Karena Polio Aku Dibuang Orang Tuaku

Diringkas oleh: Novita Yuniarti

Pada usia enam bulan, tepatnya pada bulan Januari 1962, aku terkena demam. Rupanya saat itu penyakit polio menyerang tubuhku. Imunisasi polio belum terlalu dikenal, sedangkan suntikan dari dokter hanya mampu menurunkan panas badanku tanpa mematikan virus, sehingga virus tersebut menyerang dan membuat kedua kakiku lumpuh total. Orang tuaku kemudian memasukkan aku di panti rehabilitasi anak-anak cacat di Solo. Namun mereka meninggalkan identitas dan alamat palsu sehingga aku tidak bisa melacak keberadaan mereka. Aku pun hidup di lingkungan itu bersama 100 — 150 anak cacat lainnya tanpa ada keluarga yang bertanggung jawab terhadapku. Anak-anak lain memiliki keluarga dan setiap kali mereka ditengok, orang tua mereka selalu memberikan uang kepada pengurus asrama sehingga mereka bisa jajan. Setiap tahun pula aku melihat anak-anak lain yang telah selesai masa tinggalnya di asrama, dijemput oleh orang tua mereka untuk pulang. Sedangkan aku? Aku tinggal di asrama dengan biaya dari Departemen Sosial karena tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk membiayaiku.

Setiap hari aku menerima perlakuan dan perkataan kasar dari para suster. Dengan kasarnya, mereka mencemooh dan mengejek aku, “Kamu tuh anak yang ditemukan di tong sampah.” Jika aku sakit, aku membutuhkan orang yang benar-benar mengasihiku. Namun para suster masih saja menyiksaku dengan memberikan obat dalam bentuk puyer (tanpa air minum), atau aku disuruh menelan pil yang besar. Jika tidak, aku akan dipukul. Kalau aku didisiplin karena nakal atau pelanggaran, maka hukuman yang aku terima adalah antara tidak diberi makan atau diberi makan. Kalau aku menangis, pada waktu membutuhkan pembelaan ketika ada yang menyakitiku, mereka bukannya membujukku supaya diam, tapi justru memarahiku.

Tahun-tahun pun berlalu. Usiaku saat ini sudah tujuh belas tahun. Saatnya bagiku meninggalkan asrama. Aku tidak tahu ke mana aku harus pergi. Kalau kondisiku normal, ada hal yang bisa aku lakukan. Tetapi dengan kondisi seperti ini, aku harus ke mana? Tanpa aku ketahui, ada seorang majelis gereja melihat potensiku dalam belajar. Aku disekolahkan di SMSR Yogyakarta dengan spesifikasi jurusan seni rupa. Mulai saat itu, aku menjalani hidup di lingkungan orang-orang yang secara fisik berbeda denganku.

Saat ini, aku sudah bekerja di sebuah perusahaan percetakan. Ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku, seorang pria setengah baya menghampiriku dan menanyakan tentang keberadaan bosku. Tanpa tertarik sedikit pun untuk bercengkerama lebih jauh, aku menjawab pertanyaannya sekenanya, bahwa bosku sedang tidak ada di tempat. Aneh, dia bukannya pergi, tapi malah tetap tinggal di tempat ini dan memerhatikanku. Dia mulai berbicara tentang Seseorang yang katanya punya kasih dan kasih itu diberikan untukku, nama-Nya Yesus. Kasih? Yesus? Omong kosong! Tanggapanku yang dingin ini mendorong dia untuk mendoakan aku. Aku hanya mengikuti tanpa ekspresi. Semula aku benar-benar tidak mengacuhkannya. Tapi saat dia mengatakan, “Sudah, kamu ikut saya saja, tinggal dengan keluarga kami!” Aku mulai tergerak. Tanpa pikir panjang, aku pun bersedia ikut bersamanya dan tinggal dalam keluarganya, sebuah keluarga lengkap, terdiri dari kedua orang tua dan anak, komunitas yang tidak pernah aku rasakan setelah lebih dari 24 tahun.

Aku pun mulai merasakan bagaimana hidup dalam sebuah keluarga. Hatiku mulai tersentuh oleh kehidupan sehari-hari sebagai seorang anak — cara mereka memperlakukanku dan perkataan-perkataan mereka, membangun kepribadianku. Aku merasakan ada kasih yang mengalir. Merasakan semua itu membuatku rela membuka hatiku bagi Yesus dan mengundang-Nya untuk masuk dan menjadi Tuhan dan Juru Selamatku. Aku pun mulai merasakan suatu perubahan. Aku merasakan sukacita, kedamaian, dan suatu pengakuan dan kasih yang selama ini aku cari. Aku sadar, kekosongan jiwaku selama ini hanya dapat diisi oleh Yesus. Hidup kurasakan telah lebih baik dari sebelumnya. Namun entah mengapa, kekerasan hatiku masih saja ada. Aku masih suka memberontak dan belum bisa menerima kenyataan hidupku.

Agar aku dapat bertumbuh dalam kasih Tuhan, Pak Pieter (orang yang telah mengangkatku menjadi anaknya) mengirimku untuk sekolah di DTS (Diciples Training School atau Youth With A Mission). Selama enam bulan, aku belajar banyak tentang makna pengampunan dan pemulihan luka-luka batin. Kini aku tahu bahwa persoalan terbesar dalam kehidupanku sesungguhnya adalah tidak bisa mengampuni. Ada tiga pihak yang tidak bisa kuampuni selama lebih dari 24 tahun, yaitu orang tuaku, para suster yang memperlakukanku dengan kasar ketika di panti rehabilitasi, dan diriku sendiri. Aku harus mengampuni kalau mau bertumbuh di dalam kasih. Setelah menerima pelajaran pengampunan, aku pun mampu berkata, “Tuhan, aku tidak mampu, tetapi aku mau bertumbuh. Tolong berikan aku kemampuan untuk melakukan ini semua.” Selesai berdoa, ada perasaan lega dan damai dalam diriku. Setelah aku mengampuni mereka semua, aku mengalami suatu perubahan hidup. Aku pun mendapati pribadiku pulih kembali — bukan secara fisik, tapi terjadi dalam hati dan rohku. Kini aku bisa menjalani hari-hariku dengan penuh arti karena telah merasakan kasih dan pengampunan dari Yesus Kristus. Kasih-Nya yang juga membuatku bisa mengampuni mereka yang telah bersalah kepadaku. Aku mulai percaya diri, berani tampil, dan melihat orang lain bukan sebagai ancaman yang akan menyakiti aku.

Setelah aku merasakan pemulihan dalam hidupku, aku rindu bertemu dengan keluargaku. Aku berdoa, “Tuhan, masa sampai mati aku tidak bertemu dengan keluargaku?” Lalu aku menulis iklan di sebuah media massa. Tak lama kemudian, ada informasi mengenai keberadaan keluargaku. Setelah melalui proses yang cukup panjang, aku pun bertemu dengan keluargaku. Saat mereka datang, aku katakan, “Aku tidak menyalahkan mengapa kalian membuang aku. Aku tutup lembaran itu. Aku hanya ingin tahu apakah kalian sudah mengenal Tuhan?” Sambil berlinang air mata, aku memeluk mereka semua satu per satu. Selama 36 tahun berpisah, akhirnya kasih Tuhanlah yang memulihkan hubungan kekeluargaan ini. Kini aku memiliki keluarga yang kukasihi dan mengasihi aku. Aku mempunyai seorang istri yang setia menantiku di rumah. Aku juga dikaruniai tiga orang anak — buah dari pernikahan kami. Kami menikmati kasih Tuhan dan hidup berbahagia bersama keluarga, dan aku sungguh terpesona oleh karya-Nya yang luar biasa dalam hidupku.

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” 
(Matius 5:44)

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber: http://sabda.org

Web Kesaksian : www.kesaksian.org
Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment