Mendefinisikan Ulang Kesuksesan

Oleh Bungaran Gultom

“Sukses adalah hak saya,” itulah ucapan seorang motivator kepada para peserta dari sebuah seminar yang aku ikuti.

Dia diam sejenak, memberikan waktu kepada para peserta untuk menyerap apa yang dia katakan. Dengan pengalamannya bertahun-tahun sebagai seorang motivator, aku pikir, tentunya ada kebenaran dari apa yang dia katakan. Bagaimanapun juga, dia terlihat begitu meyakinkan. Mungkinkah sukses benar-benar hakku?

“Anda berhak sukses,” kata motivator yang lain, “Kamu berhak hidup dalam kelimpahan dan kemewahan. Percayalah, alam semesta mendukung Anda ketika pikiran, niat, dan fokus Anda diarahkan sepenuhnya kepada apa yang Anda inginkan. Sekarang, klaimlah itu. Jika Anda ingin sebuah mobil BMW baru, visualisasikan itu di pikiranmu dan klaim itu. Klaim semua yang Anda inginkan!” Para peserta mulai bertepuk tangan dengan begitu antusias.

Di satu sisi, respons mereka menggambarkan bagaimana kebanyakan kita melihat kesuksesan. Tapi mengapa kita begitu senang dengan hal-hal ini? Mengapa kita begitu ingin menjadi sukses?

Banyak orang akan melakukan apapun itu untuk menjadi—dan terlihat—sukses. Beberapa wanita yang menjual diri supaya bisa tampil modis dan kekinian. Beberapa pelajar main curang supaya bisa juara. Beberapa pengusaha main suap supaya proyeknya jalan. Beberapa pejabat menjadi korup untuk dapat mempertahankan gaya hidup mereka yang mewah.

Tapi siapakah yang mendefinisikan kesuksesan? Sebagai orang Kristen, jika kita ingin belajar tentang kesuksesan sejati, tiada yang lebih baik daripada belajar dari seseorang yang paling sukses yang pernah hidup: Yesus.

Yesus lahir di kandang domba dan tumbuh di sebuah kota kecil di Israel. Dia adalah seorang tukang kayu dan kemudian pergi melayani bersama sekelompok kecil murid-murid-Nya yang adalah orang-orang yang tidak terpandang di masyarakat. Dan akhirnya Dia mati di atas kayu salib—cara eksekusi untuk para kriminal.

Tentunya itu sama sekali tidak terlihat sebagai sebuah kesuksesan untuk ukuran dunia masa kini. Bahkan, kehidupan Yesus terlihat sebaliknya. Namun kita dapat mengatakan tanpa ragu bahwa Dia telah menjalani sebuah kehidupan yang sukses. Mengapa?

Kata-kata terakhir Yesus sebelum Dia menyerahkan nyawa-Nya adalah “Sudah selesai” (Yohanes 19:30)—yang juga berarti itu “sudah dibayar lunas”. Kematian-Nya di atas kayu salib telah menggenapi rencana penebusan Allah di bumi dengan membayar harga untuk dosa manusia dan mendamaikan kita dengan Allah. Yesus telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Allah kepada-Nya (Yohanes 17:4). Maka, di mata Allah Yesus itu sukses, karena Dia telah melakukan kehendak Bapa.

Apa arti ini semua bagi kita sekarang? Artinya adalah ini: sukses bukanlah tentang mempunyai kehidupan yang mewah di bumi. Kehidupan yang mewah memang mungkin menolong kita untuk membuat kita merasa diri kita lebih baik, tapi sesungguhnya, itu bukanlah sukses yang sejati. Sukses yang sejati adalah melakukan kehendak Allah untuk hidup kita dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya.

Aku belajar apa artinya mengikuti kehendak Allah ketika aku sedang memasang lemari baju knock down yang baru kubeli. Bukannya mengikuti petunjuk yang ada di buku panduan pemasangan, aku malah mencoba memasang lemari itu dengan caraku sendiri. Hasilnya, lemari baju itu miring ke kanan. Lalu aku coba utak-atik lagi, tapi lemari baju itu malah jadi miring ke kiri. Aku frustrasi! Akhirnya aku membongkar lagi semuanya dan mulai lagi dari awal—kali ini, sesuai dengan petunjuk yang ada di buku panduan. Akhirnya, lemariku kokoh berdiri!

Menentukan bagaimana menjalani hidup sebagai orang percaya adalah seperti memasang lemari. Kita memiliki kebebasan untuk ‘memasang’ hidup seperti yang kita inginkan—apakah itu sesuai dengan kata kita atau kata Tuhan. Jika kita menjalani hidup kita dengan cara kita, kemungkinan besar kita akan berakhir dengan kehidupan yang “bengkok”. Dia tidak menjadi pusat dalam hidup kita. Namun, jika kita hidup sesuai dengan panduan Tuhan, kita akan dapat memenuhi apa yang menjadi kehendak-Nya bagi hidup kita, dan menemukan sukses yang sejati.

Sukses tidak diukur dari barang-barang yang kita miliki atau terima. Sukses diukur oleh kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan, dalam memenuhi apa yang Tuhan rencanakan dalam hidup kita.

Mungkin motivator itu benar: sukses bisa diraih dan kita bisa mendapatkannya jika kita mengarahkan pikiran kita kepada hal itu. Tapi kiranya sukses yang kita impikan adalah melakukan kehendak Tuhan dan hidup dalam ketaatan, mengikuti panduan-Nya. Kita tidak membutuhkan hidup yang mewah dan kaya untuk merasakan kesuksesan—kita sudah sukses ketika kita berjalan bersama Dia dan memilih jalan-jalan-Nya.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment