Pergumulanku untuk Beradaptasi di Gereja yang Baru

Oleh Chanel Geogopoulos, Afrika Selatan
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Struggled To Fit Into My New Church

Aku melihat ke sekelilingku, ke wajah-wajah jemaat yang asing bagiku, lalu aku kembali menatap ke depan, kepada pendeta yang sudah berkhotbah selama 25 menit. Aku tumbuh besar di gereja yang sesi khotbahnya biasanya berlangsung paling lama hanya 15 menit.

Selain itu, ada beberapa perbedaan lainnya. Di gerejaku yang baru, emosiku tergerak dalam cara-cara yang tidak pernah kualami di gereja lamaku. Ada tangisan air mata saat aku menyembah Tuhan, dan ada kehangatan yang memenuhi dadaku saat aku melihat para jemaat saling berinteraksi.

Tapi, ada suatu hal yang menggangguku. Meskipun aku sudah datang beribadah di gereja ini bersama pacarku selama empat bulan, aku masih merasa asing.

Sebelum pindah ke sini, aku berada di satu gereja yang sama seumur hidupku. Tapi, kemudian aku bertemu dan jatuh cinta dengan seseorang dari gereja yang berbeda. Mungkin kalau tidak bertemu dengan pacarku, aku akan tetap berada gereja lamaku seumur hidupku.

Awalnya, kami mencoba saling menghadiri ibadah di gereja masing-masing. Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk pindah ke gereja pacarku karena kupikir mungkin ini adalah keputusan yang baik buatku. Selama delapan tahun terakhir, di gereja lamaku, aku melayani di paduan suara dan hanya berinteraksi dalam lingkaran pertemananku yang kecil, yang isinya sesama anggota paduan suara gereja juga. Mungkin inilah waktu bagiku untuk pindah ke “padang rumput” yang baru.

Tapi, ada satu masalah: aku merasa seperti anak baru yang asing dengan lingkungannya. Setiap Minggu, aku duduk di sisi pacarku, menghindari banyak wajah ramah yang menyapaku.

Beberapa orang mendorongku untuk terlibat dalam pelayanan. Pikiran pertamaku adalah melayani di bidang musik, di mana aku pernah melayani juga di gereja lamaku. Tapi, di sini ada banyak sekali perbedaannya. Dan, kalau aku harus mengakui, suaraku tidak pas untuk menyanyi solo. Pilihan itu pun gugur, lalu aku ditawari kesempatan untuk melayani sebagai pembuat minuman teh dan penata peralatan makan, atau membuat slide powerpoint (bukan keahlianku)—sejujurnya, aku tidak ingin melayani di semua bidang itu.

Dari pengalamanku melayani di gerejaku yang dulu, aku tahu bahwa dengan melayani, aku bisa mengubah perasaanku mengenai datang ke ibadah setiap hari Minggu. Jadi, inilah yang juga ingin aku lakukan sekarang. Tapi, aku tidak tahu bagaimana memulainya. Aku tahu Tuhan tidak ingin kalau aku cuma sekadar duduk di bangku setiap hari Minggu dan menutup diriku di balik sifat introverku. Aku harus keluar dari cangkangku.

Aku masih berusaha mencari tahu apa yang dapat kulakukan. Hingga suatu ketika, aku mulai ikut kelompok kecil bersama pacarku. Kelompok kecil yang kuikuti itu menyambutku dengan sangat baik. Sejak bergabung dengannya, aku dengan cepat bisa beradaptasi dan merasa bahwa aku juga adalah anggota dari gereja.

Di gereja lamaku, aku tidak benar-benar bersosialisasi dengan pemuda-pemudi lainnya di luar kelompok paduan suara. Tapi, di gerejaku yang baru ini, ada acara minum teh bersama seusai kebaktian yang jadi kesempatan yang amat baik untuk saling bertegur sapa. Rasanya menyenangkan ketika aku diundang untuk ikut sarapan atau pergi ke pantai bersama-sama, atau ketika seseorang menanyakanku bagaimana hari-hariku sepanjang minggu ini berlangsung.

Jika kamu baru pindah ke gereja yang baru, atau sedang bergumul untuk bisa beradaptasi dengan gerejamu, mungkin kamu juga bisa mencoba ambil bagian untuk melayani, atau bergabung dengan kelompok kecil. Inilah beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk dapat merasakan gerejamu menjadi seperti rumahmu:

  • Menyapa orang yang duduk di sebelahmu (seberapa sering kamu melakukan ini?).
  • Tanyakan kepada seseorang yang menurutmu mengenalmu dengan baik, tanyakan hal apakah yang sekiranya tepat untuk kamu lakukan.
  • Cari tahu siapa yang bertugas di pelayanan, dan berbicaralah dengan mereka tentang kesempatan-kesempatan melayani yang tersedia.
  • Doakan rencana-rencana pelayananmu itu.
  • Setelah kebaktian usai, janganlah langsung pulang. Jika di gerejamu ada acara ramah-tamah, ikuti.

Aku memiliki beberapa nomor kontak pemimpin gereja yang tak pernah kuhubungi di ponselku, jadi kupikir aku harus mempraktikkan poin ketiga dari tips-tips yang sudah kusebutkan di atas. Namun, syukurlah karena acara minum teh bersama seusai kebaktian jadi kesempatan yang baik untuk mengobrol dan bertegur sapa dengan jemaat-jemaat lain. Dan, dari sinilah relasiku dengan orang-orang yang kemudian menjadi satu kelompok kecil denganku bermula. Dari sekadar obrolan sambil minum teh, berlanjut jadi relasi yang erat.

Paulus mengatakan bahwa setiap anggota tubuh Kristus memiliki perannya masing-masing, ada yang berperan untuk bernubuat, melayani, mengajar, mendorong, dan bahkan menunjukkan belas kasihan (Roma 12:3-8). Mungkin kamu perlu menguji beberapa hal terlebih dulu sebelum memutuskan bergabung dengan suatu pelayanan. Tapi, mungkin juga kamu nantinya mendapati dirimu melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kamu pikirkan, atau sesuatu yang kamu pikir bukan keahlianmu. Tidak semua orang terpanggil melayani di atas panggung dan menyanyi. Ada yang terpanggil untuk melayani di balik layar. Tapi, di atas panggung atau di balik layar, itu tidak membuat apa yang kita lakukan menjadi kurang berarti. Bahkan, percakapan sederhana dengan orang lain bisa jadi sesuatu yang berdampak besar. Yang penting adalah kita membuka hati kita untuk mau dipimpin oleh Roh Kudus dan mau bergabung dan sama-sama membangun gereja di mana kita tertanam di dalamnya.

Meskipun aku sudah menetap di gerejaku, aku merasa bahwa ini masih proses transisi. Mungkin nanti aku akan mencoba melayani sebagai pembuat teh dan menyajikan kue-kue kepada jemaat, atau mungkin juga kelak akan ada diskusi hangat yang akan memberiku petunjuk jalan apa yang harus kuambil. Yang aku tahu sekarang dengan yakin adalah kelompok kecilku telah menjadi berkat buatku, dan kepindahanku ke gereja yang baru mengizinkanku untuk Tuhan berkarya di bagian hatiku yang lebih dalam. Untuk semua hal ini, aku bersyukur.

Sumber: warungsatekamu.org

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment