Tugasku: Menangis dengan Orang yang Menangis

Oleh Michele O.
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: Dealing with The “Death Knock”

Aku adalah seorang jurnalis. Bagian dari tugasku adalah mewawancarai keluarga yang sedang berduka untuk menuliskan kisah tentang mereka. Mendengar tugas itu saja sudah membuat kaki dan tanganku gemetar. Aku berdoa agar aku tidak mendapatkan tugas itu, tapi sayangnya tidak bisa, itu adalah bagian dari pekerjaanku. Aku harus menuliskan kisah tentang seorang anak muda yang menjadi korban tabrakan mobil, sebuah keluarga yang kehilangan seorang ibu karena seorang pengemudi mabuk, dan sebuah keluarga muda yang kehilangan anak mereka karena kanker.

Setiap kisah tersebut menggetarkan hati, dan setelah selesai menuliskannya, aku pulang ke rumah dan terbaring di tempat tidurku selama berjam-jam, tidak bisa tidur. Aku memikirkan apakah keluarga-keluarga tersebut tahu bahwa aku benar-benar turut merasakan kesedihan mereka, dan aku tidak sedang memanfaatkan momen duka mereka agar namaku dapat tercantum di halaman depan.

Dari beberapa kisah yang kutulis, ada satu kisah yang berkesan untukku. Itu adalah kisah tentang sebuah keluarga yang kehilangan seorang ibu dalam sebuah kecelakaan yang melibatkan seorang pengemudi yang mabuk.

Sebuah Keluarga yang Kehilangan Seorang Ibu

Suatu sore, aku sedang bekerja ketika aku diberitahu tentang sebuah kecelakaan yang terjadi tak jauh dari tempatku. Seorang pejalan kaki menderita luka di kepalanya setelah sebuah mobil menabraknya, dan dia telah dilarikan ke rumah sakit. Keesokan harinya, terungkap bahwa wanita itu adalah seorang seniman terkenal. Suaminya bekerja dalam sebuah organisasi seni, dan mereka mempunyai dua anak perempuan. Tak lama kemudian, terdengar kabar bahwa dia telah meninggal.

Hatiku sangat pilu ketika aku diminta untuk mendatangi keluarganya untuk menuliskan kisah tentangnya. Aku meninggalkan beberapa pesan suara ke telepon keluarganya dan mencoba untuk menghubungi salah satu temannya, tapi aku tidak berhasil terhubung dengan mereka. Jadi aku pergi ke rumah keluarganya malam-malam, di tengah hujan deras, berharap bertemu dengan keluarganya. Tapi mereka sedang tidak di rumah.

Aku kembali ke kantorku, dan ketika aku sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah, teleponku berdering. Suami wanita tersebut meneleponku balik. Dia terdengar tenang, namun mulutku terasa sekering kapas ketika mendengarnya. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku turut bersedih dengan apa yang telah terjadi, tapi kata-kataku seperti kosong dan kurang tulus.

Pria itu menceritakanku tentang istrinya, dan bagaimana cinta istrinya kepada anak-anaknya, pekerjaan seninya, dan kehidupannya. “Dia seorang yang jujur, amat sangat jujur. Tidak ada kepura-puraan di dalam dia,” katanya. Anak sulungnya menggambarkan ibunya sebagai “seorang yang luar biasa” dan berkata, “Aku tidak pernah bertemu dengan seorang yang begitu banyak memberi, ibuku sangat banyak memberi. Dia selalu ada untukku dan selalu menguatkanku.” Anak bungsunya terisak di ujung telepon, mengatakan betapa dia kehilangan ibunya, yang biasa bermain dengannya setiap hari, dan juga kehilangan pelukannya.

Hatiku hancur. Aku tidak habis pikir bagaimana seseorang dapat bertahan menghadapi tragedi seperti ini. Satu hal yang sangat mengejutkanku adalah ketika sang suami memutuskan untuk tidak menuntut orang yang menabrak istrinya untuk dipenjara. (Kemudian diketahui bahwa istrinya sedang membuka pintu mobilnya yang sedang diparkir ketika dia ditabrak. Pengemudi mobil yang menabraknya sedang begitu mabuk, sampai-sampai dia bahkan tidak tahu bahwa dia menabrak seseorang, dan dia terus melaju sampai seorang saksi mata memecahkan jendela mobilnya dan menarik kunci mobilnya.)

Sang suami berkata kepada sang hakim bahwa dia tidak ingin orang yang menabrak istrinya tersebut menyia-nyiakan waktunya di penjara. Dia juga mengatakan bahwa akan lebih baik jika sang penabrak tersebut “menggunakan waktunya untuk memberikan edukasi kepada orang lain tentang bahaya menyetir ketika sedang mabuk, termasuk juga ambil bagian dalam sebuah program dokumenter edukatif—yang mungkin dapat menyelamatkan nyawa-nyawa lainnya di kemudian hari.”

Aku begitu menghargai pandangannya. Tidak banyak dari kita dapat memberikan respons yang seperti itu.

Respons terhadap Penderitaan

Dari pengalaman ini, dan juga pengalamanku bersama dengan keluarga dari korban-korban lainnya, aku belajar bahwa bukan yang kita katakan, tetapi yang kita lakukan, yang menunjukkan bahwa kita turut berduka dengan mereka.

Bagiku, itu berarti mengetahui kapan aku perlu mundur ketika sebuah keluarga menolak untuk diwawancara, untuk menunjukkan bahwa aku menghargai keinginan mereka. Kadang, itu juga berarti berusaha sebisa mungkin untuk memenuhi permintaan mereka. Dalam kasus seorang wanita yang ditabrak oleh seorang pengemudi yang mabuk, itu berarti membacakan kembali kisah yang kutulis kepada keluarganya sebelum itu dicetak—sesuatu yang biasanya tidak kami lakukan. Beberapa bulan kemudian, aku menerima sebuah e-mail dari teman mereka yang mengatakan bahwa mereka sangat menghargai rasa hormat dan kepedulian yang kutunjukkan ketika aku melakukan wawancara tersebut.

Sebagai seorang Kristen, mudah bagi kita untuk mengatakan sesuatu seperti, “Tuhan mempunyai alasan di balik penderitaan ini”, atau “Tuhan turut berduka denganmu”. Namun dari cerita Alkitab tentang Ayub, aku belajar bagaimana berduka bersama dengan orang lain.

Ketika ketiga teman Ayub pertama kali mendengar tentang tragedi yang menimpa Ayub, mereka menghiburnya dengan cara berada di sana dan tidak mengatakan sepatah katapun. Mereka mulai “menangis dengan suara nyaring. Mereka mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di kepala terhadap langit. Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya.” (Ayub 2:11-13).

Alkitab mengatakan agar kita bersukacita dengan orang yang bersukacita, dan menangis dengan orang yang menangis (Roma 12:15). Itu termasuk memberikan pundak kita ketika mereka menangis, atau mengambil waktu untuk menanyakan keadaan mereka, dan mengingatkan mereka bahwa mereka tidak sendirian di dalam duka mereka.

Kadang, kita mungkin merasa seperti kita harus mencoba dan memulihkan hati seorang yang berduka—lupa bahwa kita punya seorang Bapa yang dekat kepada orang-orang yang patah hati (Mazmur 34:19) dan yang menangis bersama kita sama seperti Dia menangis bersama Marta dan Maria ketika Dia mendengar bahwa Lazarus telah mati (Yohanes 11:35). Alkitab juga mengatakan bahwa Dia bersama kita “melalui air, melalui sungai-sungai kesulitan, atau ketika kita berjalan melalui api penganiayaan” (Yesaya 43:2). Kematian mungkin kadang terasa seperti suatu akhir, tapi ketahuilah bahwa ketika Kristus mati di atas kayu salib bagi kita, Dia juga telah menang atas kematian!

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment