Saat Tuhan Berkata Wanita Itu Bukan Untukku

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

Di dalam kehidupan ini, tidak semua hal bisa terjadi sesuai dengan keinginan kita. Itu adalah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Demikian juga dengan halnya pasangan hidup. Apa yang kita anggap terbaik bagi kita, belum tentu memang yang terbaik dari Tuhan. Inilah sekelumit kisahku yang ingin kubagikan kepadamu.

Sewaktu kuliah dulu, aku tertarik dengan seorang perempuan bernama Rosa*. Kami bertemu pertama kali di sebuah persekutuan perdana yang diselenggarakan untuk mahasiswa baru. Di pertemuan itu, setelah kami berkenalan, aku merasa ada sesuatu yang membuat Rosa begitu spesial. Dia adalah tipe wanita yang sangat pas dengan kriteriaku! Rambutnya panjang, kepribadiannya melankolis, nada bicaranya tenang, dan selalu mampu berpikiran optimis. Sejak saat itu, aku pun berusaha mendekatinya.

Memasuki semester kedua kuliah, karena sering bertemu dan sama-sama melayani di persekutuan, kami pun jadi bersahabat. Di saat libur aku sering berkunjung ke rumahnya hingga aku pun mengenal keluarganya dengan erat. Seiring waktu, bermula dari persahabatan itu, rasa tertarikku kepadanya pun mulai tumbuh menjadi rasa cinta, dan aku ingin sekali mengakui perasaanku padanya. Tapi, aku menundanya dan menyimpan rasa ini dalam-dalam karena Rosa pernah bersaksi di persekutuan bahwa dia berkomitmen tidak ingin berpacaran selama kuliah.

Di tahun 2016 lalu, kuliahku sudah menginjak semester 8 dan dalam hitungan bulan aku akan segera lulus. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan. Aku takut apabila sudah lulus nanti, aku akan bekerja ke luar kota sehingga tidak akan bertemu dengan Rosa lagi. Jadi, dengan gemetar dan penuh persiapan (sebelumnya aku belum pernah berpacaran), aku pun memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku pada Rosa. Dalam hati aku merasa takut apabila keputusan ini akan mempengaruhi hubungan persahabatan kami. Tapi, aku tetap memutuskan untuk melakukan ini dengan asumsi lebih baik berkata jujur sebelum kesempatan untuk bertemu tatap muka hilang.

Setelah mendengarkan curahan perasaanku, Rosa tidak marah, malah dia merasa terharu. Tapi, dia mengatakan bahwa dia belum siap untuk membina relasi pacaran. Jadi, dia memintaku untuk menunggu hingga tiba waktunya dia siap membuka hatinya.

Di bulan November 2016, aku pun lulus dan diwisuda. Satu minggu setelah wisuda itu, aku pindah ke Jakarta untuk bekerja dan meninggalkan Rosa yang masih berkutat dengan skripsi di kota Jogja. Walaupun telah terpisah secara jarak, tapi aku selalu menyebut nama Rosa di dalam doaku. Sesekali, aku selalu menyempatkan diri untuk bertukar pesan ataupun meneleponnya. Dan, dia pun meresponsku dengan baik selayaknya sahabat.

Setelah tiga bulan bekerja, aku merasa bahwa aku harus membuat Rosa yakin bahwa aku adalah pasangan yang tepat untuknya. Jadi, setiap akhir bulan aku selalu menyempatkan diri untuk mendatangi Rosa di kampung halamannya di Jawa Tengah. Jumat malam aku berangkat menaiki kereta api kelas ekonomi, dan kembali ke Jakarta di Minggu malam. Seharusnya aku merasa lelah karena satu kali perjalanan ke rumahnya itu membutuhkan waktu sekitar 10 jam, bahkan lebih. Belum lagi ongkos yang harus kukeluarkan. Tapi, atas nama cinta, semua perjuangan ini tak terasa berat untukku.

Hingga akhirnya, di bulan Agustus 2017, aku memberanikan diri kembali untuk bertanya pada Rosa perihal ungkapan perasaan yang pernah kuungkapkan 18 bulan sebelumnya. Aku bertanya apakah di masa depan nanti Rosa mau membuka hatinya untukku atau tidak. Jika tidak, dengan senang hati aku akan mundur dari mengejarnya. Jika ya, maka aku mengajaknya untuk mulai sama-sama mendoakan perihal ini dan lebih intens membangun komunikasi. Secara mengejutkan, Rosa menjawab “ya”. Aku merasa begitu senang, dan kupikir ini adalah hal yang terbaik dari Tuhan.

Tapi, kebahagiaan yang kualami itu tidak berlangsung lama. Apa yang terucap di mulut Rosa rupanya bukan sesuatu yang berasal dari hatinya. Dua hari setelah pertemuan itu, Rosa ‘menghilang’. Dia berusaha menghindariku. Ketika aku meneleponnya, dia tidak menjawab. Atau, ketika aku mengiriminya pesan singkat, dia pun hanya membacanya tanpa membalas. Aku berusaha berpikir positif, tetapi sangat sulit. Aku sedih, juga galau. Pekerjaanku jadi kacau karena terus menerus memikirkannya. Belakangan, melalui orang terdekatnya aku tahu bahwa walaupun Rosa mengagumi perjuangan dan kebaikanku, dia tidak tertarik kepadaku. Dan, karena dia tidak ingin menyakiti hatiku yang telah bersusah payah mengujunginya di kampung halamannya, saat itu dia pun berkata “ya”.

Di tengah kondisi seperti ini, sangat sulit untukku berpikir positif. Aku merasa cintaku bertepuk sebelah tangan dan ingin sekali aku merasa marah terhadap Rosa yang seolah mempermainkan perasaanku. Tapi, aku berusaha untuk tidak menghakimi Rosa, karena mungkin saja ada pergumulan pribadinya yang tidak kuketahui. Selama beberapa bulan, aku terjebak dalam kondisi perih hati dan keheranan. Mengapa orang yang sudah kuperjuangkan selama bertahun-tahun ini malah mengecewakanku dan menghilang tiba-tiba? Aku merasa tidak terima pada Tuhan dan menganggap bahwa Tuhan yang salah.

Namun, di tengah rasa frustrasi itu, aku menemukan sebuah artikel yang isinya sangat menyentakku. Melalui artikel itu, aku jadi bertanya kepada diriku sendiri: mengapa aku ingin berpacaran? Dan mengapa aku begitu yakin bahwa si dia adalah orang yang terbaik untukku?

Aku mengambil waktu pribadi sejenak dan merenung. Menjawab pertanyaan pertama, aku mendapati bahwa selama ini motivasiku untuk berpacaran masih sangat bersifat egois. Harus kuakui bahwa seringkali aku merasa kesepian. Di saat teman-teman sebayaku sudah memiliki gandengan tangannya dan aku masih single, aku merasa minder. Belum lagi ejekan “jomblo akut” yang sering disematkan kepadaku oleh teman-temanku membuatku makin merasa bahwa hidupku itu kurang lengkap tanpa kehadiran seorang pacar. Berangkat dari pemikiran inilah akhirnya aku mulai menyelipkan modus di tengah persahabatanku dengan Rosa. Alih-alih bersahabat dengan tulus, aku malah mengharapkan ada timbal balik dari setiap pemberian dan usaha yang kulakukan untuk Rosa supaya kelak dia mau menerimaku sebagai pacarnya.

Dan, tanpa kusadari, dalam doa-doaku kepada Tuhan, aku jadi tidak lagi meminta-Nya untuk menguji dan membentuk hatiku. Malah, aku mengatur Tuhan dengan meminta-Nya supaya Rosa membuka hatinya untukku, supaya setiap usahaku mampu membukakan pintu hatinya. Secara tidak sadar, aku menciptakan sugesti dalam diriku bahwa Rosa adalah yang terbaik untukku. Aku jadi lupa bahwa sebenarnya yang paling tahu tentang kebutuhanku, termasuk soal pasangan hidup, adalah sang Penciptaku sendiri, yaitu Tuhan.

Sampai di titik ini, aku sadar bahwa kebenaran yang harus aku pegang sebagai seorang pemuda Kristen adalah sebuah iman bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Tuhan itu selalu cukup buatku. Artinya, dengan ataupun tanpa pasangan, itu tidak mengurangi harga diriku di hadapan Allah. Firman-Nya berkata bahwa Allah mengasihiku dengan kasih yang kekal (Yeremia 31:3). Jadi, walaupun teman-teman sering mengejekku “jomblo akut”, aku tetap berharga di mata-Nya dan dikasihi-Nya. Kasih Allah kepadaku tidak ditentukan dari apakah aku memiliki pasangan atau tidak. Yang perlu kulakukan saat ini adalah mengucap syukur dan memaksimalkan masa single yang sekarang ini kualami.

Kebenaran ini pada akhirnya memampukanku untuk memiliki paradigma baru tentang pasangan hidup. Bahwa apa yang menurutku terbaik buatku, belum tentu yang terbaik menurut Tuhan dan tidak semua hal di dunia ini dapat terjadi seturut dengan keinginanku. Tuhan memiliki cara kerja-Nya sendiri yang tentu jauh di luar jangkauan pemikiran manusia, namun sudah pasti yang terbaik untukku.

Saat ini, aku tidak lagi malu menjalani kehidupanku sebagai seorang pemuda single. Malah, aku bersyukur bahwa masa single yang kualami ini bisa menjadi kesempatan untuk berkarya lebih. Aku memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan talenta dan pekerjaan yang saat ini dipercayakan kepadaku. Aku memiliki kesempatan untuk bergaul dengan lebih banyak orang melalui komunitas-komunitas yang aku ikuti. Semua ini adalah kesempatan berharga yang diberikan-Nya untuk melayani-Nya.

Masa single adalah masa yang indah, karena di masa inilah Tuhan sedang membentuk diriku untuk setia dan mengucap syukur dengan apa yang Dia berikan kepadaku. Ketika aku setia, kelak saat memiliki pasangan, tentu aku akan melihat dengan jelas bahwa belajar mengasihi Tuhan dan sesamaku semasa single akan menolongku untuk mengasihi pasanganku kelak setelah aku menikah.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan” (Amsal 3:5-7)

*Bukan nama sebenarnya

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment