Jangan Hidup Hanya Supaya Bisa Menikah. Hiduplah untuk Hidup Itu Sendiri

Oleh Debra Fileta, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Don’t Live to Get Married. Live to Live

“Satu-satunya yang kuinginkan di hidupku adalah menikah,” ucapnya sambil matanya berkaca-kaca. Aku baru saja menyelesaikan sebuah sesi diskusi ketika seorang wanita berusia 23 tahun datang kepadaku dan membagikan kisah perjalanan hidupnya.

Wanita itu lahir dan dibesarkan di dalam lingkungan Kristen, dan sejauh yang dia bisa ingat, dalam benaknya telah tertanam suatu pemahaman bahwa tujuan mendasar dari hidupnya adalah menemukan seorang pria dan menikah. Namun, ketika kehidupan tak berjalan sesuai rencananya, dia pun mulai panik.

Cerita yang diungkapkan wanita itu adalah salah satu dari sekian banyak cerita seputar pernikahan yang sering kudiskusikan akhir-akhir ini. Aku mendiskusikan ini bukan hanya karena aku telah menikah, bukan pula karena pekerjaanku sebagai konselor yang berkutat di permasalahan seputar relasi. Tapi, karena di tahun ini aku sedang mengumpulkan bermacam-macam perspektif yang berbeda tentang pernikahan untuk proyek buku baruku yang berjudul Choosing Marriage. Buku ini kutulis baik untuk mereka yang single maupun yang telah berpasangan. Jadi, mendapatkan pandangan dari kedua belah pihak adalah hal yang perlu kulakukan supaya aku bisa menuliskan topik ini dengan baik.

Tapi, suatu hal yang membuatku harus lebih berhati-hati dalam menulis buku ini adalah sebuah kesadaran bahwa kita hidup dalam sebuah kultur yang memberhalakan pernikahan.

Aku bukannya tidak menyadari hal ini sebelumnya. Aku bertumbuh dalam budaya Kristen dan aku pun berkuliah di kampus Kristen. Membayang-bayangkan pernikahan adalah hal umum. Beberapa orang bahkan bercanda bahwa mereka mereka kuliah hanya untuk nanti mendapatkan gelar “Ny.” (Nyonya), seolah itu adalah “tujuan utama” bagi orang-orang Kristen yang lajang, itulah alasan kamu hidup, suatu hari, kamu akan menikah, barulah akhirnya hidup akan dimulai.

Tidak ada yang salah dari mendambakan pernikahan. Bahkan, itu merupakan suatu hasrat yang ditaruh dalam diri kita oleh Allah sendiri (Markus 10:6-8). Aku dikenal sebagai orang yang mendorong pria dan wanita untuk jujur tentang hasrat mereka untuk menikah. Selanjutnya aku mendorong mereka untuk meresponsnya dengan interaksi bersama lawan jenis dan menjalani relasi pacaran yang sehat.

Tapi, yang paling membuatku takut bukanlah hasrat kita untuk menikah, tetapi apa yang menjadi ekskpektasi kita tentang pernikahan.

Ekspektasi versus Realita

Aku yakin kita berekspektasi terlalu tinggi tentang pernikahan. Kita mengharapkan pernikahan akan melakukan hal-hal tertentu bagi kita, yang pada kenyataannya tidak dapat dilakukan oleh pernikahan itu sendiri. Dalam mengumpulkan data untuk bukuku, aku mewawancarai 1.000 orang single dan 1.000 pasangan menikah. Aku bertanya apa pandangan mereka tentang pernikahan. Hasilnya sangat menarik. Apa yang dipikirkan orang-orang single tentang pernikahan, dibandingkan dengan apa yang dikatakan oleh pasangan yang sudah menikah ternyata sangat berbeda. Pada topik tentang seks, komunikasi, konflik, dan hubungan yang intim—apa yang dibayangkan oleh mereka yang single sangatlah berbeda dibandingkan dengan apa yang dinyatakan oleh pasangan yang sudah menikah tentang kenyataan dalam pernikahan.

Dan, ketika ekspektasi kita tentang pernikahan bertemu dengan realita dari pernikahan, hal itu berujung dengan kekecewaan, perasaan hancur, kepahitan, dan bahkan perceraian.

Ada orang-orang yang memasuki jenjang pernikahan dengan ekspektasi tinggi namun pengertiannya akan pernikahan itu sendiri masih rendah. Pada kenyataannya, lebih dari 96 persen pasangan menikah yang telah kusurvey mengungkapkan bahwa mereka yakin orang-orang yang belum menikah tidak tahu apa yang sebenarnya mereka hadapi tentang pernikahan. Dan, siapakah yang dapat menyalahkan mereka? Pengertian tentang pernikahan tidak diajarkan kepada mereka.

Begitu banyak waktu kita habiskan untuk mengidolakan pernikahan, namun begitu sedikit waktu kita gunakan untuk mempersiapkannya. Begitu sedikit waktu kita gunakan untuk mengenali diri kita sendiri; untuk memulihkan diri dari masa lalu; untuk memahami apa yang kita butuhkan dalam sebuah relasi; untuk membedakan hubungan yang sehat dengan yang tidak; untuk menentukan jenis orang yang cocok dan yang tidak cocok; untuk membuat target; untuk menjalani hidup secara penuh.

Dan ketika kita akhirnya melihat realita, hal yang awalnya begitu kita tinggikan pun jatuh seketika.

Mengatur ulang ekspektasi kita

Aku percaya langkah pertama dalam mempersiapkan pernikahan adalah memiliki ekspektasi yang benar tentang pernikahan. Yesus tidak berkata “kepenuhan hidup” dimulai ketika kita sudah menikah, Yesus berkata hal itu dimulai ketika kita mulai berelasi dengan-Nya (Yohanes 10:10). Bagi orang yang percaya kepada-Nya, kepenuhan hidup dimulai dari sini, saat ini, tepat pada momen ini—terlepas dari apapun status hubunganmu. Kepenuhan hidup terjadi dalam interaksi dengan orang-orang yang sudah Tuhan tempatkan dalam hidup kita. Kepenuhan hidup adalah belajar membagikan kasih Kristus kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Kepenuhan hidup adalah memahami panggilan kita dan mengambil langkah untuk memenuhi panggilan itu apapun status kita. Kepenuhan hidup kita terwujud seiring kita mengejar keserupaan dengan Kristus dalam apapun yang kita perbuat.

Kita penting untuk mengerti ini: pernikahan bisa saja menjadi bagian yang indah dalam perjalanan hidupmu, tetapi itu bukanlah tujuan akhirmu. Bagi kamu yang sedang mencari tujuan hidup melalui sebuah hubungan, di sini aku berkata kepadamu bahwa kamu tidak akan menemukannya.

Ketika kita melihat relasi sebagai tujuan akhir dari tujuan hidup kita, kita akan mendapati diri kita menghadapi tembok kekecewaan. Seperti yang dituliskan oleh seorang wanita muda dalam sebuah email untukku, “Kupikir pernikahan dapat memberiku segala hal yang kurang dari hidupku, tapi ketika aku tiba di sana, aku menyadari bahwa aku masih merasa kurang.” Pernikahan bisa menjadi salah satu jalan kita dalam memenuhi tujuan hidup, namun pernikahan tidak akan pernah menjadi tujuan akhir kehidupan.

Kita perlu mencari tujuan Tuhan dalam hidup kita jauh lebih daripada kita mencari pasangan. Izinkan kehendak dan rencana-Nya menjadi jalur yang menuntun hidup kita dan mempengaruhi arah hidup kita. Daripada bertanya apa yang dapat Tuhan lakukan untuk kita, kita perlu melihat pada-Nya dan mencari tahu apa yang dapat kita lakukan untuk-Nya. Inilah tujuan kita yang sejati.

Dan siapa yang tahu? Kita mungkin akan bertemu dengan pasangan kita seiring kita menjalaninya—untuk hal ini aku berani menjaminnya. Namun meski begitu, tujuan kita tidak dipengaruhi oleh kemungkinan ini.

Pernikahan bisa memberimu perspektif—tapi bukan tujuan.

Pernikahan bisa memberimu seorang penolong—tapi bukan pemulihan.

Pernikahan bisa menawarkanmu pasangan—tapi itu tidak bisa melengkapi hidupmu.

Hanya Kristus yang mampu melakukannya. Dan jika kamu tidak dapat menemukan hal-hal itu sendirian, kamu pun tidak akan menemukannya juga dalam pernikahan. Untuk setiap kita yang bisa memahami hal ini sebelum menikah, kamu akan memasuki pernikahan dengan perasaan yang utuh lebih daripada yang dapat kamu bayangkan.

Ketika dua orang yang sudah merasa penuh atau utuh masuk ke dalam jenjang pernikahan, itu adalah jenis pernikahan yang terbaik.

Jadi, janganlah hidup supaya bisa menikah. Hiduplah untuk hidup itu sendiri. Hiduplah untuk menyembuhkan. Hiduplah untuk bertumbuh. Hiduplah untuk belajar. Hiduplah untuk melayani Yesus di sini, di saat ini, di mana Tuhan telah menempatkanmu. Karena kepenuhan hidup tidak dimulai ketika kamu menikah. Kepenuhan hidup berlangsung sekarang. Maka belajarlah untuk menjalani kehidupan dengan baik. Kamu tidak akan tahu siapa yang akan kamu temui pada perjalanan itu.

Tentang penulis:

Debra Fileta adalah seorang pembicara, konselor di bidang relasi, dan juga penulis buku True Love Dates: Your Indispensable Guide to Finding the Love of Your Life, dan Choosing Marriage: Why It Has To Start With We > Me. Di dalam kedua buku itu, dia menulis tentang cinta, seks, pacaran, hubungan, dan juga pernikahan. Selain itu, Debra juga adalah penggagas situs True Love Dates yang menjangkau jutaan orang dengan pesan bahwa orang yang berbahagia dapat membuat relasi yang sehat.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment