Merasakan Cinta Tuhan di Tengah-Tengah Kesulitan

Oleh Chen Lu, Provinsi Zhejiang

Aku lahir pada tahun 1980-an di sebuah desa—kami telah turun-temurun menjadi sebuah keluarga petani kecil. Aku mencurahkan diri ke dalam studiku sehingga aku dapat mengikuti ujian masuk kampus dan melepaskan diri dari kehidupan desa yang miskin dan terbelakang. Ketika aku mulai duduk di bangku sekolah menengah, aku berkenalan dengan Sejarah Seni Barat, dan ketika aku melihat begitu banyak lukisan cantik seperti “Kejadian”, “Taman Firdaus”, dan “Perjamuan Terakhir”, barulah aku menyadari bahwa ada satu Tuhan di alam semesta yang telah menciptakan segala sesuatu. Hatiku menjadi dipenuhi dengan rasa hormat yang besar akan Tuhan. Setelah lulus dari kampus, aku menemukan sebuah pekerjaan yang baik dengan sangat mudah, dan kemudian aku menemukan seorang pasangan yang hebat. Aku akhirnya memenuhi harapanku sendiri dan juga harapan nenek-moyangku: aku telah melepaskan diri dari kehidupan dengan wajah yang menghadap ke tanah dan punggung yang menghadap ke langit. Pada 2008, kelahiran seorang anak menambah sukacita yang lebih besar bagi hidupku. Melihat segala sesuatu yang aku miliki dalam hidupku, aku percaya bahwa aku mestinya memiliki sebuah kehidupan yang bahagia dan nyaman. Namun begitu, meskipun aku menikmati hidup yang menerbitkan iri dan indah itu, aku tidak pernah dapat menghapuskan perasaan kosong yang samar-samar di lubuk hatiku. Ini membuatku sangat bingung dan tak berdaya.

Pada bulan November 2008, keluargaku berbicara kepadaku mengenai injil akhir zaman dari Tuhan Yang Mahakuasa. Melalui firman Tuhan, aku akhirnya memahami bahwa Dia adalah sumber kehidupan umat manusia, dan bahwa firman-firman-Nya adalah kekuatan penggerak serta pilar kehidupan kita. Jika kita mengabaikan rezeki dan nafkah dari Tuhan untuk kehidupan kita, jiwa kita akan hampa dan kesepian, dan tidak peduli kenikmatan material apa yang kita punyai kita tidak akan pernah mampu memuaskan kebutuhan jiwa kita. Seperti yang difirmankan Tuhan Yang Mahakuasa: “Manusia, bagaimana pun juga, hanyalah manusia. Kedudukan dan kehidupan Tuhan tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Umat manusia bukan hanya memerlukan masyarakat yang adil, tempat setiap orang mendapat cukup makanan dan diperlakukan dengan setara serta mendapat kebebasan, tetapi juga keselamatan Tuhan dan perbekalan-Nya atas kehidupan mereka. Hanya ketika manusia menerima keselamatan Tuhan dan perbekalan-Nya atas kehidupan mereka, barulah kebutuhan, keinginan mencari, dan kekosongan rohani manusia dapat terpenuhi” (“Tuhan Mengendalikan Nasib Seluruh Umat Manusia” dalam “Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia”). Firman-Nya membasuh jiwaku layaknya mata air di padang gurun, dan firman itu melepaskan kebingungan di hatiku. Mulai saat itu, aku membaca firman-firman Tuhan dengan rasa lapar dan haus yang besar, dan selalu ada perasaan lega yang tak terungkapkan di hatiku bahwa jiwaku akhirnya telah pulang. Tidak lama kemudian, gereja mengatur agar beberapa saudara-saudari bertemu denganku, dan mereka melakukannya tanpa henti tidak peduli betapa buruknya cuaca saat itu. Selama itu, ada banyak hal yang tidak kumengerti dan saudara-saudari itu selalu dengan sabar menjelaskannya kepadaku. Tidak ada setitik pun rasa sebal atau sekadar meladeniku, dan karena ini aku sungguh-sungguh merasakan ketulusan dan kasih dari saudara-saudari ini. Semakin aku memahami kebenaran, aku mulai mengerti keinginan Tuhan yang mendesak untuk menyelamatkan umat manusia, dan aku melihat bahwa saudara-saudari ini sangat bersemangat untuk mengorbankan diri mereka dan mengabarkan injil kerajaan bagi Tuhan. Aku juga ingin melaksanakan tugasku sendiri, tetapi anakku masih kecil dan aku tidak memiliki pengasuh lain, maka aku hanya berdoa kepada Tuhan untuk memberiku jalan keluar. Kemudian, aku mengetahui bahwa ada seorang saudari yang memimpin sebuah prasekolah, maka aku mengirimkan anakku kepadanya. Dia berjanji untuk membantuku merawat anakku tanpa ragu-ragu, dan dia bahkan tidak mau menerima uang sekolah dan makan. Sejak saat itu, saudari itu tidak hanya membantuku mengawasi anakku pada siang hari, tetapi kadang dia juga membantu pada malam hari. Tindakan saudari itu benar-benar menggerakkan hatiku, dan aku tahu ini semua berasal dari kasih Tuhan. Untuk membalas cinta-Nya, aku tanpa ragu-ragu bergabung dalam kelompok yang mengabarkan injil. Selama mengabarkan injil, aku melihat keadaan menyedihkan orang demi orang yang belum diterangi oleh kecemerlangan Tuhan. Aku mendengar ratapan-ratapan kepahitan hidup mereka, dan aku juga melihat wajah-wajah mereka yang diliputi oleh sukacita dan kebahagiaan setelah memperoleh keselamatan dari Tuhan dari akhir zaman. Ini semakin membangkitkan gairahku untuk penginjilan, dan aku bertekad untuk membawa injil Tuhan kepada semakin banyak orang yang hidup dalam kegelapan yang mendambakan cahaya! Namun selama itu, penindasan dan pengejaran oleh pemerintah Partai Komunis Tiongkok terhadap orang-orang percaya semakin gencar; banyak saudara-saudari ditangkap, dan aku sendiri tidak dapat menghindar dari nasib ini.

(Sumber:shutterstock)

Waktu itu adalah pagi hari tanggal 21 Desember 2012. Lebih dari selusin saudara-saudari sedang mengadakan pertemuan ketika tiba-tiba terdengar ketukan dan teriakan yang keras di pintu: “Buka pintunya! Buka pintunya! Inspeksi rumah!” Tepat ketika seorang saudari membuka pintu, enam atau tujuh orang polisi yang membawa pentungan merangsek masuk. Dengan kasar, mereka memisahkan kami dan mulai menggeledah laci-laci dan mencari di segala tempat. Seorang saudari muda maju dan menanyai mereka: “Kami tidak melanggar hukum. Mengapa kalian menggeledah rumah kami?” Polisi menjawabnya dengan garang: “Jaga sikapmu! Jika aku mengatakan kepadamu untuk berdiri di sana, berdirilah di sana. Jika kami tidak memintamu untuk bicara, tutup mulutmu!” kemudian, mereka secara brutal melemparkannya ke lantai, dan dengan kasar berteriak: “Jika engkau melawan, kami akan menghajarmu!” Kuku tangannya patah dan jarinya berdarah. Melihat wajah-wajah jahat polisi itu, aku merasa benci sekaligus takut, maka diam-diam aku berdoa kepada Tuhan untuk memberiku kekuatan dan kepercayaan diri, untuk melindungiku agar dapat bersaksi. Setelah berdoa, hatiku jauh lebih tenang. Polisi menyita banyak bahan penginjilan dan kumpulan firman Tuhan, kemudian mereka menggiring kami naik ke dalam kendaraan polisi.

Segera setelah kami tiba di stasiun, mereka menyita semua barang yang kami bawa dan menginterogasi kami untuk mendapatkan nama dan alamat kami serta siapa pemimpin gereja kami. Aku takut menyeret-nyeret keluargaku, maka aku tidak mengatakan apa pun; seorang saudari juga tidak mengatakan apa pun, sehingga polisi menganggap kami sebagai pemimpin kelompok dan bermaksud untuk menanyai kami secara terpisah. Aku sangat ketakutan saat itu—aku pernah mendengar bahwa polisi sangat brutal kepada orang-orang yang percaya pada Tuhan, dan aku sudah dianggap sebagai target interogasi. kemungkinan-kemungkinannya sudah pasti suram. Tepat ketika aku berada dalam keadaan yang menyedihkan dan hidup dalam ketakutan, aku mendengar saudariku yang sangat dekat denganku berdoa: “Ya, Tuhan, Engkaulah batu karang kami, tempat naungan kami. Iblis berada di bawah kaki-Mu, dan aku bersedia untuk hidup seturut firman-Mu dan menjadi saksi untuk menyenangkan-Mu!” Setelah mendengar itu, hatiku menjadi terang. Aku berpikir: Memang benar—Tuhan adalah batu karang kami, Iblis ada di bawah kaki-Nya, jadi apa yang kutakutkan? Selama aku mengandalkan Tuhan serta bekerja sama dengan-Nya, Iblis dapat ditaklukkan! Tiba-tiba, aku tidak lagi takut, tetapi aku juga merasa malu. Aku berpikir tentang fakta bahwa ketika saudari itu menghadapi hal ini, dia dapat hidup berdasarkan firman Tuhan dan tidak kehilangan kepercayaan pada Tuhan, tetapi aku telah bersikap takut-takut dan pengecut. Aku bahkan tidak memiliki sedikit saja dasar keyakinan dari seseorang yang percaya kepada Tuhan. Berkat kasih Tuhan dan melalui doa saudari yang telah memotivasi dan membantuku itu, aku tidak lagi takut pada kekuasaan polisi yang lalim. Aku diam-diam membulatkan tekad: Kini setelah aku ditangkap, aku bertekad untuk tetap bersaksi guna menyenangkan Tuhan. Aku tidak akan menjadi seorang pengecut yang mengecewakan Tuhan!

Sekitar pukul sepuluh, dua orang polisi memborgolku dan membawaku ke sebuah ruangan untuk menginterogasiku sendirian. Salah seorang polisi menginterogasiku dalam dialek lokal. Aku tidak mengerti, dan ketika aku bertanya kepadanya apa yang dikatakannya, tanpa diduga-duga pertanyaan ini membuat mereka marah. Salah seorang polisi yang berdiri di situ berteriak: “Engkau tidak menghargai kami!” Sementara dia berbicara, dia datang dan menjambak rambutku, mengguncang-guncangkannya ke depan dan ke belakang. Aku pusing dan dilempar ke sana kemari, dan kulit kepalaku terasa seperti dikelupas dan beberapa helai rambutku tercabut. Segera setelahnya, polisi yang lain mendatangiku dan berteriak: “Jadi, kami harus bermain kasar? Ayo bicara! Siapa yang memerintahkanmu untuk mengabarkan injil?” Aku dipenuhi dengan amarah dan menjawab: “Mengabarkan injil adalah tugasku.” Saat aku mengatakan ini, polisi yang pertama sekali lagi menjambak rambutku dan menampar wajahku, memukulku dan berteriak: “Aku akan membuatmu berkhotbah lagi! Aku akan membuatmu berkhotbah lagi!” Dia memukuli wajahku sampai wajahku merah dan sakit, dan mulai membengkak. Ketika dia lelah memukuliku dia melepaskanku, kemudian mengambil telepon selular dan pemutar MP4 yang mereka temukan padaku dan memintaku informasi tentang gereja. Aku mengandalkan hikmat untuk menghadapi mereka. Tiba-tiba, seorang polisi berkata: “Engkau bukan dari sini. Engkau bicara Mandarin dengan sangat baik—engkau tentu bukan seorang yang biasa-biasa saja. Jujurlah! Mengapa engkau datang ke mari? Siapa yang mengirimmu ke mari? Siapa pemimpinmu? Bagaimana engkau bisa berhubungan dengan gereja di sini? Di mana engkau tinggal?” Saat mendengar bahwa polisi melihatku sebagai seorang yang penting dan mereka bersikeras untuk mengorek informasi mengenai gereja dariku, hatiku menjadi benar-benar ciut dan aku berseru kepada Tuhan untuk memberiku rasa percaya diri dan kekuatan. Berkat doa itu, hatiku secara perlahan-pelan menjadi tenang, dan aku menjawab: “Aku tidak tahu apa-apa.” Ketika mereka mendengarku mengatakan itu, salah seorang dari mereka menggebrak meja dengan marah dan berteriak: “Tunggu saja, kita akan lihat bagaimana perasaanmu sebentar lagi!” Kemudian, dia mengambil pemutar MP4-ku dan menekan tombol putar. Aku sangat takut. Aku tidak tahu cara apa yang akan digunakannya terhadapku, maka aku berseru kepada Tuhan seketika itu juga. Aku tidak membayangkan bahwa yang diputarnya adalah rekaman sebuah kotbah: “Menurutmu orang semacam itu dapat diselamatkan? Dia tidak memiliki kecintaan kepada Kristus; dia tidak sepikir dengan Kristus. Ketika dia menjumpai kesulitan, ia menjauhkan diri dari Kristus dan mengambil jalannya sendiri. Dia memalingkan diri dari Tuhan, dan, dengan demikian mengikuti Iblis … Selama masa kekuasaan naga merah yang sangat besar, sementara mengalami pekerjaan Tuhan, jika engkau dapat memalingkan diri dari naga merah yang sangat besar itu dan berpihak kepada Tuhan, meskipun dia menganiaya, mengejar, atau menindasmu, engkau pasti dapat taat kepada Tuhan dan dapat tetap setia kepada Tuhan sampai mati. Hanya orang semacam inilah yang layak disebut seorang pemenang, yang layak disebut seseorang yang sepikiran dengan Tuhan” (“Sepuluh Realitas Firman Tuhan yang Harus Dimasuki Agar Dapat Diselamatkan dan Dijadikan Sempurna” dalam Pilihan Klasik dari Khotbah dan Persekutuan Mengenai Memasuki Hidup). Ketika aku mendengar kata “menjauhkan diri”, aku merasa hatiku tertusuk. Aku mau tidak mau berpikir bahwa ketika Tuhan Yesus sedang bekerja, banyak yang mengikuti-Nya dan menikmati rahmat-Nya, tetapi ketika Dia dipaku di salib dan serdadu Romawi menangkapi orang-orang Kristen di mana-mana, banyak orang yang lari karena takut. Ini membuat hati Tuhan sangat terluka! Namun kemudian, apa bedanya diriku dengan orang-orang yang tak tahu terima kasih itu? Ketika menikmati rahmat dan berkat-berkat Tuhan, aku dengan penuh percaya diri mengikuti Tuhan, tetapi ketika aku menghadapi kesulitan yang menuntut aku menderita dan membayar harga, aku ragu-ragu dan takut. Bagaimana itu dapat menyenangkan hati Tuhan? Aku berpikir tentang fakta bahwa untuk menyelamatkan kita, umat manusia yang rusak, Tuhan yang mahatinggi itu menjadi daging—dengan rendah hati dan diam-diam datang ke Tiongkok, negara yang dipimpin oleh kaum ateis ini, menoleransi pengejaran dan kutukan dari iblis-iblis ini, dan Dia secara pribadi memimpin kita ke jalan mencari kebenaran. Setelah melihat bahwa Tuhan telah melakukan segalanya untuk menyelamatkan kita, mengapa aku, sebagai seseorang yang sudah menikmati rahmat keselamatan-Nya, tidak bisa membayar harga yang tidak seberapa untuk menjadi saksi bagi-Nya? Di dalam hati kecilku, aku merasa dicela dan aku benci telah begitu egois, begitu tak berharga. Aku benar-benar merasa bahwa Tuhan penuh harapan dan perhatian kepadaku. Aku merasa bahwa Dia tahu betul betapa tidak dewasanya aku dalam hal tingkat pertumbuhanku dan betapa takutnya aku di hadapan kelaliman Iblis; Dia memungkinkanku mendengarnya dengan membiarkan polisi itu memutar rekaman tersebut, membuatku memahami kehendak-Nya, sehingga di tengah-tengah kesulitan dan penindasan aku dapat menjadi saksi bagi Tuhan dan menyenangkan hati-Nya. Untuk sesaat lamanya, aku begitu tergerak oleh cinta Tuhan hingga air mata meleleh di pipiku, dan dalam hati aku berkata kepada Tuhan: “Ya, Tuhan! Aku tidak ingin menjadi seseorang yang menjauhkan diri dari-Mu dan menyakiti hati-Mu; aku ingin tetap tinggal bersama-Mu dalam suka dan duka. Tidak peduli bagaimana Iblis menyiksaku, aku bertekad untuk terus bersaksi dan menyenangkan hati-Mu.”

Tiba-tiba terdengar sebuah dentuman keras ketika polisi itu mematikan alat pemutar tersebut, lalu bergegas mendatangiku dan berkata dengan penuh rasa benci: “Betul, aku adalah naga merah yang sangat besar, dan hari ini aku datang untuk menyiksamu!” Lalu, mereka memerintahkanku untuk berdiri di lantai dengan bertelanjang kaki dan memborgol tangan kananku ke sebuah cincin besi di tengah sebuah balok beton. Mereka memintaku untuk berdiri membungkuk sebab balok itu begitu kecil. Mereka tidak mengizinkanku berjongkok, dan mereka juga tidak memperbolehkanku menggunakan tangan kiriku untuk menopang kakiku. Aku tidak dapat terus berdiri setelah beberapa waktu dan ingin berjongkok, tetapi polisi itu berteriak: “Tidak boleh jongkok! Jika kau ingin penderitaanmu berkurang, cepat mengakulah!” Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menggertakkan gigi dan menanggungnya. Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Kakiku terasa seperti es, telapak kakiku sakit dan mati rasa, dan ketika aku benar-benar tak lagi sanggup berdiri, aku berjongkok. Polisi itu mengangkatku, membawa secangkir air dingin, dan menuangkannya di leherku. Aku merasa begitu kedinginan sampai mulai menggigil. Mereka kemudian melepaskan borgolku, dan membuka jendela serta menyalakan pendingin ruangan. Tiba-tiba, embusan angin dingin menghajarku dan aku gemetar karena rasa dingin. Aku mau tidak mau merasa lemah di dalam hatiku, tetapi di tengah-tengah penderitaan ini aku berdoa tanpa henti, memohon kepada Tuhan agar memberiku tekad dan kekuatan untuk menanggung rasa sakit ini, untuk membantuku mengatasi kelemahan daging. Pada waktu itulah, firman Tuhan membimbingku dari dalam batinku: “Bahkan ketika tubuhmu mengalami penderitaan, jangan dengarkan gagasan si Iblis. … Iman adalah seperti jembatan satu kayu gelondong kayu, mereka yang hidup secara tercela akan mengalami kesulitan menyeberanginya, namun mereka yang siap untuk berkorban dapat menyeberanginya tanpa perlu merasa khawatir” (“Bab 6, Perkataan Kristus pada Awal Mulanya” dalam “Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia”). Firman Tuhan membuatku mengerti bahwa Iblis ingin menyiksa dagingku agar aku mau mengkhianati Tuhan, dan jika aku mengindahkan daging aku akan menjadi mangsa bagi tipu dayanya. Aku terus mengulang-ulang dua kalimat dari firman Tuhan ini di pikiranku, dan mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku harus waspada terhadap tipu daya Iblis dan menolak gagasan-gagasannya. Setelahnya, polisi tersebut mengambil sewadah besar air dingin dan mengguyurkan seluruhnya ke leherku. Semua pakaianku basah kuyup. Pada waktu itu, aku merasa seakan-akan telah jatuh ke dalam sebuah lemari es. Ketika melihat polisi itu, yang begitu keji, begitu jahat, aku dipenuhi dengan akar kepahitan. Aku berpikir: Gerombolan iblis ini akan melakukan segala upaya untuk membuatku mengkhianati Tuhan—aku tentu saja tidak akan memberikan rencana kotor mereka itu berhasil! Melihatku menggigil hebat, salah seorang polisi yang jahat itu menjambak segenggam rambutku dan memaksaku untuk menengadahkan kepalaku agar melihat ke langit melalui jendela, kemudian dengan nada mengejek berkata: “Tidakkah kau merasa kedinginan? Mintalah Tuhanmu untuk datang menyelamatkanmu!” Dia melihat bahwa aku tidak bereaksi, maka dia sekali lagi mengguyurkan sewadah besar air dingin ke atasku dan memasang pendingin ruangan pada setelan yang paling dingin, kemudian mengarahkannya tepat kepadaku. Embusan demi embusan udara dingin yang menusuk tulang ditambah dengan angin yang dingin menghajarku. Aku begitu kedinginan sampai harus meringkuk seperti sebuah bola dan hampirbeku seluruhnya. Aku merasa bahwa seluruh tubuhku telah mengeras. Rasa percaya diriku memudar sedikit demi sedikit, dan aku mau tidak mau mulai memikirkan gagasan-gagasan yang gila: Hari yang begitu dingin, tetapi mereka menyiramiku sampai basah kuyup dengan air dingin dan menyalakan pendingin ruangan. Apakah mereka mencoba membekukanku hidup-hidup? Jika aku mati di sini, kerabat-kerabatku bahkan tidak akan tahu. Persis ketika aku tenggelam ke dalam kegelapan dan keputusasaan, aku tiba-tiba berpikir tentang penderitaan yang ditanggung oleh Tuhan Yesus ketika dipakukan ke kayu salib untuk menebus umat manusia. Dan aku juga mengingat firman Tuhan: “Kasih yang telah mengalami pemurnian adalah kuat, dan tidak lemah. Terlepas dari saat atau cara Tuhan akan mengujimu lewat ujian-Nya, engkau mampu untuk tidak memedulikan apakah engkau akan hidup atau mati, untuk dengan senang hati menyingkirkan semuanya untuk Tuhan, dan untuk dengan semringah menjalani apa pun juga untuk Tuhan—dan dengan begitu kasihmu akan murni, dan imanmu nyata” (“Hanya dengan Mengalami Pemurnian, Manusia Dapat Sungguh-Sungguh Mengasihi Tuhan” dalam “Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia”). Firman Tuhan ini sungguh-sungguh membangkitkan semangatku—ya! Hari ketika sanggup bersaksi bagi Tuhan adalah saat ketika Dia mengangkatku—bagaimana mungkin aku mengindahkan daging? Meskipun aku harus kehilangan hidupku, aku bertekad untuk setia kepada Tuhan. Tiba-tiba, muncul suatu gelora di dalam hatiku dan aku merasa sangat terinspirasi. Aku diam-diam berdoa kepada Tuhan: “Ya, Tuhan! Engkau telah memberiku napas ini, aku lebih memilih mati daripada berpegang erat pada hidup dan menjadi pengkhianat terhadap-Mu!” Secara perlahan-lahan, aku tidak lagi merasa sedingin tadi, sehingga aku benar-benar bisa merasakan penyertaan dan penghiburan Tuhan. Dari tengah hari sampai sekitar jam tujuh malam, polisi terus menginterogasiku. Mereka melihat bahwa aku tidak mau membuka mulut sama sekali, sehingga mereka mengunciku di ruang interogasi dan terus mengembuskan angin dingin kepadaku.

Setelah makan malam, polisi meningkatkan intensitas interogasi mereka. Mereka dengan ganas mengancamku dengan berkata: “Katakan pada kami! Siapa pemimpin gerejamu? Jika engkau tidak mengatakannya kepada kami, kami punya cara-cara lain, kami dapat memaksamu minum jus cabe pedas, air sabun, memaksamu makan tinja, menelanjangimu, melemparkanmu ke ruang bawah tanah, dan membuatmu membeku sampai mampus! Jika engkau tidak bicara hari ini, kami akan menanyaimu lagi besok. Kami punya banyak waktu!” Ketika polisi yang jahat itu mengatakan hal ini, aku benar-benar melihat mereka bukan sebagai manusia sama sekali, tetapi mereka adalah segerombolan iblis dalam rupa manusia. Semakin mereka mengancamku dengan cara itu, semakin aku membenci mereka dalam hatiku, dan semakin besar tekadku untuk tidak pernah menyerah pada mereka. Ketika mereka melihat bahwa aku tidak mau menyerah, mereka mengambil sebuah karung kain, mencelupkannya ke dalam air, dan meletakannya di atas kepalaku. Mereka menekankannya ke atas kepalaku dan tidak membiarkanku bergerak, lalu mengencangkannya. Aku sama sekali tidak dapat bergerak sebab kedua tanganku diborgol ke kursi. Tidak lama kemudian, aku merasa sangat tercekik; aku merasa seluruh tubuhku menjadi kaku. Namun, itu masih belum cukup untuk mengusir kebencian mereka. Mereka mengambil sewadah air dingin dan menuangkannya ke dalam hidungku sambil mengancamku, dan berkata bahwa jika aku tidak bicara, aku akan mati lemas. Kantong yang basah itu sendiri sudah tidak memungkinkan udara masuk, belum lagi ditambah dengan air yang dituangkan ke dalam hidungku. Bernapas menjadi begitu sulit dan aku merasa bahwa ajalku sudah dekat. Aku diam-diam berdoa kepada Tuhan: “Ya Tuhan, napasku ini dikaruniakan kepadaku oleh-Mu, dan hari ini aku mesti hidup bagi-Mu. Tidak peduli bagaimana polisi yang jahat itu menyiksaku, aku tidak akan mengkhianati-Mu. Jika Engkau memintaku untuk mengorbankan hidupku, aku bersedia untuk menaati rancangan dan pengaturan-Mu tanpa sedikit pun mengeluh …” Persis ketika aku mulai kehilangan kesadaran dan hampir berhenti bernapas, mereka tiba-tiba melepaskan tangan mereka. Aku pun mau tidak mau terus bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku. Aku telah secara nyata mengalami bahwa Tuhan adalah penguasa segalanya, bahwa Dia selalu mengawasi dan melindungiku, dan walaupun aku jatuh ke tangan polisi yang jahat, Tuhan hanya mengizinkan mereka menyiksa dagingku tetapi tidak membiarkan mereka merenggut hidupku. Setelah itu, rasa percaya diriku bertumbuh.

Keesokan harinya sekitar tengah hari, beberapa polisi memasukkanku dan seorang saudari lain ke dalam sebuah kendaraan polisi dan membawa kami ke rumah tahanan. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku dengan nada mengancam: Engkau tidak berasal dari sekitar sini. Kami akan menawanmu sampai sekitar enam bulan, kemudian menghukummu 3-5 tahun, sehingga tidak seorang pun akan tahu.” “Menghukum?” Segera setelah aku mendengar bahwa aku akan dihukum, aku mau tidak mau menjadi lemah. Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat menunjukkan wajahku jika aku benar-benar dijatuhi hukuman penjara dan bagaimana orang akan melihatku; mereka pastinya akan memandangku rendah. Persis ketika aku merasa sakit dan lemah, Tuhan sekali lagi menunjukkan kasih karunia-Nya. Orang-orang lain di sel tempat aku dijebloskan semuanya adalah saudari yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Walaupun mereka berada di kandang iblis, mereka tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Mereka menguatkan dan mendukung satu sama lain, dan ketika mereka melihat bahwa aku negatif dan lemah, mereka berbicara denganku mengenai pengalaman-pengalaman pribadi mereka dan memberi kesaksian, memberiku keyakinan kepada Tuhan. Mereka juga menyanyikan lagu pujian untuk menguatkanku: “Tuhan dengan rendah hati menjadi daging untuk menyelamatkan umat manusia, menuntun setiap langkah, berjalan di antara gereja-gereja, mengungkapkan kebenaran, dengan telaten menyirami manusia, menyucikan dan menyempurnakannya. Aku telah merasakan pahitnya ujian dan mengalami penghakiman Tuhan. Kemanisan mengikuti kepahitan, dan kerusakanku ditahirkan. Aku mempersembahkan hatiku, tubuhku untuk membalas kasih Tuhan, membalas kasih Tuhan. Tuhan telah melihat banyak musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin, menerima kepahitan dengan kemanisan. Dia mengorbankan semuanya tanpa pernah menyesal, Dia telah memberikan kasih-Nya tanpa pamrih. Aku telah merasakan pahitnya ujian dan mengalami penghakiman Tuhan. Kemanisan mengikuti kepahitan, dan kerusakanku ditahirkan. Aku mempersembahkan hatiku, tubuhku untuk membalas kasih Tuhan, membalas kasih Tuhan. Orang-orang yang kukasihi telah membuangku, yang lain memfitnahku. Namun, kasihku bagi Tuhan tak tergoyahkan sampai akhir. Aku sungguh-sungguh membaktikan diriku untuk mengikuti kehendak Tuhan. Aku menanggung aniaya dan sengsara, mengalami pasang surut. Tak masalah bahwa aku menanggung semua ini dalam hidup, atau bahwa hidupku penuh kepahitan. Aku harus mengikuti Tuhan dan bersaksi bagi-Nya” (“Membalas Kasih Tuhan dan Menjadi Saksi-Nya” dalam “Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru”). Ketika berpikir mengenai lagu ini, aku merasakan kekuatan hidup dari saudari-saudari ini, dan aku benar-benar dikuatkan. Memang benar, kami mengikuti Tuhan yang sejati dan melangkah di jalan hidup yang benar di suatu negara yang diperintah oleh partai ateis yang melihat Tuhan sebagai musuh. Kami ditakdirkan untuk menanggung banyak kesulitan, tetapi semuanya ini mempunyai makna, dan bahkan duduk di penjara adalah hal yang mulia sebab kami dianiaya demi mengejar kebenaran serta mengikuti jalan Tuhan. Hal tersebut sepenuhnya berbeda dari manusia duniawi yang dipenjara karena melakukan kejahatan-kejahatan yang mengerikan. Aku kemudian berpikir mengenai generasi demi generasi begitu banyak orang kudus yang telah menderita penganiayaan dan penghinaan karena tetap memegang jalan yang benar. Namun kini, aku telah dengan cuma-cuma diberi begitu banyak firman Tuhan—aku memahami kebenaran yang tidak mampu dipahami berbagai generasi, aku mengetahui misteri yang bergenerasi tidak ketahui, jadi mengapa aku tidak sanggup menoleransi sedikit penderitaan untuk bersaksi bagi Tuhan? Ketika aku berpikir mengenai hal ini, sekali lagi aku merangkak keluar dari keadaanku yang lemah, hatiku penuh dengan keyakinan dan kekuatan, dan aku bertekad untuk mengandalkan Tuhan serta menyambut siksaan dan tuntutan mengaku besok dengan kepala tegak.

