Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Oleh Jefferson, Singapura

Jika kamu membaca judul artikel ini, mungkin kamu sudah bisa menebak alurnya. Jeff berdoa agar diberikan pekerjaan setelah lulus kuliah. Tuhan lalu meminta Jeff untuk menunggu terlebih dulu. Tak lama kemudian, barulah Tuhan memberikan Jeff pekerjaan. Tamat.

Mungkin alurnya terdengar klise. Tetapi, di dalam alur tersebut terselip sebuah kisah yang menarik: tentang apa yang kulakukan dan apa yang Tuhan ajarkan kepadaku selama aku menunggu.

Begini ceritanya.

Awal yang baik

Kurasa aku memulai perjalananku melamar pekerjaan dengan baik. Aku sudah menyiapkan segala macam persiapan yang dibutuhkan. Tips-tips penulisan CV dan surat pengantar kerja? Aku berdiskusi beberapa kali dengan konsultan karier dan dosen pembimbing di kampus untuk memastikan keduanya menarik perhatian HRD perusahaan. Kiat-kiat menjawab pertanyaan dalam wawancara? Aku berlatih intensif dengan konsultan karier. Cara berpakaian dan etika wawancara? Semuanya sudah termasuk dalam daftar hal-hal yang harus kukerjakan sebelum, selama, dan sesudah menghadiri wawancara.

Dengan seluruh persiapan ini, aku mulai mengirimkan lamaran sejak September 2017, di tahun terakhirku di universitas. Targetku adalah mendapatkan pekerjaan sebagai konsultan lingkungan hidup, tapi aku juga terbuka terhadap kesempatan di bidang lain seperti analisis data, konsultasi manajemen, engineering, ataupun komoditas. Di tahap ini, aku tidak begitu memusingkan akan langsung diterima atau tidak. “Kelulusan masih setahun lagi”, pikirku. Terlebih lagi, statistik kampus menyatakan bahwa lulusan baru pada umumnya baru mendapatkan pekerjaan setelah melamar ke 20 hingga 30 posisi. Maka kumulai perjalanan ini dengan optimis, mengirimkan lamaran setiap 1-2 minggu sekali.

Memasuki 2018, aku lebih giat mencari dan melamar sembari menyelesaikan tugas magang di semester terakhir kuliah. Lamaran yang kuajukan pun mulai membuahkan hasil. Aku dipanggil untuk mengikuti beberapa wawancara, tentunya atas seizin kantor magangku. Namun, tidak ada yang memberikanku tawaran atau bahkan memanggilku untuk wawancara tahap kedua.

Melewati titik jenuh dan titik nadir

Enam bulan kemudian, kontrak magangku selesai. Yang tersisa dari kehidupan kampus hanya upacara kelulusan sekitar dua bulan setelahnya. Di masa-masa menunggu ijazah ini, aku mengirimkan CV dan surat pengantar hampir setiap harinya, kadang bisa untuk lima posisi sekaligus dalam sehari! Jumlah panggilan wawancara pun meningkat, tapi aku tetap belum menerima tawaran pekerjaan.

Dua bulan setelah upacara kelulusanku, kira-kira di awal September, dan setelah 60-an posisi yang kulamar, akhirnya aku mencapai titik jenuhku. Aku merasa ditekan dari segala arah–oleh teman-teman seangkatan yang satu kos denganku dan semuanya sudah mulai bekerja, oleh orang tua yang terus menanyakan tentang pekerjaan baik lewat telepon maupun chat, dan oleh teman-temanku dari gereja dan kampus. Di antara semua tekanan ini, yang paling besar kurasakan dari orang tua. Aku pernah dengan kesal memutus sambungan telepon dengan mereka karena kurasa mereka terlalu medesakkku.

Semua tekanan ini membuatku merasa lelah, putus asa, dan mempertanyakan kebaikan Tuhan yang sepertinya terus menerus menjawab doaku dengan “Tunggu”. Aku pun mulai bermalas-malasan di kos. Aku tidak mempersiapkan pelayanan dengan serius, aku malah menonton serial TV dan membaca komik dan buku terus menerus. Saking malasnya, aku pernah sampai menonton satu serial film yang kutonton habis dalam dua hari! Selama periode ini, saat teduh dan waktu doaku pun mengalami kekeringan, meskipun aku tetap melakukannya. Dan, masa-masa ini menjadi masa yang menguji imanku dengan keras.

Namun, aku bersyukur kepada Tuhan karena aku tidak dibiarkan-Nya berlama-lama berada di fase ini. Tuhan membangkitkan semangatku melalui satu perikop dalam Alkitab yang dikisahkan ulang dalam buku “Not by Sight” karangan Jon Bloom.

Sampai di sini kamu mungkin bertanya-tanya mengapa aku bisa dengan yakin menyimpulkan kalau Tuhan sedang menyuruhku untuk menunggu. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi dalam kasih anugerah-Nya, Tuhan memberikanku iman untuk terus menunggu dan berharap pada-Nya.

Kisah para nelayan dan kebangkitan

Yohanes 21:1-14 mencatat peristiwa penampakkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya di tepi Laut Tiberias. Dari pasal sebelumnya, kita mengetahui bahwa penampakkan ini bukanlah yang pertama bagi para murid. Tuhan Yesus bahkan sudah pernah menemui mereka dua kali: pertama-tama pada malam hari kebangkitan-Nya (Yohanes 20:19), kemudian delapan hari setelahnya (Yohanes 20:26).

Tidak ada catatan lebih lanjut dalam kitab Yohanes tentang apa yang terjadi di antara ketiga penampakkan ini, tapi yang pasti para murid sedang “menunggu”. Dari mana kita tahu? Di penampakkan pertama, kita menyaksikan Tuhan Yesus mengus murid-murid dengan cara yang sama seperti Bapa mengutus-Nya (Yohanes 20:21). Ia menjanjikan Roh Kudus dan memberikan mereka perintah untuk mengabarkan Injil pengampunan dosa dalam nama-Nya (Yohanes 20:22). Penampakkan pertama berakhir di sini, tetapi dari Lukas 24:49 kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus juga menyuruh para murid untuk tinggal di sekitar Yerusalem hingga Roh Kudus turun atas mereka (Kisah Para Rasul 2).

Dalam konteks menunggu kedatangan Roh Kudus inilah peristiwa penampakkan ketiga dicatat. Bayangkan apa yang dirasakan oleh para murid sambil mereka menunggu. Mereka pertama-tama dikejutkan dan didukakan oleh pengkhianatan Yudas, salah satu dari mereka sendiri, yang berujung pada penyaliban Sang Guru. Belum lama Tuhan Yesus dikubur, wanita-wanita di antara mereka mengklaim bahwa Ia telah bangkit. Masih dalam duka, mereka pergi untuk memastikan bahwa para wanita telah berhalusinasi karena mendapati kubur yang kosong.

Malam itu juga, Tuhan Yesus yang sudah bangkit hadir di tengah-tengah mereka. Lubang-lubang bekas tusukan di lengan, kaki, dan lambung-Nya sebagai penanda bahwa Ia memang pernah mati dan kini bangkit. Sang Guru dengan penuh kasih kemudian memberkati dan mengurus mereka, namun sebelum mereka dapat pergi, mereka harus menunggu kedatangan Sang Penolong yang Ia janjikan. Ia lalu menampakkan diri beberapa kali lagi kepada mereka. Dan, di antara penampakkan-penampakka itu, para murid terus menunggu.

Tapi, menunggu sampai kapan?

Tuhan Yesus, yang waktu itu belum naik ke surga, tidak diketahui keberadaan-Nya dan tidak memberikan instruksi apapun selain yang Ia telah sampaikan dalam perikop-perikop lain di Alkitab. Roh Kudus yang dijanjikan juga tak kunjung datang. Di tengah masa penantian yang seperti akan berlangsung selamanya, seorang dari para murid memecah keheningan: “Aku akan pergi menangkan ikan” (Yohanes 21:3). Petrus tidak tahu harus melakukan hal apa lagi sambil menunggu. Menangkap ikan adalah profesi yang ia geluti sejak jauh sebelum ia menjadi murid Tuhan. Baginya, mengerjakan sesuatu yang familiar sambil menunggu adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan ketimbang hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apapun. Murid-murid yang lain menangkap maksud Petrus, kemudian pergi bersamanya ke tengah Laut Tiberias untuk menangkap ikan.

Semalaman mereka mencari, namun tak menemukan satu ikan pun. Mendekati tengah hari, mereka mendengar suara dari tepi pantai, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk pauk?” Mungkin dengan agak kesal dan kelelahan, mereka menjawab si orang asing, “Tidak” (ayat 5). Kemudian hal paling ajaib terjadi. Si orang asing menyuruh mereka untuk menebarkan jala mereka di sebelah kanan perahu. Para murid menatap satu sama lain dengan mata terbelalak, setengah kebingungan, setengah bersukacita. “Mungkinkah itu Guru?” Maka mereka menebar jala ke sebelah kanan perahu.

Yang terjadi setelahnya adalah pertemuan ketiga para murid dengan Tuhan Yesus yang telah bangkit, di mana mereka diteguhkan dan bersekutu dengan-Nya.

Akhir yang lebih baik

Dalam pembacaan dan perenungan terhadap cerita dalam perikop ini, aku merasa ditegur dan dihibur di saat yang sama; ditegur karena selama ini aku terlalu fokus melamar pekerjaan sehingga lupa untuk bergantung pada Tuhan; dihibur karena dalam membiarkan para murid menunggu-Nya pun Tuhan tetap memelihara iman mereka.

Tidak butuh waktu yang lama hingga aku dapat melihat pekerjaan Tuhan Yesus yang mengubahkan sikapku selama menunggu jawaban dari-Nya. Aku masih menonton serial TV serta membaca komik dan buku, tapi hanya di sela-sela waktuku saja. Aku menggunakan waktu-waktu utamaku untuk menyesuaikan kembali isi CV dan surat pengantar untuk setiap lowongan pekerjaan yang berbeda. Selain itu, aku juga mulai melakukan aktivitas lain seperti: menulis, memimpin kelompok kecil di gereja, membantu penelitian survei mamalia, dan pergi menghadiri seminar apologetika. Aku juga kembali mengerjakan beberapa pelayanan yang sempat kulalaikan dengan serius di hadapan Tuhan seperti mengajar sekolah Minggu.

Puji Tuhan, panggilan wawancara pun kembali berdatangan, dan walaupun belum ada tawaran pekerjaan yang datang, aku tetap menunggu Tuhan dengan penuh pengharapan sambil melakukan hal-hal terbaik lain yang bisa kukerjakan. Kemudian tibalah jawaban yang kutunggu-tunggu di awal Oktober. Dalam waktu dua minggu, aku menemukan satu perusahaan konsultasi lingkungan hidup, melamar ke sana, mengikuti wawancara tahap pertama, dan sempat risau karena jadwal wawancara tahap kedua mungkin akan bentrok dengan seminar apologetika yang kuikuti. Tapi, puji Tuhan, jantungku rasanya seperti berhenti sesaat ketika setelah wawancara kedua aku langsung ditawarkan pekerjaaan di bidang yang ingin kujelajahi.

Sisa ceritanya adalah bagian dari sejarah.

Sambil menunggu, lakukan yang terbaik yang bisa dikerjakan

Sekarang aku sudah bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama tiga bulan. Butuh penantian dan perjuangan selama satu tahun untuk tiba di sini. Sambil menunggu, ada banyak pertanyaan dan kekecewaan yang kurasakan dan kutumpahkan kepada tuhan dalam waktu-waktuku berdoa dan bersaat teduh. “Kenapa aku tidak mendapatkan tawaran dari perusahaan A? Paling tidak aku seharusnya maju ke wawancara tahap kedua untuk posisi B, bukan?” dan lain sebagainya. Tetapi, Tuhan terus menjawabku dengan “Tunggu”, dan masa menunggu itulah dipakai-Nya untuk aku belajar berfokus melakukan hal-hal terbaik yang bisa kukerjakan.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa Tuhan menggunakan masa-masa itu untuk mengasah dan mempertajam imanku sehingga ku dapat lebih bersukacita di dalam Kristus ketika jawaban dari-Nya datang.

Ketika Tuhan menyuruh kita untuk menunggu, bukan berarti kita harus berdiam diri tanpa melakukan apapun. Sebaliknya, lakukanlah hal-hal terbaik yang bisa kita kerjakan. Niscaya kita akan melihat dan mengalami rancangan damai sejahtera dari-Nya yang memberikan kepada kita hari depan yang penuh pengharapan (Yeremia 29:11).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment