Susahnya Mencintai Ayahku

Oleh: Shawn Quah

(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: The Struggle To Love My Dad)

Tidak ada satu momen pun dalam ingatanku yang menunjukkan bahwa ayahku memiliki peran penting dalam hidupku. Tidak dalam tahun-tahun pertumbuhanku, dan jelas tidak pada saat aku menjadi seorang remaja pemberontak. Ayahku selalu sibuk dengan pekerjaannya, berjuang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kami. Pada saat itu, aku tidak bisa memahami mengapa beliau terlalu sibuk untuk menemaniku. Aku menghormatinya, tetapi aku tidak mencintainya.

Tentu saja itu tidak berarti aku selalu bertengkar dengan ayahku. Sebenarnya, ada juga waktu-waktu menyenangkan yang kami lewatkan bersama, misalnya saat kami sekeluarga keluar makan malam atau berkumpul dengan kerabat saat ada yang mengadakan pesta perayaan.
Akan tetapi, di balik semua itu tersimpan rasa tidak suka, yang keluar setiap kali kami bertengkar. Kami bertengkar tentang nilai ujianku yang jelek, tentang ketidakmampuanku mengerjakan hal paling sederhana yang dimintanya, tentang betapa ayah tidak memahamiku, dan tentang kata-katanya yang menyakitkan. Akibatnya, hubungan kami jadi makin berjarak.

Ketika ayahku mencapai usia 50 tahun, kami mendapati bahwa beliau menderita kanker stadium lanjut. Selama dua tahun, ayahku mencoba segala macam pengobatan, baik dari kedokteran Barat maupun Timur, namun sia-sia. Ayah akhirnya menyerah, namun dalam kondisi itu pun aku tidak ambil pusing. Aku terus memendam kepahitan dalam hati dan hampir tidak memiliki rasa simpati terhadapnya.

Beberapa bulan setelah memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan apa pun, ayahku pun meninggal. Aku tidak menangis sama sekali pada saat menjaga jenazahnya maupun saat pemakaman berlangsung.

Seminggu setelah pemakamannya, aku naik bis dan melihat para penumpang yang ramai bercakap-cakap dengan rekan yang duduk di sebelahnya. Sembari mengambil tempat duduk, aku teringat akan ayah yang biasanya duduk di sebelahku—tawanya, candanya, kata-katanya, senyumnya, dan waktu-waktu yang aku lewatkan bersamanya saat makan malam. Pipiku tiba-tiba terasa hangat dan basah. Aku buru-buru turun dari bis, duduk di tepi jalan, dan untuk pertama kalinya setelah ayahku meninggal, tangisku pecah. Aku menangisi kepergian ayahku, hancur hati mengingat bahwa beliau tidak akan pernah kembali lagi.

Malam itu, aku memberitahu ibuku tentang apa yang terjadi dalam perjalananku pulang. Ibu kemudian memberitahukan bagaimana dengan cara-caranya yang kadang konyol, ayahku telah berusaha sedemikian rupa untuk menebus waktu yang hilang saat aku remaja. Beliau berusaha sebaik mungkin untuk terlibat dengan hal-hal yang menarik hatiku, namun aku malah menganggapnya hendak mencampuri urusanku. Aku tidak dapat melihat apa yang sebenarnya—cinta seorang ayah kepada anak laki-lakinya.

Hingga hari ini, kenangan akan ayahku masih melekat di benakku, termasuk ucapan-ucapannya yang dulu tidak kupahami atau kuanggap “sampah”. Aku kini menyadari betapa kemarahanku telah menjadi penghalang dalam hubunganku dengan orang yang telah mengusahakan yang terbaik untukku. Aku terlalu angkuh untuk menanggapinya. Aku gagal menerapkan nasihat Rasul Paulus dalam Efesus 4:26, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu.”

Mungkin aku tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan ayahku, karena hingga akhir hidupnya beliau tidak memercayai Kristus. Namun, jika kelak Tuhan memberiku kesempatan untuk melihatnya lagi, aku akan mengatakan kepadanya apa yang tidak pernah bisa aku katakan semasa beliau hidup: “Aku menyayangimu, Ayah.”

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment