Yesus Memegang Tanganku

Oleh: Nofa Ahakhododo Bu’ulolo

“Hidup yang kini aku jalani adalah karunia pemberian Tuhan yang sangat aku syukuri.
Jikalau bukan karena pertolongan-Nya, aku mungkin tidak berada di sini dan melihat hari ini.”

Tidak ada hal yang dapat dibanggakan dari hidupku. Meski aku berusaha selalu melakukan apa yang terbaik, di mata kedua orangtuaku dan keenam saudaraku, semua yang aku lakukan tidak pernah ada yang benar. Orangtuaku tak segan memukul bahkan mengutukku ketika aku tidak mematuhi aturan yang mereka buat. Aku tahu mereka memberi banyak aturan untuk mencegah aku salah pergaulan. Namun, kemarahan mereka sering diungkapkan dengan cara yang membuat aku merasa makin tidak berarti bagi mereka. Jika aku bertengkar dengan saudara-saudaraku, selalu aku yang disalahkan. Kakak-kakakku suka berkata, “Kamu bukan adik kandung kami! Kamu itu dijual ibu kandungmu karena keluargamu tidak punya nasi untuk makan.” Sekalipun aku tahu mereka hanya bercanda, aku tetap sakit hati. Apalagi saat aku bertanya kepada mama, beliau dengan ringan menyahut, “Iya, kamu bukan anak kami, kamu anak yang ditemukan di bawah pohon pisang!” Ada masanya aku merasa tidak tahan dan ingin lari dari rumah. Semua pakaian sudah kukemas. Namun aku kemudian berpikir bahwa jika aku pergi dari rumah, aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Akhirnya, aku tidak jadi pergi.

Beranjak remaja, aku berharap akan terjadi perubahan dalam hidupku. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Malah, tekanan yang kuhadapi kian bertambah. Meski aku adalah seorang anak laki-laki, Tuhan memberiku talenta untuk memasak dan menari. Tak heran, yang lebih banyak dekat denganku adalah teman-teman perempuan. Dan hal itu sangat tidak disukai oleh keluargaku. Saat marah, papaku sering membentak, “Dasar anak lemah, bergaul sama perempuan melulu! Mau jadi apa kamu kalo besar nanti?” Ia lalu akan memaki dan memukulku. Herannya, jika kakakku melakukan kesalahan yang sama, papa hanya akan marah, namun tidak pernah memukul mereka. Sungguh, aku merasa tidak diterima dalam keluargaku.
Ketika pada satu titik, Tuhan mengizinkan keluargaku bangkrut, lagi-lagi aku berharap keadaan akan berubah dan papa bisa lebih mengontrol emosinya. Namun, ternyata situasinya makin parah. Sedikit kesalahan saja sudah cukup untuk membuat papa memarahi dan memakiku di depan umum. Pernah aku tidak tahan dan meninggalkannya. Begitu sampai di rumah, seperti dugaanku, amarah papa memuncak dan memukul aku dengan hebat. Tidak ada yang menolongku. Tak hanya papa, mama juga pernah memukulku hingga gigiku berdarah ketika aku bertengkar dengan kakakku. Hatiku sangat pedih, apalagi ketika esok harinya mama seakan tidak pernah ingat kejadian itu. Di sekolah, aku hanya bisa menangis di pelukan sahabatku. Berkali-kali rasanya aku ingin mengakhiri saja hidupku. Suatu tindakan yang bodoh, bukan? Tapi, ya itulah yang terjadi. Aku merasa dibully dan dianggap sebelah mata oleh keluargaku sendiri. Aku merasa hidupku hancur dan Tuhan tidak berpihak kepadaku.

Selepas SMA, aku tidak kuliah karena kurang biaya. Aku kemudian dikirim ke Padang, karena di sana ada kakak perempuan dan sepupuku. Betapa senangnya aku bisa keluar dari rumah. Namun, rupanya kesulitanku belum berhenti. Meski kakak perempuanku mencarikan pekerjaan buatku, ia sebenarnya tidak begitu senang dengan kehadiranku. Bicaranya kasar. Ketika aku mengalami kecelakaan sepulang kerja suatu hari, bukannya kasihan, ia malah berkata, “Kakak kan sudah bilang, merantau itu susah, sudah sana balik kampung!” Sekali lagi aku merasa tidak diterima oleh keluargaku sendiri.

Dalam masa-masa sulit itulah, Tuhan menjumpaiku. Sejak kecil aku sudah berstatus Kristen, namun hanya “Kristen KTP”. Melalui sebuah gereja karismatik di kota Padang, aku didorong untuk datang kepada Tuhan melalui pujian penyembahan. Tiap kali mendapat perlakuan yang kasar dari kakakku, aku pun akan masuk kamar, menangis dan mencurahkan isi hatiku di hadapan Tuhan. “Aku hanya ingin bebas Tuhan, aku hanya ingin bebas!” jeritku suatu hari, merasa tidak tahan lagi dengan banyak larangan yang harus kupatuhi.

Hari terus berlalu. Mimpiku untuk kuliah, kerinduanku untuk diterima dalam keluargaku, rasanya masih terlalu jauh untuk diraih. Namun, kini aku memiliki penghiburan dari firman Tuhan. Ada banyak tangisan yang dicatat dalam Alkitab, termasuk tangisan dari raja besar seperti Daud, yang bahkan pernah mengeluh kepada Tuhan, “Aku telah menjadi orang luar bagi saudara-saudaraku, orang asing bagi anak-anak ibuku” (Mazmur 69:9). Demikian juga raja Hizkia yang menangis hebat karena sudah kehilangan harapan hidup. Tuhan tidak merendahkan mereka, tetapi berkata, “Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu, …” (2 Raja-raja 20:3, 5). Aku tahu bahwa Tuhan yang mendengarkan tangis dan doa mereka juga adalah Tuhan yang mendengarkan tangis dan doaku. Orang mungkin menganggap pria yang menangis itu lemah dan memalukan. Namun, Tuhan tidak memandang kita demikian. Ketika kita menangis di hadapan Tuhan, kita sedang mengakui bahwa kita lemah dan Dia kuat.

Lebih dari sekadar memperhatikan, Tuhan sendiri datang ke dalam dunia dalam pribadi Yesus Kristus, menjadi manusia yang sama seperti kita, merasakan penolakan orang, meneteskan air mata, diejek, dipukuli, bahkan disiksa hingga mati di kayu salib. Dia menanggung semua itu untuk memberitahu kita betapa Bapa di surga menyayangi kita. Sekalipun masa lalu kita kelam, banyak kesalahan yang telah kita perbuat, Tuhan mau mengampuni dan menerima kita apa adanya.

Karena kasih-Nya juga, Tuhan tidak membiarkan kita hidup seadanya. Dengan Firman Tuhan, hidupku berangsur-angsur diperbarui. Hari demi hari Yesus memegang tanganku dan menuntun langkahku. Ketika aku percaya kepada Yesus, hidupku yang lama telah ikut mati di atas salib. Kepahitanku, kemarahanku, kekecewaanku, rasa ingin berontakku. Sebagai gantinya, Tuhan memberiku hidup yang baru dalam Kristus yang sudah bangkit! Pikiranku, perasaanku, perbuatanku, kini terus dibentuk oleh-Nya.

Aku tidak tahu apa yang dialami teman-teman. Tapi jika kamu mengalami hal yang sama, semoga ceritaku bisa menguatkan kamu. Tangan Tuhan selalu terbuka untuk menerimamu, sekalipun orang-orang yang kamu sayangi sepertinya tidak menginginkanmu. Datanglah mencurahkan isi hatimu kepada-Nya!

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment