Dia Melengkapiku (adalah sebuah kebohongan)

Oleh: Mark Stromenberg
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: She Completes Me (Is A Lie))

Aku melihat gambar ini suatu pagi di salah satu media sosialku, dan aku merasa terganggu (jika kamu juga mengunggah gambar yang sama, tulisan ini tidak bermaksud menyerangmu; aku hanya ingin membagikan pemikiranku tentang pesan yang disampaikan gambar ini). Gambar ini menarik dan menyentuh hati. Gambar ini memberitahu kita bahwa: “dia” membuat segalanya lebih baik. Si “dia” menyingkirkan semua pikiran dan suara negatif di dalam diriku. Pada dasarnya, si “dia” adalah sang penyelamat.

Gagasan serupa yang juga diangkat dalam film A Walk To Remember. Lagi-lagi, ini adalah sebuah tayangan yang menarik. Tetapi, sama seperti banyak tontonan lainnya, film ini membombardir kita dengan pandangan yang kelihatannya ideal tentang hubungan, tetapi sebenarnya merusak (sampai di sini aku sadar bahwa pernyataanku mungkin bikin banyak orang merasa tidak nyaman). Film itu, sama seperti gambar di atas, membuat aku naik darah. Mengapa? Karena sangatlah egois dan jahat bila kamu membebani orang yang kamu kasihi dengan harapan bahwa ia harus menjadi penyelamat hidupmu.

Banyak orang yang belum menikah, memuja hubungan cinta. Hidup mereka adalah untuk mendapatkan cinta. Aku melihat fenomena ini terjadi setiap hari di tempat kerjaku. Kita punya harapan yang besar dari sebuah hubungan cinta. Kita mengharapkan pasangan kita mencintai kita, menghargai kita, tidak pernah meninggalkan kita, tidak pernah mencelakakan kita, melayani kita, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. “Dia melengkapi hidupku!” demikian angan-angan kita, adakalanya tanpa pertimbangan akal sehat. Kita berusaha sekuat tenaga mencari “jodoh” kita, orang yang akan membuat hidup kita penuh arti dan keberadaan kita dihargai.

Gagasan tentang “jodoh” bahkan cukup populer di kalangan orang Kristen. “Temukan pasangan yang sudah disediakan Tuhan untukmu!” kurang lebih begitulah slogan dari sebuah situs web perjodohan, Christian Mingle. Konsep jodoh ini sebenarnya tidak alkitabiah (meski sebagian orang berusaha membuktikan sebaliknya). Konsep ini berasal dari ajaran Plato yang berkembang di Yunani, yang mengatakan bahwa manusia dulunya adalah makhluk yang sempurna, namun kemudian terbelah menjadi dua. Sebab itu, sepanjang hidup manusia terus mencari belahan jiwanya. Sebuah konsep yang buruk. Mengapa? Karena jika kamu belum menikah, mungkin sekali kamu percaya—sampai taraf tertentu—bahwa hidupmu tidaklah lengkap tanpa belahan jiwamu, dan kamu tidak berusaha menata hidupmu sendiri sebelum menemukan orang itu. Jika kamu sedang berpacaran, mungkin kamu terus-menerus tidak yakin apakah pacarmu adalah orang yang tepat, dan kamu tidak berusaha memperbaiki kualitas hubunganmu. Ketika kamu menikah dan pernikahanmu bermasalah, hal pertama yang melintas dalam pikiranmu adalah, “Mungkinkah pasanganku ini sebenarnya bukan belahan jiwaku?”

Sebagai seorang pemuda yang sudah punya pacar dan sempat bergumul dengan depresi selama bertahun-tahun, aku merasa konsep ini sangatlah mengganggu.

Memang benar, sewaktu aku masih jomblo, aku pernah berpikir bahwa seandainya aku memiliki seorang pacar yang mencintai aku, maka semua depresi, kegelisahan, rasa tidak aman, dan ketakutanku, tentu akan sirna. Sesungguhnya, aku sedang menjadikan hubungan cinta sebagai “Tuhan” dan penyelamat hidupku. Jika aku menemukan “dia”, hidupku akan lengkap, aku akan pulih, aku tidak akan lagi bergumul dengan depresi. Aku menjadikan pacarku sebagai berhala, mengharapkannya menjadi seperti Tuhan. Jelas itu sebuah peran yang mustahil dipenuhinya. Pacarku bukan Tuhan. Benar bahwa dia seringkali menguatkan, mendorongku berjuang, melengkapi, dan membuat hidupku terasa berarti. Tetapi, bukan dia yang menentukan hidupku. Dia tidak mengubah hakikat diriku. Dia tidak bisa mengendalikan sepenuhnya keseimbangan kimia di otakku. Dan, dia tidak bisa menjadi sumber rasa berharga dan tujuan hidupku.

Bayangkan identitas diri dan kepribadianmu seperti sebuah koper. Kamu mengisi hidupmu dan kopermu dengan hal-hal yang penting bagimu. Begitu juga dengan semua orang lainnya. Namun, ketika aku menjadikan orang lain sebagai dasar identitas dan pengharapanku, itu sama seperti meminta mereka membawakan koperku; menyuruh mereka berhenti mengurus hal-hal yang penting bagi mereka, dan hanya mengurus apa yang penting bagiku. Tidakkah hubungan cinta semacam itu jauh dari indah?

Pada intinya, menaruh pengharapan yang tidak realistis kepada orang yang katanya kamu kasihi itu sangatlah egois dan membebani.

Sebab itu, aku tidak berharap hubungan cintaku akan “memperbaiki” depresiku. Seorang sahabat, pacar, atau pasangan mungkin bisa membantuku menghadapi masalah, tetapi mereka tidak bisa memulihkanku. Hanya Yesus yang bisa. Jawaban bagi suara-suara negatif dalam diri bukanlah dukungan dan sikap manis dari orang lain; tetapi kebenaran yang disampaikan dalam kasih, dari Allah sendiri, Sang Pemilik Hidup kita.

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment