Jim Yost – Hati Misi yang Melekat Bagi Suku Sawi, Papua

Ditulis oleh: Amidya

James Allan Yost adalah seorang Kristen berwarga negara Amerika yang terpanggil untuk melayani Tuhan sebagai seorang misionaris. Lahir di keluarga Kristen, ternyata jalan kehidupan James Allan Yost penuh liku dan pernah membuatnya berjalan di luar kebenaran Kristus. Sosok yang kemudian akrab dipanggil Jim Yost ini rupanya berhasil keluar dari pergumulannya, dan kini ia menjadi seorang misionaris yang hatinya melekat bagi suku Sawi di Papua, Indonesia.

Jim Yost adalah seorang yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Ibunya adalah seorang Kristen yang sangat taat. Sebuah peristiwa besar terjadi dalam hidup Yost ketika ia berusia 13 tahun. Pada saat itu, ayahnya dipanggil pulang ke rumah Bapa. Masa remaja tanpa sosok seorang ayah membuat Jim Yost terjatuh. Ia mulai mengenal dunia kelam remaja dan memakai narkotika. Hari demi hari, Jim Yost terjerat dalam dunia narkotika dan obat bius tidak bisa lepas dari dirinya. Lantaran ketagihan obat bius, Yost harus meringkuk di penjara. Ia merasa bahwa tidak ada lagi kedamaian di dalam hatinya. Akan tetapi, sinar pengharapan selalu ada, Allah mengubah Jim menjadi pribadi yang baru. Allah menangkapnya untuk masuk ke dalam rencana-Nya yang kudus. Kehidupan lama yang dialami oleh Jim Yost telah diubahkan Allah menjadi kehidupan yang baru dalam Kristus.

Semula Jim Yost tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang misionaris. Jim Yost juga tidak berpikir bahwa dirinya akan pergi begitu jauh hingga ke ujung bumi, yaitu Papua. Perjalanan misi Jim Yost dimulai saat ia menjadi mahasiswa di salah satu seminari di California, Amerika Serikat. Di seminari itu, Jim Yost sebenarnya hanya ingin belajar selama satu tahun, akan tetapi entah mengapa, Yost justru terus belajar dan melewati masa kuliah selama empat tahun. Di seminari itu, Yost diajar oleh rektornya yang merupakan mantan misionaris di Jamaika. Pelajaran misiologi begitu ditekankan dan masuk dalam kurikulum pembelajaran di seminari tersebut. Semula, Yost tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang misionaris, tujuannya adalah untuk belajar Alkitab dan menjadi seorang gembala jemaat di California.

Pada tahun ketiga mengikuti masa kuliah, Jim Yost bertemu dengan seorang gembala sidang di Oregon, Amerika Serikat. Orang itu adalah seorang misionaris yang baru saja kembali dari perjalanan misinya di Thailand, dan ia bermisi di Thailand selama 30 tahun. Jim Yost bekerja sama dengan misionaris itu selama dua bulan. Selama dua bulan itulah, Tuhan menaruh visi untuk bermisi ke dalam hati Jim Yost.

Mendekati akhir masa perkuliahan, sebagai praktik pelayanan seluruh mahasiswa harus pergi ke luar negeri untuk bermisi. Jim Yost dikirim untuk pelayanan misi ke Korea Selatan dan Jepang. Tujuan praktik pelayanan ini adalah untuk mencari peneguhan dan panggilan Tuhan sehingga setiap mahasiswa akan tahu dengan pasti ke mana mereka akan pergi untuk melayani. Jim Yost berada satu bulan di Korea Selatan dan satu bulan di Jepang. Di Korea, ia merasa sangat senang karena ia melihat gereja yang berkembang dengan pesat. Akan tetapi, ia merasa bahwa panggilan Tuhan belum datang kepadanya ketika ia berada di Korea. Perjalanan misi Jim Yost dilanjutkan ke Kyoto, Jepang. Kota Kyoto adalah pusat penyembahan patung terbesar di Jepang. Di sana, ia berdoa semalam-malaman, dalam doanya ia berkata kepada Tuhan, “Tuhan, aku tidak suka tinggal di negeri asing. Aku tidak suka makan makanan yang aneh. Aku tidak bisa berkomunikasi karena bahasa mereka berbeda denganku. Aku tidak mampu. Aku tidak akan bisa menjadi seorang misionaris.”

Dari doa itu, Tuhan menjawabnya dengan tegas, “Jim, engkau tidak bisa menjadi seorang misionaris, tetapi aku bisa menjadikanmu seorang misionaris.”

Mulai saat itu, Jim Yost yang fasih berbahasa Indonesia sadar, dan ia tidak mau bergantung pada kemampuan dan keinginannya sendiri. Ia sadar dan hanya ingin bergantung pada kehendak Tuhan. Ia merasa bahwa bersama Tuhan, ia yakin bahwa akan datang suatu hari ketika Tuhan akan membawanya keluar dari Amerika dan melayani di luar negeri. Ia sangat percaya bahwa pintu akan dibukakan dan hal itu pasti akan terjadi.

Usai menyelesaikan praktik pelayanan di Korea dan Jepang, Jim dan istrinya kembali ke bangku kuliah untuk belajar ilmu bahasa dan Misiologi selama satu tahun di Fuller Seminary, Los Angeles, Amerika Serikat. Tanpa disangka, ilmu bahasa yang ia ambil di bangku kuliah adalah sebuah persiapan awal yang dipakai untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku terasing di Papua, Indonesia.

“Aku mau melakukan pelayanan di mana orang lain tidak mau melakukannya. Di mana ada ladang pelayanan yang tidak diinginkan orang lain atau tidak bisa dilaksanakan orang lain, aku akan masuk ke sana,” kata Jim. Lalu, dengan berdoa dan bergumul kepada Tuhan, Jim dan istrinya mulai membaca buku mengenai Papua, mengumpulkan berbagai informasi mengenai topografi, iklim, geografis, dan kebudayaan masyarakat Papua. Setelah membaca beberapa buku, Tuhan taruhkan misi ke dalam hati Jim Yost dan ia memutuskan untuk pergi sebagai seorang misionaris bagi suku Sawi di Papua.

“Saat kami turun dari pesawat yang membawa kami, semua orang mengerumuni kami dengan keheranan. Tubuh kami diraba-raba dan akhirnya kami dibawa ke perkampungan mereka. Rupanya, mereka sudah menyiapkan sebuah pesta untuk menyambut kedatangan kami. Untuk menghormati kami sebagai tamu, mereka memberikan makanan khas, yaitu ulat sagu yang harus kami makan hidup-hidup!” katanya sambil memperagakan cara memasukkan ulat yang menjijikkan itu ke dalam mulutnya.

Lebih lanjut, Jim Yost menceritakan hari pertama ketika ia dan istrinya menginjakkan kaki di bumi Papua. “Kami tahu di sana sering terjadi perang suku, tetapi tidak tahu kalau pada hari pertama kami datang ada perang sungguhan di depan mata kami. Kejadian itu sangat mengejutkan kami. Namun, di saat yang amat genting itu, Roh Allah memberikan keberanian kepada kami sehingga kami tidak merasa takut sama sekali. Saya bergerak ke kanan, istri saya ke kiri. Kami berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan perang tersebut dengan cara mematahkan panah, lembing, tombak, dan alat-alat perang lainnya semampu kami.” Dalam tahun-tahun pertama, mereka berada di sana, mereka sering kali menghadapi peperangan antar suku. Kemudian, banyak sekali tantangan yang dihadapi mereka selama di sana, yaitu ketika Jim terserang malaria dan nyaris mati. Tidak hanya sekali Jim terserang malaria, ia mengaku bahwa ia sudah berkali-kali terserang malaria dan penyakit itu nyaris merenggut nyawanya.

Mengabarkan berita keselamatan kepada suku Sawi tidaklah mudah. Bertahun-tahun Jim dan istrinya mengajar mereka untuk percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi tidak satu pun yang mau percaya. Sementara itu, istri Jim bekerja di poliklinik, menolong orang-orang yang sakit. Kebanyakan orang-orang Sawi itu sakit borok di kaki, sampai kelihatan tulangnya. Dengan penuh kasih, mereka diobati atau disuntik dan didoakan. Ajaib, dalam waktu dua tiga hari penyakit itu sembuh.

Kini, Jim Yost sudah 20 tahun melayani suku Sawi. Separuh hidupnya ia berikan sepenuhnya bagi suku Sawi. Penginjilan kepada suku ini memang tidak mudah. Selama bertahun-tahun bermisi dan berkhotbah di tempat ini, tidak ada seorang pun yang menghiraukannya. Akan tetapi, perlahan, Tuhan mulai membukakan jalan dan banyak masyarakat Sawi yang dimuridkan oleh Jim Yost. Jim Yost tidak hanya mengupayakan untuk memberitakan Injil kepada mereka, tetapi bersama dengan istrinya, ia membuka poliklinik, sekolah gratis bagi anak-anak Sawi, dan upaya untuk dapat menyejahterakan kehidupan masyarakat suku Sawi.

Dalam setiap pelayanan yang ia lakukan, Jim Yost begitu terbeban bagi masyarakat Sawi dan Papua yang terisolasi dari dunia luar, minimnya berbagai sarana dan prasarana bagi mereka, dan begitu lambannya pendidikan di sana. Akan tetapi, dengan sepenuh hati, ia mau berdiri bagi mereka, menjadi bapa bagi mereka dan senantiasa memberitakan Kristus kepada mereka semua, sehingga bumi Papua penuh dengan orang-orang yang berdiri sebagai pengikut Kristus. Papua penuh dengan kemuliaan Tuhan.

“Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1 Korintus 9:16)

 
 
 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber: http://sabda.org

Web Kesaksian : www.kesaksian.org
Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment