Badai Membawaku ke Jalan Tuhan

Badai besar dapat menghantam bahtera rumah tangga siapa saja. Dia tidak peduli apakah yang dihantamnya itu pejabat, konglomerat, militer, pengacara, artis, pemulung, atau wartawan. Badai hanya bisa mengamuk dan tak ada manusia yang bisa mengendalikannya.

Badai besar pernah menghantam perahu murid-murid Yesus. Murid-murid sempat hilang kendali. Mereka tidak sadar bahwa ada Yesus yang sedang tidur di dalam perahu itu. Sepertinya, Yesus mengizinkan badai itu terjadi untuk melihat apakah murid-murid-Nya masih percaya kepada-Nya.

Badai besar juga pernah aku alami. Betapa hancurnya hatiku ketika badai besar itu datang. Ia datang dalam rumah tanggaku secara tiba-tiba. Keadaanku seperti murid-murid Yesus — terkejut, panik, dan tidak mampu lagi mengendalikan diri. Ketika itu, aku tidak punya pegangan.

Aku tidak pernah membayangkan akan adanya lagi mentari yang terbit bagiku — hidup baru yang penuh harapan. Aku tidak pernah membayangkan bahwa di balik badai itu Tuhan ingin berbicara kepadaku. Tuhan ingin mengubah jalan hidupku, dari seorang pewarta dunia (wartawan) menjadi pewarta kerajaan Allah.

Badai besar itu menghempaskan keluargaku pada tahun 1998. Ia datang tiba-tiba bagai gelombang tsunami, menghancurkan semuanya, hubungan suami, istri, serta anak-anak.

Sepertinya tidak ada lagi sinar harapan untuk mempertahankan keluarga. Pengacara, sahabat, keluarga, dan uang sepertinya sama sekali tidak bisa menyelamatkanku.

Semua jalan menjadi buntu. Aku telah berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan keluargaku. Siang dan malam aku mencoba meyakinkan istriku bahwa keluarga ini bisa dipertahankan. Tapi hasilnya nihil.

Aku lupa ada Tuhan yang bisa mengatasinya. Maklum, aku tidak pernah mengenal siapa Yesus dengan sesungguhnya. Aku tidak pernah tahu bahwa sebenarnya Tuhan punya suatu rencana yang indah atas tiap makhluk ciptaan-Nya. Tuhan juga punya rencana atas diriku. Tapi walaupun sejak lahir aku sudah terdaftar sebagai orang Kristen, aku tidak pernah tahu itu. Dan saat badai itu datang pun, aku masih tetap tercatat di KTP sebagai orang Kristen.

Meskipun setiap minggu aku rajin ke gereja, aku masih menyimpan opo-opo atau jimat di sakuku. Kalau mau masuk ke dalam gereja, opo-opo itu aku simpan di dalam mobil. Setelah mendengar khotbah yang masuk telinga kiri keluar telinga kanan, aku ambil lagi opo-opo itu.

Dalam suatu pertemuan keluarga, aku baru tahu bahwa diriku pernah mengalami suatu penyakit yang parah. Ketika itu, aku yang masih berusia enam bulan, pernah diserahkan kepada Tuhan oleh keluarga karena aku mengalami suatu penyakit diare yang menurut dokter tidak bisa disembuhkan. Tahun 60-an, teknologi medis belum secanggih sekarang ini.

Keluargaku mendengar dokter lepas tangan alias tidak sanggup mengobatiku. Tentu saja keluargaku sudah siap membawaku ke kuburan. Ternyata setelah didoakan, mujizat Tuhan terjadi, aku hidup. Tapi kakek dan kedua orang tuaku tidak pernah bercerita bahwa aku telah diserahkan kepada Tuhan untuk kemuliaan-Nya.

Sudah menjadi kebiasaan bagi orang Kristen untuk berjanji pada Tuhan, tapi setelah aku pulih, aku lupa segalanya. Tapi Tuhan telah mendengarkan janji itu dan akan menggenapinya. Sampai kedua orang tuaku meninggal, aku tidak pernah tahu janji mereka itu kepada Tuhan.
Akhirnya setelah tamat SMA, atas kemauan sendiri, aku mencoba masuk ke Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Saat itu aku ditolak masuk UI dan Akabri padahal aku sudah dua tahun menganggur. Aku malu tidak kuliah. Akhirnya, aku ikut ujian masuk di STT Jakarta dan gagal. Kemudian, aku masuk Sekolah Tinggi Publisistik (STP) Jakarta yang kebetulan saat itu segedung dengan STT Jakarta.

Sejak itulah aku mulai terjun sebagai seorang jurnalis junior. Sebagai langkah awal, pada tahun 1983, aku dipercayakan oleh Harian Umum Sinar Harapan untuk menjadi koresponden di Depok, Jawa Barat, di bawah komando Yuyu An Krisna. Pelbagai liputan aku sajikan. Tapi dalam perjalanan karier itu, ibuku yang masih hidup saat itu selalu mengatakan, “Ah, kamu itu wartawan gadungan,” katanya bercanda, namun agak serius.
Aku hanya mengartikan bahwa ibu berkata seperti itu mungkin karena penghasilanku belum tetap di surat kabat besar itu. Artinya, aku belum menjadi wartawan tetap alias masih sebagai honorer. Tulisan masuk, baru terima uang.

Tapi ibu terus menyampaikan ucapan itu. Ternyata ia punya suatu tujuan untukku yang tidak pernah dia nyatakan. Aku teringat akan firman Tuhan yang berkata, “Apa yang kau katakan, itulah yang akan terjadi.”
Ternyata kehidupanku sebagai wartawan hanya berlangsung selama enam belas tahun. Pada usia muda, aku harus minta pensiun dari perusahaan tempatku bekerja dan memenuhi panggilan Tuhan sebagai seorang hamba lewat badai besar.
Tuhan bicara melalui badai besar itu. Aku teringat akan apa yang dikatakan Nabi Yeremia, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Setelah menjadi seorang hamba, aku baru mengerti bahwa Tuhan bisa berbicara kepada seseorang melalui badai besar. Tuhan menggenapi rencananya atas tiap orang yang mau berserah pada-Nya. Bukan hal mudah bagi seorang wartawan yang pernah berkecimpung dalam dunianya belasan tahun untuk tiba-tiba harus menjadi seorang hamba Tuhan.

Saat itu aku tidak siap, tapi Tuhan terus mengajari apa yang harus aku lakukan. Perlahan-lahan badai itu berlalu dan air mataku pun diubah menjadi sukacita. Ibu telah tiada dan tidak pernah bercerita apa yang pernah terjadi saat aku masih balita.
Bagaimana ia menyerahkan hidupku pada rencana Tuhan. Kini tak ada lagi perkataan: “Ah, kamu wartawan gadungan,” tapi kini rencana Tuhan atas diriku telah digenapi-Nya — menjadi seorang hamba yang setia. Hamba yang harus melewati badai besar dan tantangan besar.
Tuhan membawaku terbang tinggi seperti burung rajawali yang selalu memanfaatkan badai besar untuk bisa terbang lebih tinggi lagi. Sebab bersama Dia aku kuat di dalam kuat kuasa-Nya.

 

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber: http://sabda.org

Web Kesaksian : www.kesaksian.org
Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment