Raksasa Bernama Patah Semangat

Oleh: Olivia Ow
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: The Giant Called Dismay)

Kantor adakalanya tak berbeda dengan medan perang. Bagi sebagian orang, setiap hari kerja itu penuh dengan masalah yang harus dibereskan. Bagi yang lain, itu berarti harus berkejaran dengan tenggat waktu dan menghadapi hubungan interpersonal yang kompleks, termasuk rekan kerja yang bisa saja menikam dari belakang.

Bekerja di lembaga pelayanan Kristen tidak membuat hari-hariku lantas terbebas dari masalah dalam hubunganku dengan sesama. Ada saja kekeliruan, kekurangan, dan salah paham. Timothy Keller, seorang pengkhotbah sekaligus penulis, menuliskan pengamatannya, “Semua orang punya masalah. Sebab itu, semua hubungan pasti punya masalah.” Di mana pun kita bekerja, kita semua akan menghadapi “raksasa” bernama patah semangat.

Bagi kita yang bekerja di dalam organisasi Kristen atau melayani di gereja, penting untuk mengingat bahwa kita adalah para prajurit dalam pasukan yang sama. Pertempuran kita adalah untuk menyelamatkan jiwa dan menegakkan kebenaran, bukan untuk mendapatkan pujian bagi diri sendiri. Musuh kita bukanlah sesama manusia, tetapi Iblis yang berusaha merusak pelayanan kita dengan menciptakan perpecahan.

Dalam Ulangan 20:5-8, kita membaca pasal menarik yang bicara mengenai peraturan-peraturan dalam peperangan. Meskipun aturan-aturan tersebut tidak diterapkan secara harafiah saat ini, prinsip-prinsipnya tetaplah relevan bagi kita.

Pertama-tama, kesatuan tidak selalu berarti “semua untuk satu, satu untuk semua.” Kita tidak perlu menuntut semua orang untuk berdiri di garis depan, dan bekerja dengan intensitas yang sama. “Siapakah orang yang telah mendirikan rumah baru, tetapi belum menempatinya? Ia boleh pergi dan pulang ke rumahnya…” (ayat 5). “Dan siapa telah membuat kebun anggur, tetapi belum mengecap hasilnya? Ia boleh pergi dan pulang ke rumahnya…” (ayat 6). Urusan-urusan pribadi kita juga penting bagi Allah.

Bagaimana penerapannya dalam kehidupan kita sehari-hari? Mungkin itu berarti menyesuaikan harapan-harapan kita terhadap rekan kerja atau teman gereja; memberi diri untuk mendengarkan dan berempati; atau memeriksa kembali hati kita yang suka membanding-bandingkan bagian kita dengan bagian orang lain. Mungkin itu berarti belajar saling memahami, termasuk mengenali masalah-masalah yang sedang dihadapi rekan kita di luar tempat kerja. Adakah sesuatu yang mengganggunya? Adakah persoalan yang perlu ia selesaikan, yang sama pentingnya dengan mencapai misi organisasi? Selain itu, kita juga perlu peka untuk tahu kapan harus membiarkan rekan kerja atau teman gereja kita pergi membereskan urusan pribadi mereka, sehingga tidak ada pekerjaan yang terbengkalai.

Kedua, para prajurit bekerja sebagai satu tim. Kita tidak akan mungkin mencapai banyak hal jika kita tidak merasa memiliki satu sama lain. Jika ada orang yang sedang tidak berada dalam kondisi terbaik mereka, moral prajurit lainnya akan terpengaruh. Jika ada orang yang “takut dan lemah hati … Ia boleh pergi dan pulang ke rumahnya, supaya hati saudara-saudaranya jangan tawar seperti hatinya” (ayat 8).

Apa artinya? Bagian ini menunjukkan betapa Allah tahu benar kelemahan manusia. Adakalanya kita harus melepaskan rekan kita dari tanggung jawab yang sedang ia pegang tanpa menyimpan ganjalan di hati. Atau, mungkin kita sendiri yang perlu mengambil waktu tenang untuk menata kembali langkah kita.

Kita tidak perlu patah semangat, atau bahkan merasa harus ikut “perang” ketika harus menghadapi rekan kerja yang bermasalah. Saat ada anggota tim yang harus pergi, kita dapat melihat betapa Allah sungguh tidak bergantung pada kehebatan manusia.

Dalam pertempuran melawan raksasa “patah semangat”, senjata kita adalah Firman Allah. Firman Allah adalah pedang kebenaran yang akan meluruskan pemikiran kita, mengendalikan perasaan kita, dan menolong kita untuk mengambil sikap yang benar.

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment