Teguran Allah yang Membuatku Kembali Pada-Nya

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

“Kasihanilah aku ya Allah, menurut kasih setia-Mu. Hapuskan pelanggaranku seturut rahmat-Mu yang besar.”

Ketika lirik lagu yang diambil dari Mazmur 51 itu dinyanyikan, tanpa kusadari air mataku menetes. Hari itu adalah hari Rabu Abu tahun 2015, hari di mana aku menyadari akan betapa berdosanya aku dan betapa dulu aku berusaha menjauh dari Allah.

Beberapa bulan sebelumnya, karena tergiur akan pekerjaan yang menghasilkan cukup banyak uang, tanpa kusadari aku mulai menanggalkan kehidupan rohaniku. Jika dahulu aku selalu memulai hari dengan bersaat teduh, sekarang aku malah hampir tidak pernah melakukannya. Ke gereja, ikut persekutuan, bahkan memiliki waktu khusus untuk berdoa pun tidak karena aku terlalu sibuk mengurusi pekerjaan yang kulakukan di samping kuliah. Iman Kristen praktis hanya sekadar sebuah status di KTP, tanpa aku memiliki kerinduan untuk menghidupinya.

Suatu ketika, aku ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke tiga kota sekaligus. Di minggu pertama bulan Oktober, aku ditugaskan ke Bandar Lampung selama lima hari. Kemudian, seminggu setelahnya aku ditugaskan ke Bogor, dan di minggu ketiga aku kembali ditugaskan ke Madiun. Dari tiga perjalanan dinas tersebut aku mendapat tanggung jawab membawa uang tunai sejumlah 12 juta rupiah, jumlah yang sangat banyak untukku yang saat itu masih berstatus mahasiswa.

Jauh sebelum aku mengiyakan perjalanan dinas ini, sebenarnya aku telah lebih dulu mengiyakan untuk menjadi bendahara di acara retreat persekutuan di kampusku. Tapi, karena kesibukan pekerjaan yang kupikir lebih menggiurkan ini, aku pun mengingkari tanggung jawabku di retret itu.

Sebuah insiden pun terjadi. Di perjalanan dinasku yang ketiga, tepatnya di kota Madiun, tak sengaja aku kelupaan dan meninggalkan uang itu di sebuah sekolah. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, aku baru sadar kalau uang itu tertinggal saat kami telah tiba di Solo. Panik bukan main kurasakan saat itu. Badanku lemas. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika uang itu raib.

Dalam kondisi panik itu, temanku mencoba menenangkanku. Dia memintaku untuk pulang saja dulu, beristirahat, dan mencoba mengingat kembali bagaimana detail peristiwanya. Tapi, sulit sekali untuk berpikir jernih. Saat itu jam delapan malam, dan aku hanya bisa menangis karena dilanda kepanikan yang luar biasa. Seingatku, setelah melakukan presentasi singkat di sebuah sekolah, sepertinya uang itu tertinggal di dalam map yang kuletakkan di ruang guru. Jadi, kucobalah menelepon seorang guru di sekolah tersebut. Namun, jawaban yang kudapat tidak memuaskan. Katanya dia tidak melihat ada map yang tertinggal. Dan, katanya lagi, di hari Sabtu-Minggu sekolah itu tutup. Meski ada seorang yang menjaga sekolah, tapi orang itu mengalami gangguan pendengaran, sehingga dia tidak dapat mendengar suara bel apabila ada orang yang datang.

Aku hampir putus asa, tapi belum mau menyerah. Sampai di sini, aku coba untuk mengendalikan kepanikanku. Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Di titik di mana kehilangan arah inilah akhirnya aku kembali datang kepada Tuhan. Aku berdoa, “Tuhan, ampuni aku, dan tunjukkanlah jalan buatku,” pintaku lirih.

Saat itulah aku sadar, bahwa selama ini aku telah kehilangan fokus. Aku tahu bahwa bukanlah suatu kesalahan untuk bekerja sembari kuliah dan mendapatkan uang lebih. Tapi, ketika pengejaranku akan uang mulai membuatku abai dari apa yang seharusnya menjadi yang utama dalam hidupku—kuliah dan berelasi dengan Allah—di sinilah Tuhan mengingatkanku untuk memperbaiki diriku.

Setelah berdoa dan memohon ampun, aku pun memutuskan untuk meminta maaf kepada teman-teman panitia retret terlebih dulu karena aku telah mengabaikan tanggung jawab yang sebelumnya sudah kusepakati lebih dulu. Jadi, dalam kondisi hujan, aku segera memacu sepeda motorku ke tempat retret dilaksanakan. Di sana aku menangis, menceritakan apa yang baru saja kualami, dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada mereka. Dan, setelah itu, aku juga memutuskan untuk kembali ke Madiun. Ditemukan atau tidaknya uang itu, aku harus berusaha mencarinya terlebih dulu.

Singkat cerita, setelah enam jam mengendarai motor sendirian dari Yogyakarta ke Madiun, aku pun tiba di depan sekolah yang kuduga uangku tertinggal di sana. Lima belas menit berlalu, aku memukul-mukul gembok pagar sambil berteriak permisi. Tapi, tak ada respons sama sekali. Mulai pudarlah harapanku. Namun, tiba-tiba sesosok kakek tua yang katanya memiliki ganguan pendengaran itu muncul tak sengaja melintas di balik pagar dan melihatku. Dia pun menghampiriku dan kepadanya kujelaskan singkat bahwa kemarin sepertinya aku ketinggalan sesuatu di sana.

Tepat di ruangan guru, aku menemukan sebuah map bening teronggok di samping kursi. Di dalam map itu terlihat jelas lembaran uang seratus ribuan. Segera kuraih map itu dan kupeluk erat. Kepanikanku luntur. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Sesuatu yang kukira hilang itu akhirnya kutemukan kembali. Singkat cerita, aku pun kembali ke Yogyakarta dan amat bersyukur karena uang yang hilang itu akhirnya ditemukan.

Satu hal yang kupelajari dari insiden nyaris kehilangan uang ini adalah Allah adalah Allah yang baik. Allah itu baik bukan karena Dia mengizinkanku menemukan kembali uang yang hampir hilang karena kecerobohanku. Tapi, Dia baik karena Dia tetap menyertaiku sepanjang perjalanan hidupku, bahkan saat aku berpaling menjauh dari-Nya. Sekalipun saat itu uang itu raib, mungkin aku akan stres luar biasa, tapi aku tetap percaya bahwa Dia akan tetap menyertaiku sebagaimana janji-Nya yang berkata: “Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5).

Hari itu aku sadar, bahwa relasi dengan Allah bukanlah sebuah relasi yang bisa dibangun dengan ala kadarnya. Dalam teori komunikasi, relasi dapat terjalin apabila terdapat komunikasi dua arah yang menciptakan pemahaman bersama. Aku tak akan pernah memahami apa kehendak Allah apabila aku tidak mau meluangkan waktuku untuk mendengarkan suara-Nya. Relasi membutuhkan pengorbanan. Allah telah lebih dulu melakukan pengorbanan itu, melalui kematian dan kebangkitan Yesus, aku pun memiliki akses untuk berbicara langsung kepada Allah. Hanya, seringkali aku tidak memanfaatkan akses ini. Kesibukan dan keasyikan dunia sering membuatku memilih menjauh dari Allah.

Aku perlu bijak. Aku perlu hikmat dari-Nya dalam setiap aktivitas yang kulakukan. Selepas peristiwa itu, aku kembali mengatur jadwalku, membagi waktuku dengan efektif antara kuliah, bekerja, dan melayani. Aku memang tidak sampai keluar dari pekerjaanku, karena memang aku membutuhkan uang. Tapi, aku memangkas sedikit waktu kerjaku. Uang memang kubutuhkan, tapi uang bukanlah sesuatu yang utama. Tatkala aku menyerahkan segalanya pada Allah, maka Dialah yang akan memenuhi semua kebutuhanku.

Berkaca dari peristiwa nyaris kehilangan yang kualami, aku pun jadi teringat akan kisah Daud. Ketika Daud jatuh ke dalam dosa karena mengambil Batsyeba, Nabi Natan menegurnya. Respons Daud saat itu adalah mengakui dosanya, menyesal, dan bertobat. Jika kita membaca secara lengkap Mazmur 51, di sana kita mendapati ungkapan penyesalan Daud. Daud sadar betul bahwa Dia telah berdosa di hadapan Allah, oleh karenanya dia memohon pengampunan daripada Allah, seturut kasih setia dan rahmat Allah yang besar.

Menariknya, Allah tidak memalingkan wajah-Nya dari Daud. Allah mendengar seruan Daud dan Daud pun memperbaiki kehidupannya. Hingga akhirnya, Alkitab pun mencatat Daud sebagai seseorang yang berkenan di hati Allah (Kisah Para Rasul 13:22).

Mungkin dosa yang kulakukan dengan mengabaikan relasi dengan Allah itu terlihat sepele. Tapi, yang namanya dosa tetaplah dosa. Syukur kepada Allah, karena Allah mengasihi setiap orang yang berkenan kepada-Nya dan tidak pernah meninggalkan mereka seorang diri.

“Barangsiapa Kukasihi ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment