Ketika Keputusan Karierku Berbeda dari Teman-temanku

Oleh Aloysius G. Dinora, Yogyakarta

Tanganku lemas, kakiku mati langkah dan tubuhku mulai bergetar. Aku bertanya dalam hati, “Sebegitu rendahkah aku, seorang sarjana dengan predikat cum laude, mendapat sedikit lebih besar dari gaji minimum kabupaten Bantul?” Padahal baru saja aku bersukacita ketika tahu bahwa sebelum wisuda aku telah diterima bekerja di sebuah yayasan pendidikan.

Semua berubah drastis, aku menjadi begitu dilema karena ternyata pengabdian dan uang tidak bisa berjalan “bergandengan”. Aku merasa bahwa mimpi-mimpiku seolah pupus ketika menerima gaji bulanan yang bahkan lebih kecil daripada kiriman kedua orangtuaku semasa kuliah dulu. Sebenarnya, tidak ada tekanan dari siapapun perihal gaji yang aku terima, termasuk orangtuaku sekalipun. Satu-satunya tekanan itu adalah dari dalam diriku sendiri yang kusebut sebagai gengsi. Pilihan karier yang telah kupilih ini begitu dilematis dan membawa perenungan mendalam.

Mengapa aku memutuskan berkarier di dunia pendidikan

Yayasan tempatku bekerja adalah sebuah yayasan yang bergerak untuk menyalurkan bantuan berupa beasiswa kepada siswa-siswi yang tidak mampu secara ekonomi. Aku bekerja di divisi program pengembangan, sehingga tugasku adalah mengakomodasi kegiatan pengembangan untuk membentuk karakter, potensi, dan kepercayaan diri siswa-siswi dari tingkat SD hingga SMA yang menerima beasiswa.

Keputusanku untuk mengabdi dalam dunia pendidikan bukanlah datang tanpa sebab. Sebenarnya, dulu ketika kuliah, motivasiku adalah aku harus menjadi sarjana supaya nanti bisa hidup mapan, mudah, dan masa depan terjamin. Karena motivasi itu, aku pun menjadi mahasiswa pengejar nilai yang berpikir kalau dengan IPK yang tinggi maka aku akan mudah diterima di perusahaan ternama dan karierku pun akan terjamin.

Aku lahir dan dibesarkan di Buntok, sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah dan ketika aku pindah ke Yogyakarta untuk kuliah, aku melihat ada ketimpangan antara pendidikan di Jawa dan luar Jawa. Tidak banyak anak-anak di daerahku yang mampu bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Ada banyak faktor yang menghambat mereka, entah itu masalah ekonomi keluarga hingga minimnya fasilitas yang mengharuskan siswa-siswi yang ingin belajar lebih lanjut harus pergi ke kota besar.

Pengalaman itulah yang membentuk diriku untuk bertekad berkontribusi pada dunia pendidikan. Memasuki tahun kedua kuliahku di Yogyakarta, aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi relawan di beberapa komunitas pendidikan di Yogyakarta. Aku bergabung sebagai relawan di sebuah yayasan khusus anak-anak jalanan. Tapi, dulu motivasiku menjadi relawan belum begitu tulus, dulu aku berpikir oportunis dan pragmatis, bergabung dengan kegiatan relawan seperti itu kumanfaatkan untuk sekadar menambah riwayat hidupku, atau paling tidak aku bisa pamer kepada teman-temanku di media sosial.

Sebuah kesempatan yang menegurku

Waktu berlalu aku bertemu dengan banyak orang yang peduli dengan dunia pendidikan, kami banyak berdiskusi dan sharing. Mereka bukanlah orang-orang biasa menurutku, mereka adalah lulusan-lulusan luar negeri yang aku pikir seharusnya mereka bisa saja hidup mapan dengan masuk ke perusahaan ternama dan mendapatkan gaji tinggi.

Melihat dedikasi dan keilmuan mereka yang jauh lebih tinggi dariku membuatku merasa malu akan apa yang menjadi motivasiku saat itu, mereka benar-benar memilih untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Sejak saat itulah aku berusaha memurnikan motivasiku. Aku merenung dan bertanya kepada diriku sendiri, apakah minatku untuk berkarier nanti di dunia pendidikan adalah pilihan yang benar-benar aku ingin hidupi setelah kuliah, atau hanya karena aku ikut-ikutan tren anak muda yang aktif di kegiatan sosial.

Jika sebelumnya keterlibatanku dalam kegiatan-kegiatan relawan itu hanya berfokus untuk keuntungan diriku sendiri, aku mulai mengubah pola pikirku menjadi lebih profesional. Di yayasan sosial, saat aku menjadi relawan, kami tidak sekadar mengajar anak-anak, tapi, lewat rumah belajar yang kami dirikan, kami ingin membangun persahabatan juga dengan mereka dan menjadikan pendidikan sebagai sebuah pendekatan.

Di samping keaktifanku bekerja sosial, aku juga berprinsip untuk mengembangkan kemampuan akademisku dalam perkuliahan. Bagaimana caranya aku bisa mendidik orang lain apabila aku sendiri tidak bertanggung jawab atas kuliahku sendiri? Maka untuk menjawab itu, aku pun menjadi seorang asisten dosen yang aku pikir adalah sarana yang tepat untuk mengasah kemampuanku mengajar.

Pekerjaanku adalah ibadahku

Persiapan-persiapan yang kulakukan sejak tahun-tahun terakhir kuliah membuat motivasiku yang semula hidup berkarir di korporasi berubah, tentu bukan masalah ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di perusahaan, karena ini adalah sebuah pilihan. Aku mengambil keputusan yang cukup berbeda dibandingkan teman-teman kuliah, yang berkarir sesuai dengan jurusan saat kuliah. Aku memilih untuk bekerja di sebuah yayasan pendidikan, di kabupaten Bantul.

Harus kuakui, kadang ada orang yang memandang rendah keputusanku ini karena mereka belum mengerti apa yang menjadi idealisme yang aku pegang. Apa yang kujalani saat ini barulah permulaan, aku tidak tahu apa yang kelak akan terjadi, tapi satu hal yang aku percaya adalah pekerjaan ini disiapkan oleh Tuhan untuk menguji diriku, apakah aku sungguh-sungguh mau melayani orang lain atau tidak.

Lewat pekerjaan ini sekarang aku mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang mengasah kepekaan hatiku. Pekerjaanku mengajariku bahwa rezeki berupa uang sudah diatur oleh Tuhan karena Dia senantiasa mencukupi semua yang kubutuhkan. Hal paling penting yang bisa kupetik dari pekerjaanku adalah bagaimana caraku bersyukur. Bagiku, ini adalah cara Tuhan untuk membentukku, Dia memberiku bagian yang terbaik setelah aku melalui banyak kebingungan dan keputusasaan.

Waktu telah berlalu, pekerjaan ini juga telah mengajarku untuk mengentaskan egoisme dalam diriku, juga mengurangi kekhawatiranku terutama dalam hal uang. Setelah bekerja, memang gaji yang yang kudapat tidak besar, namun selalu saja ada berkat yang datang, bukan saja dari orang-orang yang aku tolong, tapi ada pekerjaan-pekerjaan sambilan lain yang ternyata mencukupi kebutuhanku.

Setiap orang pasti memiliki mimpi atau passion-nya masing-masing, namun hanya sedikit yang bisa menghidupinya, dan lebih sedikit lagi yang bisa menjadikan pekerjaannya sebagai ibadah kepada Yesus. Semoga kita senantiasa bisa menghidupi panggilan hidup, baik bekerja maupun sekolah sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment