Ketika Amuk Massa Nyaris Merenggut Nyawa Saya

Meski sudah tamat D-3 Teknik Infomatika Akademi Komputer Bandung 1997, namun hingga Juni 2000, pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi saya belum juga saya dapatkan. Setelah tamat, saya sempat pulang ke kampung halaman di Tanah Karo selama kurang lebih enam bulan. Tapi karena hasrat untuk mendapat pekerjaan yang layak cukup kuat, saya pun balik ke Jakarta dan tinggal di rumah kakak. Di tempat kakak ini saya terus berusaha untuk mencari peluang kerja dengan cara mengirimkan surat lamaran ke berbagai instansi. Sementara menunggu panggilan, saya membantu kakak mengelilingkan berbagai minuman ringan yang diageni kakak saya, seperti teh botol, aqua, dan lain-lain ke kios-kios langganan.

Suatu ketika saya membaca lowongan pekerjaan di harian “Kompas”, yakni lowongan pekerjaan di sebuah kapal pesiar rute Eropa dan Asia. Saya kemudian mengajukan lamaran dan tidak berapa lama kemudian ada surat panggilan atas nama saya: Popri Barus, yang, memberitahukan bahwa saya mendapat panggilan. Setelah dipanggil saya menjalani beberapa tahap tes, seperti tes kesehatan, wawancara, dan saya dinyatakan lulus. Beberapa waktu kemudian, saya dipanggil lagi. Kali ini untuk kepentingan mengurus paspor dan saya harus menyerahkan sejumlah uang.

Namun, baru beberapa meter di halaman kantor, kembali perasaan tidak enak menyergap saya.

Pagi itu, saya sudah menyiapkan berbagai dokumen yang dibutuhkan dan sejumlah uang yang diminta PT … — , biro tenaga kerja yang terletak di Condet. Selain barang-barang di atas, karena perasaan saya tidak tenang, maka sebelum berangkat saya baca Alkitab. Usai membaca saya berdoa dan Alkitab tetap saya bawa, saya masukkan ke tas. Keluar dari rumah saya menuju ke halte menunggu Bus 43 jurusan Priok-Halim. Bus lama sekali tidak datang dan kegelisahan saya pun semakin pekat. Baru kira-kira pukul 10.00 wib bus yang saya nantikan lewat. Di tengah jalan kembali perasaan saya tidak nyaman. Di bus itu pula saya buka-buka Alkitab, membaca sebentar dan memasukkannya ke tas lagi.

Sampai di Condet tak ada masalah. Waktu itu saya bawa uang Rp 1 juta dan yang saya serahkan untuk mengurus paspor Rp 600 ribu. Karena semua urusan sudah beres, maka saya langsung berniat pulang. Sisa uang yang Rp 400 ribu saya masukkan saku. Namun, baru beberapa meter di halaman kantor, kembali perasaan tidak enak menyergap saya. Saya lalu balik ke kantor, mencari kamar mandi, dan di sana saya buka sepatu dan memasukkan uang ke dalam kaos kaki.

Dari Condet saya naik mobil 07 ke Cililitan. Dari Cililitan naik mobil 06 ke Halim. Di Halim saya kembali naik Bus 43 yang ke arah Priok. Di bus angan-angan saya melambung tinggi. Saya membayangkan lantaran semua urusan sudah beres, panggilan segera tiba dan saya bisa segera melanglang buana.

Waktu itu kira-kira pukul 16.00 wib. Bus melaju dengan cepat dan sampailah di Pisangan Timur. Namun. ketika tiba di sini, secara mengejutkan kondektur meminta para penumpang turun dengan alasan bus akan lewat tol. Hal ini tentu saja tidak lazim sebab biasanya Bus 43 lewat bawah. Karena merasa dinakali dan kami sudah bayar ongkos semua maka banyak dari para penumpang yang turun mengungkapkan rasa kesalnya, termasuk saya. Saya waktu itu turun paling akhir dan lewat pintu bagian belakang. “Buruan, buruan Mas,” seru kondektur pada saya. “Gimana sih, Bang!” begitu timpal saya sambil saya pukul pintu busnya Brang! Breng!

Nah, waktu saya mau turun, ada anak sekolah sekitar 10 hingga 15 orang naik rame-rame dari pintu depan. Saya sendiri tak mempedulikan bus yang kemudian melaju dan saya dengan santainya berbincang-bincang dengan sesama penumpang, yakni dua orang ibu, satu agak tua dan satunya lagi masih muda dan sedang hamil. Kami mengobrol santai sambil mengungkapkan kekecewaan masing-masing. Namun, kira-kira baru 20 meter berjalan, bus tiba-tiba berhenti. Anak-anak sekolah yang tadi sempat naik kini kembali turun. Bus melaju lagi. Anehnya, setelah turun anak-anak sekolah itu lari menyerbu ke arah saya. Saya menoleh, tapi saya tidak menduga sesuatu bakal terjadi. Anak-anak sekolah yang berlarian itu ternyata sedang mengejar saya. Saya karena betul-betul tidak tahu dan juga tidak merasa bersalah, maka saya tak bereaksi apa-apa. Saya tetap berjalan dengan santainya. Tiba-tiba: buk, buk, buk, mereka langsung mengeroyok dan dengah beringas menendang dan memukuli tubuh saya. Ada yang melilitkan tas untuk mencekik leher saya, ada yang mengambil batangan kayu dan memukulkan ke jidat saya hingga bocor. Saya melawan tapi tak berdaya dan saya tidak bisa berbuat apa-apa karena kejadiannya cepat sekali.

Selain memukul mereka juga mengambil topi saya. Mereka bermaksud mengambil tas saya pula tapi tak berhasil. Tas itu dengan sekuat tenaga saya tarik dan setelah berada di tangan, tanpa melihat kiri-kanan, karena begitu takutnya, saya langsung lari menyebrang jalan tanpa menghiraukan hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang.

Bahaya Lebih Besar Telah Menunggu di Seberang Jalan

Ketika melihat saya berhasil melepaskan diri, entah atas pertimbangan apa, anak-anak sekolah yang mengeroyok itu tiba-tiba berteriak, “Maling, maling, maling!” Tentu saja saya menjadi semakin ketakutan mendengar teriakan mereka. “Wah, tambah gawat nick,” pikir saya.

Kepada orang-orang yang ada di seberang jalan, saya berkata sambil memohon-mohon, “Pak tolong, Pak tolong, saya dikeroyok.” Namun karena suara saya sudah terlalu lirih dan suara anak-anak sekolah serta massa yang berteriak lebih dominan, bapak-bapak yang ada di seberang jalan sudah tidak menghiraukan apa yang saya katakan. Lebih-lebih melihat kepala dan kaos saya sudah penuh darah, mereka percaya saja dengan teriakan anak-anak sekolah. Massa segera merangsek membawa macam-macam alat pemukul seperti besi, kayu, dan juga jirigen yang kemungkinan besar berisi bensin untuk membakar saya. Saya dengan suara yang parau tetap berusaha memohon, “Tolong Pak, saya bukan maling. Pak, anak-anak sekolah itu salah sasaran. Mereka mengeroyok saya.” Massa tetap tak percaya. Karena di situ dekat kali, bahkan suara orang yang berteriak semakin mengerikan saja: “Udah habisin aja!”, “Lempar saja ke kali!”, “Bunuh saja!”, “Bakar saja!” Ketika saya mengerang-erang, tak sedikit massa yang dengan leluasa melayangkan bogem mentahnya ke tubuh saya.

Mungkin sekaranglah waktunya saya mati. Saya merasa saat itu pasti saya mati.

Dalam kondisi ketakutan yang luar biasa ini, saya akhirnya pasrah, dan pikir saya, ” Mungkin sekaranglah waktunya saya mati.” Saya merasa saat itu pasti saya mati. Situasi bertambah genting. Saya hanya bisa bertahan terpaku di tengah jembatan kecil yang telah dikepung massa. Saat itulah, ketika saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa, tiba-tiba saya tergerak untuk berdoa. Kedua tangan langsung saya satukan sebagaimana lazimnya posisi tangan orang berdoa. Doa saya semula lirih, “Tuhan, hanya Engkau yang bisa menolong aku.” Lama-kelamaan, mungkin karena begitu takutnya, tanpa saya sadari suara saya seketika bisa lepas dan doa saya semakin keras, “Tuhan tolong, Tuhan Yesus, tolong!” Mungkin karena mendengar doa saya, massa seketika senyap.

Di saat kritis inilah, usai berdoa tiba-tiba muncul seorang laki-laki setengah baya menyela di kerumunan massa, sambil katanya, “Ada apa?”

“Maling, Pak! Dia maling, Pak! ” ujar massa serempak.

“Kamu maling, ya?” tanya Bapak itu pada saya.

“Bukan, Pak. Saya bukan maling.”

Bapak itu langsung buka tas saya sambil tanya, “Ini apa?”

“Ini berkas-berkas surat lamaran, Pak,” jawab saya.

Ia kemudian mengambil Alkitab yang ada di tas saya, bertanya, Ini apa?”

“Alkitab, Pak,” jawab saya pada si Bapak yang di kemudian hari saya tahu kalau dia seorang Muslim.

Setelah mengajukan pertanyaan secara rinci, Bapak itu akhirnya dengan suara lantang berbicara pada massa, “Sudah, kalau orang ini maling, saya yang bertanggung jawab.”

Saya kemudian langsung dibawa oleh Bapak itu dan mungkin karena tidak puas, massa pun bertanya, “Mau dibawa ke mana, Pak?”

“Tenang dulu. Kita akan tanyai lagi dia,” jawab Bapak itu arif Bapak itu menarik saya sambil terus bertanya, “Benar, kamu bukan maling, ya?”

“Bukan, Pak,”jawab saya.

Bapak itu kembali memeriksa tas dan dompet saya. Untunglah, tadi saya memasukkan uang di kaos kaki. Seandainya tidak, bisa jadi karena melihat cukup banyak uang yang saya kantongi, massa akan semakin yakin bahwa saya memang maling atau pencopet beneran.

Di jalan saya diberi Aqua gelas. “Nih minum. Kalau kamu memang bukan maling tenang saja. Kalau kamu maling, habis kamu,” ujar Bapak itu berwibawa.

Saya kemudian dibawa ke warung. Massa sudah tidak terlalu beringas tapi bukan berarti saya sudah terlepas dari bahaya. Anak-anak sekolah yang mengeroyok saya masih bertahan di pinggir jalan.

Ketika saya berada di warung, Tuhan sekali lagi mengirimkan penolong. Seorang pria yang biasanya berjualan sayur keliling di tempat kakak saya, karena melihat rame-rame ia turut mendekat. Menurut kisah si penjual sayur di kemudian hari, ia datang ke tempat kerumunan massa secara tidak sengaja. Waktu itu, tiba-tiba burung peliharaannya lepas dan terbang ke arah tempat kejadian. Setelah yakin ia kenal saya, si penjual sayur itu langsung berkata, “Cok kenapa kamu? Saya kenal, saya kenal sama anak ini. Saya tahu keluarganya. Dia adiknya Oom Barus. Tenang, tenang, saya tanggung jawab penuh.”

Mendengar kesaksian si tukang sayur, Bapak pertama yang menolong saya tambah yakin kalau saya bukan pencopet. Karenanya, dengan nada tinggi ia kemudian berkata ke arah massa, “Bubar, kalian semua bubar!” Massa menurut.

Tiba di warung saya dibelikan kopi. Kopi ini ditaburkan ke jidat saya untuk menghentikan pendarahan. Saya lalu minta air di baskom kepada pemilik warung untuk mencuci muka saya yang penuh darah. Sekarang situasi sudah tenang tapi saya masih takut, baik pada anak-anak sekolah maupun pada warga yang lalu lalang. Kira-kira sejam menunggui saya, tukang sayur itu pergi. Sekarang yang menjagai saya tinggal si Bapak yang pertama dan tiga atau empat pemuda setempat yang sekarang menaruh sikap bersahabat. Anak-anak sekolah masih tetap di posisi semula. Mereka rupanya tidak akur dengan pemuda setempat sehingga mereka tidak berani mendekati saya.

“Sudah, kamu tak usah takut. Sekarang kamu mau pulang ke mana?” tanya si Bapak.

“Saya mau pulang ke rumah Pak, tapi nggak berani,” jawab saya.

“Oke deh, saya temani,” katanya.

“Kalau Bapak sempat, terima kasih,”jawab saya.

Karena masih takut dan anak-anak sekolah masih tetap di pinggir jalan, Bapak itu mengajak beberapa pemuda untuk mengawal saya. Mereka ada yang membawa besi, kayu dan mereka menghardik anak-anak sekolah yang bergerombol, “Hei, ngapain lu di situ?”

Anak-anak sekolah itu tak berani mendekati saya. Tidak berapa lama, Bus 43 datang. Bapak yang menolong saya secara reflek langsung menyetopnya. Namun, ketika melihat bus itu, saya ketakutan dan menolak untuk naik. “Sudah, kalau tidak berani saya antar, yok,” bujuknya. Saya tetap tidak mau. Bus itu kemudian melaju.

Menyetopnya, Taksi berhenti. Bapak itu kembali bertanya pada saya, “Kamu punya uang?” Saya diam saja. “Pakai ini saja,” ujar si Bapak sambil merogoh sakunya. “Sudah Pak, tidak perlu, nanti saja saya bayar taksinya di rumah,” kata saya.

“Saya temani ya?” kembali ujar si Bapak.

“Terimakasih, tidak perlu, Pak,” jawab saya sambil langsung naik taksi.

“Bang, agak cepat dikit,” kata saya pada sopir taksi. “Kenapa, Dik?” tanyanya. “Saya baru saja dikeroyok anak-anak sekolah itu.”

Sampai di rumah, kebetulan Abang saya ada di depan rumah. Turun dari taksi, belum ditanya, belum ngomong, Abang langsung saya peluk sambil saya menangis tersedu-sedu. Ini karena Tuhan saja Bang, kita masih bisa ketemu,” ujar saja dengan kata terputus-putus.

“Ada apa?” tanya Abang penuh keheranan.

“Terima kasih Tuhan, terima kasih Tuhan,” ucap saya. “Ada apa ini? Cerita, ayo cerita!”kata Abang penasaran.

Saya harus persembahkan hidup saya kepada Tuhan.

Kakak ipar saya memberikan uang ongkos taksi pada sopir yang telah menunggu. Ponakan saya mengambilkan saya minum. Setelah minum dua gelas, saya mulai menceritakan kisah mengerikan yang hampir merenggut nyawa saya.

Peristiwa itu telah berlalu. Walaupun demikian, saya takkan pernah melupakan bahwa nyawa saya ini sebenarnya nyawa titipan. Saya harus persembahkan hidup saya kepada Tuhan.

 

 

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber: sabda.org

Web Kesaksian : www.kesaksian.org
Email: papua@kesaksian.org
Whatsapp: +62 882-9116-6911

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment