Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku

Oleh Cana

“Oh hari ini sudah hari Senin dan aku harus masuk kerja lagi. Oh Tuhan, kapan hari Sabtu dan Minggu ya? Rasanya menyebalkan dan tidak semangat.”

Itulah sekelumit gambaran perasaanku setiap kali aku harus berangkat kerja di hari Senin. Aku baru bekerja di tempat yang baru selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang diterima di sini. Bagaimana tidak, di sini aku mendapatkan gaji yang cukup baik dan posisi yang kuharapkan, yaitu sebagai dosen. Dan, terlebih lagi adalah aku bisa bekerja satu kota dengan suamiku.

Tapi, seiring berjalannya waktu, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa posisi yang awalnya kudapatkan sebagai dosen ternyata hanyalah sebuah status yang tertera di name tag. Ada miskomunikasi saat proses perekrutan dulu. Pihak HRD kala itu menyampaikan padaku bahwa mereka membutuhkan dosen dan nantinya jika aku diterima, mereka juga memintaku untuk menolong bidang promosi di fakultas. Aku mengiyakan tawaran itu karena kupikir porsi pekerjaan utamaku adalah menjadi dosen. Namun, setelah aku bekerja di sana, rupanya bidang yang sangat mereka butuhkan adalah marketing, bukan dosen.

Para pimpinan pun menghampiriku satu per satu dan menjelaskan bahwa ilmu Kesehatan Masyarakat yang jadi latar belakang studiku kurang sesuai dengan Fakultas Kedokteran di mana aku berada. Dan, kalau aku tetap diizinkan mengajar, maka yang terjadi adalah beberapa dosen lain akan merasa tidak adil. Mereka mungkin akan keluar dan tidak mau mengajar lagi. Intinya, aku tidak bisa mengajar sebagai dosen dan mereka menyarankanku untuk mempertimbangkan ulang bidang marketing atau bagian lain yang mengurus administrasi.

Aku merasa jadi seseorang yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tertolak. Pertanyaan besar pun menggantung di benakku, “Lalu, aku bekerja di sini sebagai apa? Mengapa aku tidak layak mendapatkan posisi dosen di sini? Apakah aku tidak baik? Apakah aku bodoh? Apakah status lulusan S-2ku tidak ada artinya?”

Saat itu aku merasa stres dan ingin keluar, tapi aku sendiri membutuhkan pekerjaan. Jadi, aku coba bertahan. Namun, hari-hariku dipenuhi kebingungan, kekecewaan, dan rasa marah. Aku tidak punya jobdesc yang jelas dan karenanya aku juga tidak memiliki teman dekat. Aku sering menyendiri, diam, dan tidak berani bergaul. Bahkan, aku tidak berani memakai name tag dosen yang seharusnya kupakai setiap kerja. Aku selalu membaliknya sehingga orang tidak tahu aku bekerja di posisi apa.

Aku memendam semua perasaan ini, hingga akhirnya aku merasa tidak sanggup lagi. Aku menangis dan terus menangis di depan suamiku. Kala itu, karena aku merasa tidak dibutuhkan dan tidak berguna, aku berpikir bahwa solusi yang paling tepat adalah bunuh diri. Suamiku terkejut. Dia memelukku dan bertanya mengapa aku jadi seperti ini. Dia berusaha menenangkanku.

Saat aku lebih tenang, suamiku lalu menunjukkan foto-foto tentang kebersamaan kami yang di dalamnya juga tertulis ayat-ayat Alkitab. Aku berhenti menangis. Foto-foto itu membuatku mengingat kembali dan tersadar akan perjalanan yang telah kami berdua lalui. Tuhan telah begitu baik, Dia menyertai kami berdua di dalam setiap pergumulan studi hingga hubungan yang kami jalani.

Satu teguran yang mengubahku

Beberapa hari kemudian, aku membaca cerita tentang perumpamaan anak yang hilang yang diambil dari Lukas 15:11-32. Dalam cerita itu, si anak bungsu pergi meninggalkan rumah dan menghabiskan semua uang yang diberikan oleh bapanya. Ketika uangnya habis, si bungsu hidup menderita. Hingga suatu ketika, dia teringat akan kehidupannya semula bersama sang bapa. Dia lalu memberanikan diri untuk pulang.

Cerita itu membuatku berpikir. Betapa si anak bungsu yang memiliki sikap buruk ini punya keberanian untuk menghadap bapanya. Dia bisa saja merasa takut dan bersalah hingga pergi semakin jauh. Tapi, dia berani datang kepada bapanya seburuk apapun kondisinya, semalu dan sehancur apapun perasannya. Kupikir, si bungsu berani melakukan itu karena dia yakin bahwa bapanya tidak akan menolaknya. Dan, pada akhirnya, sang bapa pun menerimanya dengan tangan terbuka.

Aku tertegur. Selama ini, aku takut datang kepada Bapa karena kupikir kondisiku terlalu buruk dan hatiku sangat hancur. Aku menyembunyikan segala pergumulan itu dalam hatiku dan mencari-cari jalan keluar sendiri. Padahal, seperti anak bungsu yang disambut oleh bapanya, Tuhan tentu akan menerimaku dengan tangan terbuka. Aku pun meminta ampun kepada Tuhan, juga kepada suamiku karena aku telah berpikir buruk, bahkan hingga ingin mengakhiri hidupku.

Sejak saat itu, aku memohon pertolongan Tuhan untukku melalui hari-hariku. Aku mungkin belum sepenuhnya pulih dari perasaan kecewaku, tetapi sekarang aku tahu aku harus berlari ke mana dan kepada Siapa. Tuhan adalah Bapa yang menerima setiap hati yang hancur. Tak peduli apapun kondisiku, Dia selalu menerimaku. Hari-hariku kemudian menjadi momen pembelajaranku bahwa yang terpenting adalah identitasku sebagai anak-Nya, yang dikasihi dan diterima-Nya.

Aku belajar untuk memandang pekerjaanku bukan sebagai tempatku mencari nafkah semata, tetapi sebagai tempat di mana aku berproses. Meskipun terasa pahit, sakit, dan rasanya tidak sesuai dengan keinginanku, namun aku mau belajar yakin bahwa Tuhan merancangkan kebaikan di balik segala hal yang kualami.

Hingga kini memang aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengajar, namun sekarang aku mulai dapat mengecap sedikit demi sedikit pengalaman baru yang kudapatkan dari bidang pekerjaan yang kutekuni. Aku berusaha melakukan setiap tugas yang diberikan oleh atasanku dengan baik. Aku percaya bahwa Tuhan mengetahui apa yang jadi keinginan hatiku. Pun Tuhan lebih tahu di mana tempat yang tepat untuk memprosesku, apapun jabatan yang diberikan kepadaku saat ini.

Hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah,” Mazmur 51:19b.

 

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber : www.warungsatekamu.org

Leave a Comment