Sepuluh hari kemudian, polisi mengirimku ke pusat tahanan sendirian. Aku melihat bahwa semua orang yang lain ditawan di sana karena kasus penipuan, pencurian, dan bisnis ilegal. Tidak lama setelah aku masuk, mereka berkata kepadaku: “Siapa pun yang masuk ke sini biasanya tidak keluar. Kami semua sedang menunggu putusan kami, dan beberapa dari kami telah menunggu selama berbulan-bulan.” Melihat orang-orang ini, aku begitu gugup sampai hatiku serasa mau meledak. Aku menjadi takut bahwa mereka akan memperlakukanku dengan buruk, dan ketika aku berpikir tentang fakta bahwa polisi akan mengunci aku bersama mereka, aku pikir mereka kemungkinan besar akan menjatuhkan putusan atasku sebagai seorang penjahat. Aku telah mendengar bahwa beberapa saudara-saudari telah dipenjara selama delapan tahun. Aku tidak tahu akan berapa lama hukumanku, dan aku baru berumur 29 tahun saat itu! Masa mudaku tidak mungkin dihabiskan terkurung di sel yang gelap ini, bukan? Bagaimana aku akan menjalani hari-hariku di sini? Pada waktu itu, kampung halaman, orangtua, suami, dan anakku tiba-tiba semuanya terasa begitu jauh dariku. Rasanya seperti ada sebilah pisau yang menghunjam hatiku, dan air mata pun menggenangi mataku. Aku tahu bahwa aku telah jatuh ke dalam tipu daya Iblis, maka dengan berapi-api aku berseru kepada Tuhan, mengharapkan-Nya untuk menuntunku membebaskan diri dari penderitaan ini. Di tengah doaku, aku merasakan bimbingan yang nyata di dalam batinku: Ketika engkau menghadapi hal ini, engkau diberi izin oleh Tuhan. Persis seperti Ayub yang diuji, janganlah mengeluh. Saat itu juga, firman Tuhan membawa pencerahan kepadaku: “Apa kau bersedia berserah kepada setiap pengaturan-Ku (entah itu maut atau kebinasaan) ataukah akan melarikan diri di tengah jalan untuk menghindari hajaran-Ku?” (“Apa yang Kauketahui tentang Iman?” dalam “Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia”). Penghakiman dan hajaran di dalam firman Tuhan tersebut membuatku merasa malu. Aku melihat bahwa aku tidak sedikit pun tulus terhadap Tuhan, tetapi aku sekadar mengatakan bahwa aku ingin menjadi seorang saksi yang baik bagi-Nya. Namun demikian, ketika aku benar-benar menghadapi ancaman penjara, yang kuinginkan hanyalah lari. Aku tidak punya kemampuan praktis untuk menderita demi kebenaran. Saat mengingat-ingat masa ketika aku ditawan, Tuhan selalu berada di sisiku sepanjang waktu. Dia tidak pernah meninggalkanku karena takut aku akan tersesat atau tersandung di jalan itu. Cinta Tuhan kepadaku sepenuhnya tulus dan sama sekali tidak hampa. Namun, aku egois dan mementingkan diri sendiri, dan sepanjang waktu berpikir mengenai keuntungan dan kerugian kedaginganku sendiri. Aku tidak bersedia membayar harga berapa pun untuk Tuhan—bagaimana aku dapat memiliki kemanusiaan? Dan Hati Nurani? Ketika aku berpikir mengenai hal itu, aku merasa penuh dengan penyesalan dan rasa berutang budi. Aku diam-diam berdoa kepada Tuhan dan bertobat: Ya Tuhan! Aku salah. Aku tidak lagi bisa bermanis bibir kepada-Mu dan mengelabui-Mu. Aku bersedia menghayati realitas untuk menyenangkan hati-Mu. Tidak peduli seperti apa vonisku, aku pasti akan tetap bersaksi bagi-Mu—aku hanya memohon agar Engkau melindungi hatiku. Saat itulah, kepala para tahanan datang dan berkata kepadaku: “Aku tidak tahu mengapa engkau di sini, tetapi kami punya pepatah: ‘Mengakulah agar mendapat keringanan dan engkau akan menjalani hukuman sampai akhir; melawanlah dengan teguh dan engkau dapat pergi menjalani hidupmu.’ Jika engkau tidak ingin bicara, jangan bicara.” Aku bersyukur kepada Tuhan untuk pengaturan dan hikmat luar biasa yang disampaikan kepadaku oleh kepala para tahanan, sehingga aku tahu bagaimana menghadapi interogasi berikutnya. Selain itu, para tawanan yang lain tidak hanya tidak mengusikku, tetapi justru malah memperhatikanku, memberiku pakaian, memberiku makanan tambahan pada waktu makan, dan berbagi denganku buah dan kudapan yang mereka beli sendiri, dan mereka juga membantuku dalam pekerjaan sehari-hari. Aku tahu bahwa ini semua adalah rancangan dan pengaturan Tuhan; ini adalah belas kasih Tuhan bagi tingkat pertumbuhanku yang masih sedikit. Ketika menghadapi kasih dan perlindungan-Nya, aku membulatkan tekadku: Tidak peduli berapa lama hukumanku, aku akan tetap bersaksi bagi Tuhan!

Di pusat tahanan, polisi menginterogasiku setiap beberapa hari sekali. Ketika mereka menyadari bahwa cara yang keras tidak berhasil denganku, mereka beralih ke cara yang lembut. Polisi yang menginterogasiku dengan sengaja berbicara dengan santai dan mengobrol denganku, memberiku makanan enak untuk kusantap, dan mengatakan bahwa mereka dapat membantuku memperoleh pekerjaan yang bagus. Aku tahu ini adalah tipu daya Iblis, sehingga setiap kali mereka menginterogasiku aku hanya berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk melindungiku dan tidak membiarkanku jatuh dimangsa oleh tipu daya ini. Suatu kali, ketika seorang polisi sedang menginterogasiku, dia akhirnya menyatakan maksud mereka yang jahat: “Kami tidak punya masalah pribadi denganmu, kami hanya ingin menghancurkan Gereja Tuhan Yang Mahakuasa. Kami berharap engkau dapat bergabung dengan kami.” Ketika aku mendengar kata-kata yang jahat ini, aku luar biasa marah. Aku berpikir: Tuhan menciptakan manusia dan terus memelihara serta memimpin kita sepanjang waktu sampai sekarang. Dan kini, Dia telah datang untuk menyelamatkan mereka yang diciptakan-Nya dan membantu kita terbebas dari jurang penderitaan. Apa gerangan yang salah dengan itu? Mengapa hal itu begitu dibenci, begitu dianggap jahat oleh para iblis ini? Kita ini ciptaan Tuhan. Mengikuti Tuhan dan memuji-Nya adalah hal yang benar dan selayaknya, jadi mengapa Iblis menghalang-halangi kita dengan ini, dan mencoba merebut kemerdekaan kita dalam mengikuti Tuhan? Kini, mereka mencoba membuatku menjadi sebuah boneka di dalam upaya mereka untuk menjatuhkan Tuhan. Pemerintah Partai Komunis Tiongkok adalah segerombolan roh jahat yang bertekad untuk menentang Tuhan. Mereka adalah reaksioner yang begitu jahat! Aku penuh dengan kemarahan dan aku semakin membenci Partai Komunis Tiongkok, dan satu-satunya yang kuinginkan adalah bersaksi bagi Tuhan dan menyenangkan hati-Nya. Ketika polisi melihat bahwa aku masih tidak mau bicara, mereka mulai menggunakan metode-metode psikologis terhadapku. Mereka mencari suamiku melalui China Mobile dan membawanya dan anakku untuk membujukku. Suamiku awalnya tidak masalah dengan kepercayaanku kepada Tuhan, tetapi setelah diperdaya oleh polisi, ia berulang kali mengatakan kepadaku: “Aku mohon kepadamu untuk meninggalkan imanmu. Setidak-tidaknya, pikirkan anak kita jika bukan untuk aku. Punya seorang ibu di penjara akan memberi dampak yang mengerikan kepadanya. …” Aku tahu suamiku mengatakan ini karena ketidaktahuan, maka aku menyela dan berkata: “Engkau masih tidak mengerti aku? Kita sudah hidup bersama selama bertahun-tahun, kapan engkau pernah melihatku melakukan sesuatu yang keji? Jika engkau tidak mengerti sesuatu, maka tutup saja mulutmu.” Ketika suamiku menyadari bahwa kata-katanya tidak dapat mengubah pikiranku, dia mengucapkan kata-kata yang kejam ini: “Engkau begitu keras kepala dan tak mau mendengarkan—kalau begitu aku akan menceraikanmu saja!” Kata ini, “menceraikan”, sangat menusuk hatiku dengan dalam. Hal itu membuatku semakin membenci pemerintah Partai Komunis Tiongkok. Fitnah dan bibit perpecahan yang ditaburkannyalah yang membuat suamiku membenci pekerjaan Tuhan dan mengucapkan kata-kata tak berperasaan seperti itu kepadaku. Pemerintah Partai Komunis Tiongkok adalah benar-benar biang-kerok yang mendorong orang biasa untuk melawan Sorga! Ia juga merupakan biang-kerok yang meremehkan perasaan kami sebagai suami dan istri! Saat berpikir demikian, aku tidak ingin mengatakan apa-apa lagi kepada suamiku. Aku hanya berkata dengan suara yang tenang: “Kalau begitu, segeralah pergi dan bawa anak kita pulang.” Ketika polisi melihat bahwa taktik ini tidak berhasil, mereka begitu marah sampai mereka berjalan hilir-mudik di depan meja mereka dan berteriak-teriak kepadaku, mengatakan: “Kami sudah bekerja begitu keras dan belum mendapatkan satu jawaban pun darimu! Jika engkau terus menolak bicara, kami akan mengecapmu sebagai kepala daerah ini, sebagai seorang tahanan politik! Jika engkau tidak bicara hari ini, tidak akan ada kesempatan lain!” Namun, tidak peduli betapa keras mereka berteriak-teriak dan mengoceh, aku hanya berdoa kepada Tuhan dalam hati, memohon kepada-Nya untuk menguatkan imanku.

Selama interogasi, ada sebuah lagu pujian dari firman Tuhan yang terus membimbingku dari dalam: “Dalam tahap pekerjaan ini, iman yang besar dan kasih yang besar dituntut dari kita. Kita mungkin tersandung akibat kecerobohan yang paling kecil karena tahap pekerjaan ini berbeda dari yang sebelumnya. Yang sedang Tuhan sempurnakan adalah iman manusia—orang tidak dapat melihat atau menyentuhnya. Yang Tuhan lakukan adalah mengubah firman menjadi iman, menjadi kasih, dan hidup. Orang-orang harus mencapai titik di mana mereka telah mengalami ratusan pemurnian dan memiliki iman yang lebih besar dari iman Ayub. Mereka harus menanggung penderitaan luar biasa dan segala macam penderitaan tanpa pernah meninggalkan Tuhan. Ketika mereka taat sampai mati, dan memiliki iman yang besar kepada Tuhan, maka tahap pekerjaan Tuhan ini selesai. … Pekerjaan Tuhan tidak sesederhana seperti yang engkau semua bayangkan. Semakin kurang sejalan dengan pengertian orang-orang, semakin dalam maknanya, dan semakin sejalan dengan pengertian orang-orang, semakin kurang nilainya, dan tanpa makna yang sebenarnya. Pertimbangkan perkataan-perkataan ini dengan saksama” (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Karena iman dan kekuatan yang kuterima dari firman Tuhan, saat aku diinterogasi aku kelihatan sangat teguh. Namun, ketika aku kembali ke selku, aku tidak bisa tidak merasa sedikit lemah dan tersakiti. Kelihatannya suamiku benar-benar akan menceraikanku dan aku tidak akan punya rumah lagi. Aku juga tidak tahu berapa lama hukumanku. Di tengah-tengah rasa sakit ini, aku teringat akan firman Tuhan berikut: “Engkau harus mengalami suasana hati Petrus saat itu: Petrus dilanda kesedihan, ia tidak meminta masa depan atau berkat lagi. Petrus tidak mencari keuntungan, kebahagiaan, ketenaran, atau kekayaan duniawi, dan hanya berusaha menjalani kehidupan yang paling berarti, yaitu untuk membalas kasih Tuhan dan mempersembahkan apa yang paling berharga kepada Tuhan. Kemudian, barulah Petrus merasa puas dalam hatinya” (“Cara Petrus Mengenal Yesus” dalam “Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia”). Aku begitu terharu oleh perbuatan Petrus, dan ini juga membangkitkan tekadku untuk menyerahkan segalanya untuk menyenangkan hati Tuhan. Memang benar demikianlah adanya. Ketika Petrus sampai pada titik yang paling membuatnya pedih, dia masih sanggup menanggungnya dan memuaskan Tuhan. Hal itu bukan demi masa depan atau nasibnya sendiri, atau demi keuntungannya, dan pada akhirnya ketika dia dipaku dalam keadaan terbalik di salib, dia memberi kesaksian yang baik dan sangat jelas bagi Tuhan. Namun aku waktu itu memiliki kesempatan yang bagus untuk mengikuti Tuhan yang berinkarnasi, untuk menikmati perbekalan Tuhan yang tak berkesedahan bagi hidupku dan juga kasih karunia serta berkat-berkat-Nya, tetapi aku belum pernah membayar harga yang nyata bagi Tuhan. Dan kemudian ketika Dia butuh aku untuk bersaksi bagi-Nya, aku tidak dapat menyenangkan hati-Nya barang sekali saja? Apakah kehilangan peluang ini akan menjadi sesuatu yang kusesali sepanjang hidupku? Ketika aku berpikir tentang hal itu, aku membulatkan tekadku di hadapan Tuhan: Ya Tuhan, aku bersedia mengikuti teladan Petrus. Tidak peduli bagaimana nasibku, bahkan jika aku harus bercerai atau menghabiskan waktu di penjara, aku tidak akan mengkhianati-Mu! Setelah berdoa, aku merasakan gelombang kekuatan yang bangkit di dalam diriku. Aku tidak lagi berpikir tentang apakah aku akan dijatuhi hukuman atau tidak atau berapa lamakah hukumanku itu, dan aku tidak lagi berpikir tentang apakah aku dapat kembali ke rumah dan bersatu kembali dengan keluarga atau tidak. Aku hanya berpikir bahwa satu hari lagi di kandang iblis ini adalah satu hari lagi bersaksi bagi Tuhan, dan bahkan bila aku harus dipenjara hingga mati, aku tidak akan menyerah kepada Iblis. Ketika aku benar-benar menyerahkan diriku, aku sungguh-sungguh merasakan cinta dan belas kasih Tuhan. Suatu siang beberapa hari kemudian, seorang penjaga tiba-tiba berkata kepadaku: “Kemasilah barang-barangmu, engkau boleh pulang.” Aku sungguh tidak berani memercayai telingaku! Sebelum dibebaskan, polisi memintaku menandatangani sebuah dokumen. Aku membaca kata-kata yang tertulis dengan sangat jelas: “Tidak bersalah karena tidak cukup bukti, dibebaskan.” Melihat ini, aku gembira tak terkira. Aku sekali lagi menyaksikan kemahakuasaan dan kesetiaan Tuhan, bahwa “… mereka yang siap untuk berkorban dapat menyeberanginya tanpa perlu merasa khawatir.” Pertempuran dalam perang rohani ini telah menjadi kekalahan bagi Iblis dan Tuhan dimuliakan pada akhirnya!

Setelah 36 hari ditahan dan dianiaya oleh polisi Partai Komunis Tiongkok, aku memiliki pemahaman yang benar mengenai tirani yang kejam, dan hakikat pemerintah Partai Komunis Tiongkok yang durhaka dan reaksioner. Sejak saat itu, aku menumbuhkan kebencian yang mendalam terhadapnya. Aku tahu bahwa selama masa-masa sulit itu, Tuhan senantiasa besertaku, menerangiku, membimbingku, dan memampukanku untuk mengalahkan kekejaman dan cobaan Iblis di setiap langkah yang kulalui. Ini memberiku pengalaman sejati tentang fakta bahwa firman Tuhan benar-benar merupakan sumber hidup umat manusia dan kekuatan kita. Hal tersebut juga membuatku benar-benar memahami bahwa Tuhan adalah Tuhan penguasa kita dan memerintah atas semuanya, dan tidak peduli betapa banyaknya tipu daya Iblis, ia akan selalu dikalahkan oleh Tuhan. Partai Komunis Tiongkok berusaha menyiksa dagingku untuk memaksaku mengkhianati Tuhan, untuk meninggalkan-Nya, tetapi siksaannya yang keji tidak hanya tidak sanggup menghancurkanku, tetapi justru menguatkan tekadku dan memungkinkanku untuk secara gamblang melihat wajahnya yang jahat, untuk mengalami kasih serta keselamatan dari Tuhan. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku untuk segala sesuatu yang sudah diatur-Nya bagiku, yang memampukanku meraih kekayaan hidup yang paling bernilai! Resolusi pribadiku adalah: Tidak peduli penindasan atau kesulitan apa pun yang menghadang di jalan di depanku, aku bersedia untuk secara teguh mengikuti Tuhan dan terus mengabarkan injil seperti sebelumnya untuk membalas kasih-Nya yang agung!

Sumber: id.kingdomsalvation.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment