nya, dan menghendaki mereka untuk menikmati istirahat di dalam hadirat-Nya, mengingat kebesaran Dia yang memelihara hidup mereka. Tuhan Yesus tahu kedalaman batin orang-orang Farisi ini. Dia menegur mereka, karena meski tampak begitu taat beribadah, mereka sesungguhnya tidak mengenal hati Tuhan (lihat Matius 12:7).

Sama seperti para orang Farisi, bisa saja kita kelihatan rajin beribadah, namun sebenarnya kita belum pernah mengalami kasih Allah. Ibarat seorang yang merekomendasikan makanan yang belum pernah ia cicipi. Sebaliknya, ketika kita telah mengalami kasih Kristus secara pribadi seperti Paulus dan teman-temannya, kasih itu akan memancar keluar melalui kehidupan kita. Ada dorongan yang kuat dalam hati kita untuk membagikan kebaikan Kristus itu kepada orang lain, karena kita sendiri sudah merasakan kebaikan-Nya. Ada dorongan yang kuat dalam hati kita untuk tidak sembarangan bertutur laku, karena kita ingin Tuhan dimuliakan di dalam dan melalui hidup kita.

Sobat, bagaimana dengan hidup kita? Seberapa bergairah kita hidup bagi Kristus? Seberapa bergairah kita memberitakan kasih-Nya? Ketika kita suam-suam kuku sebagai seorang pengikut Kristus, kita perlu memeriksa diri. Bisa jadi selama ini kita menjadi Kristen menurut tradisi yang diwariskan keluarga atau aturan-aturan yang kita dengar selama bertahun-tahun di gereja, tetapi sebenarnya belum mengalami sendiri kasih yang mengubahkan hidup itu. Seperti ilustrasi wisata kuliner tadi, hanya ketika kamu telah merasakan sendiri maknyusnya sebuah hidangan, barulah kamu bisa merekomendasikannya sepenuh hati kepada semua orang.

“Tuhan, bawa aku untuk menyelami betapa panjang, lebar, dan dalamnya kasih Kristus. Bawa aku untuk mengenal Engkau tidak hanya dari kata orang, tetapi mengalami Engkau secara pribadi. Biarlah seperti Paulus, kasih-Mu boleh menguasai hidupku, mendorongku hidup tidak lagi untuk diri sendiri, tetapi untuk Engkau yang telah mati dan bangkit bagiku.”

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment