Bebas Dari Belenggu Rasa Takut Akan Maut

Sekitar satu tahun yang lalu, waktu pelayanan besuk ke Rumah Sakit, saya bertemu dengan seorang pasien yang masih muda yang terkena penyakit kanker. Usianya sekitar 19-20 tahun, sebut saja namanya SN. Kami sempat bertukar nomor HP pada waktu itu. Dua minggu kemudian, ketika saya besuk lagi, SN sudah keluar dari Rumah Sakit. Meski begitu, saya sering mengirim SMS kepada SN, membagi kata-kata yang menguatkan ataupun Firman Tuhan. Saya juga menanyakan kabarnya, apakah sudah dioperasi, sudah sembuhkah, atau bagaimana. Tapi SN sama sekali tidak pernah membalas. Jadi saya berpikir, “Oh…mungkin dia sudah dioperasi dan sembuh.” Sekalipun saya tidak pernah menerima balasan, tapi saya tetap dengan setia mengirim SMS berisi kata-kata yang menguatkan atau Firman Tuhan.

Beberapa bulan yang lalu tiba-tiba ada seorang ibu yang menelpon saya dan memberitahu bahwa SN baru saja meninggal dunia. Ibu ini adalah Mamanya SN. Ibu ini berterima kasih atas SMS-SMS yang saya kirim buat SN, dan meminta maaf karena SN tidak pernah membalas. Menurut ibu ini, kondisi SN sangatlah lemah. Dan itulah awal perkenalan saya dengan Bu Ani.

Bu Ani bercerita bahwa SN itu anak yang sungguh luar biasa. Selama satu setengah tahun sakit parah itu, tidak sekalipun SN mengeluh, apalagi menyalahkan Tuhan. SN malah berkata kepada Mamanya, “Mama jangan sedih. Aku tidak menderita, kok… Tuhan itu baik.”

Bu Ani sungguh heran dan kagum pada SN. Setahu Bu Ani, anaknya itu sebetulnya sangat kesakitan, bahkan jika ibu jari kakinya disentuh sedikit saja, sakitnya sangat luar biasa. Dia bertanya-tanya dari mana anaknya itu bisa mendapat kekuatan seperti itu. Biasanya jika SN sudah benar-benar merasa kesakitan, ia hanya meminta orang tuanya untuk keluar dari kamarnya, ia ingin sendirian di kamar. Setelah beberapa saat baru ia memanggil kembali orang tuanya masuk, dan sikap SN biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa, tetap tenang. Di depan orang tuanya, tidak pernah ia menunjukkan rasa ataupun wajah kesakitan. Jika ada orang yang bertanya bagaimana keadaannya, via telepon ataupun waktu bertemu dia, SN selalu jawab, “Oh, baik…aku baik-baik saja,” sambil tertawa-tawa. Semua itu mengagumkan orang tuanya, “Bagaimana mungkin anak seusia itu bisa menahan rasa sakit seperti itu ???”

Ketika kondisinya semakin parah, Dokter meminta pada Papanya untuk menyampaikan kepada SN bahwa kakinya harus diamputasi, tapi Papanya tidak tega. Namun malam itu SN tiba-tiba berkata pada Papanya, “Pa, jika kakiku memang harus diamputasi, amputasi saja. Tidak apa-apa.” Papanya benar-benar heran, bagaimana bisa anaknya setenang itu membicarakan tentang hal amputasi kakinya. Beliau sendiri sebagai ayahnya, tidak tega anaknya kehilangan kakinya, tapi malah anaknya dengan tenang berkata,”Amputasi saja !”

Selama satu tahun lebih itu Bu Ani dan suaminya sungguh melihat kesaksian hidup anaknya yang luar biasa. Sekalipun SN tidak pernah berkhotbah tentang Yesus, tapi melalui hidupnya, mereka tahu bahwa SN mempunyai sikap hati yang berbeda karena kepercayaannya pada Yesus.

Selama sakit SN juga selalu mengajak keluarganya berdoa bersama setiap malam, meski begitu ia tidak pernah berkata apa-apa tentang Yesus, hanya mengajak berdoa saja, itu pun menurut kepercayaan mereka masing-masing (kini meskipun SN telah tiada, keluarganya tetap melanjutkan kebiasaan berdoa bersama setiap malam).

Orang tua SN berkata, bahwa seandainya selama sakit itu SN mengajak atau meminta mereka untuk ke gereja, mereka pasti akan langsung setuju. Bukankah itu sebetulnya satu kesempatan yang sangat bagus untuk “mengKristenkan” orang tuanya? Tapi kenyataannya SN tidak pernah memanfaatkan sakitnya untuk “mengKristenkan” orang tuanya. Papanya sempat berkata bahwa seandainya SN melakukan hal itu dan SN tetap meninggal, “Kami pasti akan langsung tidak mau menjadi Kristen lagi. Karena buat apa kami tetap percaya Yesus? Tohh…anak kami tetap meninggal. Yesus tidak bisa menyembuhkan dia.” Tapi kini setelah anaknya meninggal, mereka sendiri memutuskan untuk mengikuti Kristus, karena mereka melihat kesaksian hidup anaknya yang luar biasa. “SN memang telah meninggal, tapi jejak dan warisan yang dia tinggalkan buat kami itu sangat banyak sekali dan sangat berharga,” kata Mamanya.

Di Facebook SN, orang tua SN menemukan kata-kata SN yang tertuju pada temannya, “Aku rela menyerahkan nyawaku, asalkan keluargaku selamat.” Dan memang, lewat kematiannya, bukan hanya keluarganya yang dibawa kepada Tuhan, tapi juga ada banyak teman SN yang mengetahui kisah SN, kini jadi rajin ke gereja dan mau sungguh-sungguh mengikuti Tuhan.

Suatu hari SN pernah berkata kepada Papanya, sambil memeluk Papanya, “Papa, jangan kuatir. Kita sudah menang.” Papa dan Mamanya hanya bisa mengiyakan perkataan SN, tapi dengan perasaan bingung, tidak mengerti apa maksud perkataan SN ‘menang’. Apanya yang menang??? Menang dari apa?

Pagi hari, di hari di mana SN meninggal, waktu itu SN diopname di RS, ia berkata kepada Mamanya, tapi suaranya tidak jelas karena tertutup masker oksigen, sambil menunjuk ke suatu arah di ruangan itu, ia seperti berkata, “..seus.” Mamanya bingung, ia bicara apa, siapa dan apa yang ia tunjuk sebenarnya. Tapi rupanya pada saat itu SN sebetulnya sedang menyebut “Yesus” dan ia ingin menunjukkan pada Mamanya bahwa ada Yesus di ruangan itu. Dan siangnya, ketika seluruh keluarga telah berkumpul, SN minta untuk duduk di ranjangnya (padahal kondisinya waktu itu tidak memungkinkan dia untuk duduk sebenarnya), lalu setelah duduk, ia berkata pada mereka, “Aku pergi sekarang.” Dan kemudian dia meninggal. Seluruh keluarga besarnya bisa melihat bahwa SN meninggal dalam keadaan yang penuh kedamaian.

Tidak lama setelah SN meninggal, tiba-tiba saja suaminya Bu Ani (Pak HK) dengan bulat memutuskan bahwa mereka sekeluarga harus mengikuti jalannya SN, untuk menjadi Kristen. Pak HK berkata, “Jalan yang dipilih SN itu pasti benar, jadi kita harus mengikuti dia, kita harus ke gereja setelah 40 hari meninggalnya SN.”

Bu Ani sungguh heran dengan perubahan suaminya, karena sekalipun mereka tidak pernah membenci orang Kristen, tapi Pak HK juga tidak pernah tertarik dengan Kekristenan. Pak HK hanya tahu, Yesus itu Tuhannya orang Kristen. Mereka dulu malah pernah memarahi anak-anak mereka jika ke gereja. Tapi sekarang Pak HK bisa semantap itu mau menjadi orang Kristen, padahal tidak tahu siapa Yesus itu sebenarnya.

Bagi Bu Ani sendiri, hati kecilnya memberitahunya bahwa memang jalan yang dipilih SN itu benar, tapi dia masih mempunyai rasa takut dan keraguan. Bu Ani tidak ingin menjadi Kristen karena merasa terpaksa. Karena itu, Bu Ani mulai menanyakan tentang siapa itu Yesus dan siapa itu Allah. Saya hanya mendorong Bu Ani untuk datang kepada Allah yang hidup itu dan bertanya pada Allah sendiri, “Siapa Engkau? Siapa Yesus itu?” Saya juga menyarankan dia untuk mulai membaca Alkitab mulai dari Matius yang banyak berbicara tentang Yesus, atau kalau saat dia lagi sedih, dia bisa membaca kitab Mazmur.

Allah Yahweh itu sungguh luar biasa. Firman-Nya memang YA dan AMIN. Ketika seseorang mencari Dia dengan sepenuh hati, Yahweh akan menyatakan Diri-Nya kepada orang itu.

Suatu hari Bu Ani menelpon dan berkata bahwa sekarang hatinya sudah mantap mau ikut Yesus Kristus. Dia mau menjadi Kristen. Tidak ada lagi keraguan sedikit pun dalam hatinya untuk menjadi Kristen. Dia bahkan sudah tidak sabar mau pergi ke gereja. Dia ingin tahu bergereja itu seperti apa, dia ingin ketemu orang-orang Kristen yang lain.

Bu Ani juga sudah mulai bisa menerima kepergian SN, bahkan berkata bahwa semua itu diizinkan terjadi, salah satu alasannya adalah supaya dia dan keluarganya bisa mengenal Yesus Kristus.

Bu Ani dan Pak HK, serta adik-adik SN, sekarang sudah bergereja di sebuah gereja kecil di kotanya. Mereka sedang ikut katekisasi dan rencananya akan dibaptis sekitar bulan Desember 2010 nanti.

Semua hal ini bisa terjadi, karena kesaksian SN yang luar biasa semasa hidup dan saat berhadapan dengan rasa sakit dan maut. Seperti yang dikatakan oleh Yesus di Yohanes 8.36, “Apabila Anak memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.”

Seorang anak Tuhan yang sejati akan mengalami kemerdekaan yang dijanjikan oleh Yesus. Ketakutan pada maut telah memperbudak rata-rata orang di dunia ini (Ibr 2.14). Tapi seperti SN pernah berkata pada Papanya, bahwa dia telah menang. Tidak ada lagi rasa kuatir atau takut akan kematian. Tanpa kuasa Tuhan, tidak banyak orang yang bisa setegar itu saat berhadapan dengan rasa sakit dan maut. Namun sebagai anak Tuhan, kita sudah dibebaskan dari perhambaan pada rasa takut akan maut (Ibr 2.15). Dan kemerdekaan yang diperlihatkan dalam hidup kita ini akan dengan lantang berbicara pada orang-orang yang ada di sekitar kita akan kenyatan Allah!

Injil diberitakan bukan hanya lewat bagaimana kita hidup, tetapi juga lewat sikap kita saat berhadapan dengan rasa sakit dan maut.

 

 

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.

Sumber: cahayapengharapan.org

Leave a Comment