Ketika Aku Menyadari Ada Motivasi Terselubung di Balik Pelayananku di Gereja

Oleh Olyvia Hulda

Aku bersyukur dipercaya oleh Tuhan untuk melayani-Nya sebagai pemain keyboard. Bersama dengan 3 orang pemusik lainnya, aku tergabung dalam tim inti. Selain kami, ada tim pemusik lainnya, namun timku sering mendapatkan jam pelayanan yang tinggi. Tak jarang kami diberikan kepercayaan untuk melayani di acara-acara akbar seperti Natal, Paskah, dan ulang tahun gereja.

Bapak Gembala dan beberapa jemaat mengagumi permainan musik yang kami lakukan. Kami terus berusaha untuk mengembangkan kemampuan bermusik kami. Dengan tekun, kami belajar melodi-melodi baru, membuat intro-intro yang berbeda, bahkan kami pun berusaha membuat instrumen terdengar unik dan menarik sekalipun itu cukup rumit untuk dilakukan.

Suatu ketika, ada permasalahan yang terjadi di gereja. Dalam beberapa khotbahnya, Bapak Gembala melontarkan kritik secara terang-terangan yang ditujukan kepada para pelayan mimbar. Sebenarnya, kritik tersebut sudah pernah disampaikan kepada pemimpin tim musik kami, akan tetapi kritik itu tidak pernah tersampaikan karena kami jarang sekali mengadakan persekutuan pelayan mimbar. Cara Bapak Gembala yang mengkritik secara terang-terangan di depan jemaat itu membuat dua dari anggota tim pemusik inti mengundurkan diri. Alhasil, tersisa aku dan seorang temanku saja serta empat pemusik lainnya yang jam pelayanannya tidak sesering timku.

Aku dan temanku merasa terpukul atas kehilangan kedua anggota pemusik. Selama setahun, permainan musikku mulai kacau karena aku merasa tim musikku kini tak sekompak dahulu. Sering juga aku merasa kurang cocok dengan permainan musik keempat temanku. Feeling kami dalam bermusik ternyata berbeda. Nada-nada yang kami mainkan juga tidak selaras sehingga lagu-lagu pun sering menjadi sumbang.

Semangatku memudar dan aku sempat menyalahkan Bapak Gembala dan Tuhan atas persoalan ini. Mengapa Bapak Gembala harus menegur di depan jemaat hingga membuat teman-temanku mengundurkan diri? Namun, suatu hari Tuhan menegurku melalui sebuah ayat: “Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan, bukanlah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan hidup secara manusiawi?” (1 Korintus 3:1-3).

Kata “manusia duniawi dan hidup secara manusiawi” yang disebutkan oleh Paulus itu membuatku tertohok. Di balik pelayanan yang kulakukan, ternyata aku masih memelihara kehidupan sebagai manusia duniawi. Ketika permasalahan di gereja terjadi, alih-alih berusaha memahami dengan jernih duduk perkaranya, aku malah langsung menghakimi Bapak Gembala karena cara dia mengkritik yang menurutku kurang elok. Aku sadar, sebagai seorang pelayan Tuhan, seharusnya aku bisa membantu mendamaikan keadaan, bukan malah mendukung teman-temanku yang lain untuk menyudutkan Bapak Gembala.

Kemudian, secara tidak sengaja, aku mendengar sebuah khotbah yang bercerita tentang nabi Samuel yang mengurapi Daud. Hamba Tuhan yang berkhotbah tersebut menekankan bahwa ukuran yang Tuhan pakai untuk menilai sesuatu berbeda dari ukuran manusia. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7b).

Aku merenungkan ayat tersebut dan mengintrospeksi diriku sendiri serta pelayananku. Apakah movitasi dan tujuanku untuk melayani-Nya sudah benar? Tapi, saat itu aku sendiri masih bingung apa dan di mana letak kesalahanku.

Aku berdoa dan memohon supaya Roh Kudus membimbingku untuk memeriksa hatiku. Aku mendapati bahwa diriku selama ini telah berdosa dan salah di hadapan Tuhan. Aku dan teman-temanku terlalu berfokus pada apa yang dilihat mata—penampilan, performa, bahkan apresiasi dari Bapak Gembala dan jemaat telah menjadi motivasi terselubung dari pelayanan yang kami lakukan. Aku lebih terpaku pada kunci-kunci dan tempo lagu daripada persekutuan pribadiku dengan Tuhan. Aku mengerahkan kekuatanku untuk mempelajari kunci dan melodi daripada mempelajari apa yang Tuhan inginkan dalam hidupku. Tanpa kusadari, melalui permainan keyboard dan tim pelayananku, aku telah membangun tembok kesombongan.

Aku bersyukur hari itu Tuhan mengingatkanku untuk tidak menjadikan pelayanan sebagai sarana untukku memegahkan diri. Aku memohon ampun dan berdoa kepada Tuhan supaya Dia memberikanku kesempatan untuk berubah. Tidaklah salah untuk melatih kemampuan bermusikku, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah pelayanan yang kulakukan tidak boleh menghilangkan waktu-waktu pribadiku bersama Tuhan. Sejak saat itu, aku mulai belajar untuk mempraktikkan kerendahan hati secara nyata dalam kehidupan pelayananku.

Lambat laun, semangatku untuk melayani Tuhan kembali menyala, namun dengan motivasi yang berbeda dari pelayananku terdahulu.

Jika dahulu aku mengandalkan diriku sendiri dalam melayani-Nya, kini aku mengandalkan Tuhan dengan cara berdoa terlebih dahulu sebelum mulai melayani-Nya. Aku belajar untuk membangun relasi dengan Tuhan, supaya yang mengalir dalam jiwaku adalah hikmat dari-Nya, bukan hikmatku sendiri.

Jika dahulu aku memainkan instrumen musik sesuai keinginan hatiku dan timku sendiri, sekarang aku melakukannya berdasarkan kebutuhan jemaat dan gereja. Bermain musik bukan sebuah ajang untukku pamer di depan jemaat.

Jika dahulu aku sedih karena merasa tidak cocok dengan teman-teman yang gaya bermusiknya berbeda dariku, sekarang aku belajar untuk tidak menggurui dan tidak menghakimi mereka saat berlatih. Aku belajar untuk menerima setiap keunikan mereka dan menyesuaikan gaya permainanku dengan gaya mereka.

Jika dahulu aku menyalahkan Tuhan dan bersedih karena kedua temanku yang meninggalkan gereja, sekarang aku mendoakan mereka supaya di gereja manapun mereka berada, mereka boleh tetap melayani Tuhan dan menjadi berkat. Alih-alih berfokus pada diriku sendiri, sekarang aku mulai memikirkan tentang regenerasi pemusik di gerejaku. Kepada orang-orang yang berminat, dengan senang hati aku akan mengajar dan membimbing mereka bermain keyboard.

Ada perjuangan yang harus kulakukan untuk melayani Tuhan dengan motivasi yang benar dan untuk melakukannya aku sangat membutuhkan pertolongan dari Roh Kudus. Aku perlu menyangkal diri, merendahkan hatku, memikul salib, dan melakukan apa yang memang Tuhan kehendaki.

Melalui pengalaman ini, aku belajar untuk mengerti bahwa melayani Tuhan adalah sebuah panggilan yang mulia, yang diberikan oleh Allah untuk kita orang Kristen. Akan tetapi, sebelum kita melayani, satu hal yang perlu kita bangun adalah relasi yang intim dengan Allah. Keintiman kita dengan Allah sajalah yang akan menggerakkan hati kita untuk rindu melayani-Nya dengan cara yang benar.

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment