Mengapa Aku Takut Membagikan Imanku?

Oleh Aryanto Wijaya

Pernahkah kamu merasa takut untuk membagikan imanmu dengan orang lain? Aku pernah.

Ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, keluargaku adalah satu-satunya orang Kristen di lingkungan tempat tinggal kami. Suatu hari, ketika aku sedang bersepeda melewati sebuah rumah ibadah, beberapa anak sepantaranku datang dan menutup jalanku serta memaksaku turun dari sepeda. Aku mengelak untuk turun, lalu mereka mulai menendangi sepedaku dan memaksaku untuk mengakui agama apa yang kuanut. Mereka kemudian mulai mengejekku—karena aku orang Kristen dan keturunan Tionghoa.

Aku tidak tahu harus melakukan apa waktu itu hingga ada seorang dewasa yang kebetulan lewat lalu membubarkan anak-anak itu.

Sejak saat itu, aku menjadi takut untuk membagikan imanku dengan orang lain. Tapi, setelah aku berpikir baru-baru ini, aku menyadari kalau ada tiga alasan pokok yang membuatku takut membagikan iman kepada orang lain.

1. Aku takut menyinggung orang-orang dari kepercayaan lain

Tidak banyak orang Kristen tinggal di lingkunganku, jadi membicarakan soal iman bisa jadi hal yang sensitif. Suatu ketika, teman-teman ibuku datang untuk berdoa di rumah. Kami tidak menggunakan alat musik ataupun juga membuat suara-suara keras, tapi ada tetangga yang curiga karena rumahku dipenuhi orang. Mereka ketakutan apabila rumah kami berubah menjadi gereja. Dua orang datang ke rumah dan memberitahukan kalau tidak boleh melakukan aktivitas Kristen di wilayah itu.

Sekalipun insiden itu menggangguku, Tuhan memberikan kesempatan lain untuk membuatku belajar menyatakan iman. Suatu kali aku bermalam di rumah seorang ibu yang bukan Kristen. Saat pagi ketika aku tengah bersiap untuk berangkat ke gereja, dia bertanya, “Hei, mau ke mana pagi-pagi?”

Aku menjawabnya dengan jujur kalau aku akan pergi ke gereja. Aku tak menyangka ternyata dia menunjukkan rasa penasarannya tentang gereja. Ibu itu belum pernah bertemu orang Kristen sebelumnya! Lalu aku bercerita padanya tentang Tuhan dan apa itu gereja.

Sadar atau tidak, orang-orang di sekitar kita memperhatikan tingkah laku kita. Cara kita hidup kita bisa jadi membuat mereka penasaran dan ingin mengetahui tentang Yesus. Alkitab mengatakan pada kita, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16).

2. Aku takut teman-teman memandangku negatif

Aku masih ingat di suatu Minggu pagi ketika aku hendak berangkat ke gereja, teman serumahku mengatakan sembari bercanda, “Ngapain hari Minggu pagi-pagi ke gereja? Enakan juga tidur.” Baginya, hari Minggu seharusnya dipakai untuk tidur lebih lama setelah kita lelah beraktivitas sepanjang hari Senin hingga Sabtu.

Kuakui kalau seringkali aku mengalah dengan ajakan teman-teman sebayaku. Ketika seorang teman mengajakku lari pagi di hari Minggu, aku pun ikut—lalu menunda ibadah di gereja menjadi siang hari. Aku ingin diterima oleh teman-teman sebayaku; dan aku ingin dipandang sebagai teman yang setia.

Aku kembali mengingat apa alasanku melakukan semua hal yang teman-temanku anggap sebagai “hal yang ribet” ini. Beberapa dari mereka berpikir kalau menjadi Kristen itu “ribet” karena ada banyak aturan yang harus ditaati: perpuluhan, pergi ke gereja, baca Alkitab, dan berbagai hal lainnya. Aku takut dipandang sebagai orang yang “ribet”, oleh karenanya aku menyembunyikan imanku.

Tapi, Tuhan mengingatkanku lewat saat teduh kalau yang terpenting adalah pandangan Tuhan terhadapku dan bukan pandangan teman-teman terhadapku. Bagi Tuhan, Aku berharga di mata-Nya dan mulia, dan Dia mengasihiku (Yesaya 43:4). Yesus mengorbankan nyawa-Nya di atas kayu salib untukku. Oleh karena itu, aku harus mempersembahkan apapun yang kupunya―itu bisa jadi uangku, tenaga, dan pikiranku―sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah mengasihi dan menyelamatkanku.

Jadi, sekarang ketika temanku bertanya tentang imanku, aku tidak berpikir itu ribet. Pergi ke gereja, memberi persembahan persepuluhan, dan terlibat pelayanan adalah ungkapan syukurku kepada Tuhan yang kulakukan dengan sukacita, bukan karena paksaan.

3. Aku takut kalau tidak bisa menjawab pertanyaan tentang Kekristenan

Beberapa orang pernah memberitahuku bahwa iman Kristen itu tidak masuk akal. Contohnya, mereka pernah bertanya, “Kok Allah punya anak?” Aku merasa sulit untuk menjelaskannya pada mereka. Jadi, aku memilih untuk diam agar tidak ditanya-tanya.

Dalam suatu kebaktian di gereja, Tuhan berbicara kepadaku lewat khotbah yang mengingatkanku agar tak perlu khawatir dengan apa yang harus kujawab. Seharusnya aku mendoakan mereka supaya mereka boleh merasakan kasih Tuhan yang melampaui segala akal (Filipi 4:7).

Terkadang, ketika kita tidak mampu mengungkapkan iman kita lewat kata-kata, kita bisa melakukannya lewat tindakan. Semasa sekolah dulu ada seorang murid perempuan di kelasku yang tidak memiliki teman. Tak ada yang mau satu kelompok dengannya hingga ia merasa kesepian. Kuajak dia untuk bergabung denganku dalam satu kelompok.

Dia merasa heran dengan tindakanku dan bertanya, “Kok kamu mau berteman denganku?” Lalu aku menjawabnya, “Setiap kita diciptakan spesial sama Tuhan. Kalau kamu diciptakan spesial sama Tuhan, kenapa aku harus menjauhi kamu cuma karena hal-hal sepele?”

Aku tidak tahu apakah itu karena tindakan atau ucapanku, tapi sejak saat itu, dia bergabung dengan sebuah persekutuan dan imannya bertumbuh.

Iman kita adalah iman yang istimewa. Itu tidak hanya berbicara soal diri kita sendiri, atau bangunan gereja. Kekristenan adalah tentang Tuhan yang kudus dan peduli akan pendosa.

Menjadi orang Kristen adalah suatu anugerah yang bisa aku syukuri. Sekarang aku mengerti mengapa murid-murid Yesus tidak lagi khawatir ketika orang-orang melabeli mereka sebagai “Kristen”. Aku tak lagi takut untuk membagikan cerita imanku. Daripada aku menyimpan cerita berharga itu hanya untuk diriku, aku mau membagikan cerita tentang Yesus kepada orang lain.

Sekalipun orang-orang mungkin mengejek atau menekan kita karena iman, seperti pengalamanku pada kelas IV SD dulu, aku berdoa supaya kata-kata Yesus ini akan menguatkan kita di tengah penderitaan: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Matius 5:10-12).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment