LAPORAN TUGAS KEPERAWATAN DI ZAMBIA

Saya kembali ke Inggris setelah menyelesaikan tugas keperawatan di Rumah Sakit St. Francis, Katete, Zambia. Saya berada di sana selama tujuh minggu (20 Februari — 10 April) dan baru sekarang saya mulai memilah pemikiran dan perasaan saya selama berada di sana, agar bisa menuangkan pengalaman itu ke dalam kata-kata.

Seperti apa kehidupan dan tugas keperawatan di Rumah Sakit St. Francis?

Rumah Sakit St. Francis terletak di daerah Katete, salah satu provinsi di Zambia bagian timur. Terletak sekitar 500 kilometer dari ibukota Lusaka — lima atau enam jam perjalanan dengan bis yang memiliki kursi yang empuk dan nyaman. Rumah Sakit St. Francis adalah rumah sakit misi terbesar di Zambia yang dikelola oleh Anglican Church (Gereja Anglikan) di Zambia dan Catholic Diocese of Chipata (Keuskupan Katolik di Chipata, kota yang terdekat). Rumah sakit tersebut juga menerima dana dari pemerintah Zambia, serta berbagai organisasi mancanegara. Rumah sakit ini memiliki sekitar 360 tempat tidur dan pelbet (tempat tidur lipat). Meskipun jumlah tempat tidurnya banyak, rumah sakit ini selalu dipenuhi pasien. Selalu ada pasien yang terbaring di lantai bangsal rumah sakit dan hal ini sudah menjadi pemandangan yang umum di sana.

Selama berada di St. Francis, saya menghabiskan waktu di bangsal medis dan bedah, bahkan terkadang di ruang bedah, dan juga di bangsal pra dan paska persalinan. Di bangsal medis, penyakit yang paling sering ditangani adalah Tuberkolusis (TBC), Malaria, Meningitis, HIV, dan AIDS. Agar bisa memperoleh pengobatan, pasien terlebih dulu harus membeli kartu OPD (out-patients department – bagian yang mengurus pasien keluar) dengan sedikit biaya. Namun, seringkali pasien tidak dikenakan biaya pengobatan, sehingga banyak orang rela menempuh jarak bermil-mil untuk mendapatkan perawatan medis di St. Francis (sebagian orang bahkan datang jauh-jauh dari ibukota).

Sebelum berangkat ke Zambia, saya sudah mengetahui bahwa HIV dan AIDS adalah masalah yang serius di negara-negara Afrika, namun setibanya saya di Rumah Sakit St. Francis, saya tidak sepenuhnya memahami hal ini. Di Zambia, satu dari lima orang dewasa mengidap HIV positif, dan saat ini, rata-rata harapan hidup seorang bayi yang baru lahir diperkirakan kurang dari 33 tahun. Setelah melihat dan mengalami bagaimana merawat orang-orang yang menanggung akibat dari virus HIV, statistik ini bukan lagi sekadar angka di atas kertas; statistik ini menjadi nyata dan menjadi tantangan. Merawat orang-orang yang mengidap HIV adalah pengalaman yang memerlukan kerendahan hati, dan akan terus saya ingat seumur hidup saya.

Pelayanan keperawatan yang saya lakukan adalah yang paling dasar, seperti membalut luka (membersihkan dan membebat luka), dikarenakan begitu sederhananya obat-obatan dan peralatan yang ada. Meskipun demikian, rumah sakit melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Terbatasnya obat-obatan dan peralatan yang dimiliki rumah sakit sepertinya tidak menjadi penghalang untuk tetap mengobati orang-orang sakit yang datang. Saya ingat ketika suatu hari saya bekerja di bangsal medis untuk pria (St. Augustine). Seorang pasien tua masuk rumah sakit untuk mendapat pengobatan atas penyakit pada lutut kanan dan punggung yang telah dideritanya selama tiga tahun. Dia dikirim ke bagian fisioterapi dan saat dia pulang, dia berteriak sekeras-kerasnya (dalam bahasa Chewa — bahasa lokal) sambil mengangkat dan melambaikan tongkat (penuntun) yang baru didapatnya. Pada saat itu, saya berpikir bahwa dia sedang marah dan mengancam. Setelah bertanya pada salah seorang pasien (yang mengerti bahasa Chewa dan Inggris) tentang apa yang diteriakkan pria itu, saya baru mengerti bahwa ternyata teriakan pria tua itu adalah ungkapan rasa terima kasihnya kepada para dokter dan perawat atas tongkat yang baru diterimanya. Panjang tongkat itu pas untuk tubuhnya, tongkat itu membuatnya terbebas dari sakit punggung dan menolongnya untuk bisa berjalan dengan baik.

Dari pengalaman pria tua itu, saya belajar bahwa kita tidak selalu harus memiliki solusi yang “canggih” untuk bisa memenuhi kebutuhan. Memang ada kalanya situasi di rumah sakit itu membuat frustrasi, misalnya, saat kehabisan obat-obatan penting yang dibutuhkan agar pasien bisa bertahan hidup. Namun, ketika keadaan seperti ini terjadi, saya harus mengingatkan diri saya dengan apa yang dikatakan oleh Dr. Shelagh Parkinson, direktur eksekutif Rumah Sakit St. Francis, dalam suratnya sebelum saya tiba di sana. Beliau menulis, “Saat berada dalam situasi yang bisa membuat kita frustrasi, bandingkan situasi itu dengan ketiadaan pelayanan kesehatan, dan jangan membandingkannya dengan sistem kesehatan yang dimiliki oleh negara-negara kaya.”

Perbedaan utama antara pelayanan keperawatan di Zambia dengan Inggris adalah anggota keluargalah yang mengurus kebutuhan kesehatan pasien, bukannya perawat. Setiap pasien memiliki seorang “bedsider”, yaitu seorang anggota keluarga yang terus mendampingi pasien selama tinggal di rumah sakit dan membantu kebutuhan pribadinya — makan, minum, mandi, dll. “Tugas” para perawat cenderung berkisar pada tugas-tugas medis dikarenakan minimnya jumlah dokter di rumah sakit. Oleh sebab itu, para perawat juga terlibat dalam — di Inggris disebut sebagai tugas “tambahan”, seperti mengambil darah pasien dan kanulasi (memasukkan selang kecil ke dalam tubuh untuk mengambil cairan tubuh), yang juga diajarkan kepada saya. Semua ini adalah hal yang baru bagi saya, namun para perawat di Zambia sangat terbuka dan mau menolong untuk mengajarkan pada saya bagaimana menjalankan prosedur-prosedur itu. Di Inggris, kesempatan belajar seperti ini tidak dapat saya peroleh.

Keberadaan saya di Zambia telah meningkatkan rasa percaya diri saya sebagai seorang individu dan perawat, saat memulai tugas pertama saya sebagai seorang perawat baru yang berijazah. Pemahaman saya tentang arti “merawat” juga diperluas, begitu juga dengan pemahaman tentang penyakit dan permasalahan sosial yang memengaruhi individu di negara-negara berkembang. Sebelum penugasan ini, saya sudah pernah mengunjungi Zambia sebanyak dua kali dan bersinggungan langsung dengan budaya Zambia. Ini merupakan kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup saya. Suatu hari nanti, saya ingin kembali lagi ke Zambia (bersama dengan suami saya) untuk berterima kasih pada masyarakat di negara ini, yang tanpa sadar telah memberi dampak dalam kehidupan kami, dengan memberikan sesuatu yang berguna bagi mereka. Penugasan di sini sedikit banyak telah memampukan saya untuk memberikan sesuatu pada negara yang saya sayangi, dan juga memungkinkan saya untuk mempelajari keperawatan dan pelayanan kesehatan di negara berkembang.

Saya ingin berterima kasih kepada Dr. dan Mr. Parkinson (Direktur Eksekutif dan Petugas Administrasi) dari Rumah Sakit St. Francis yang telah memperbolehkan saya melewati waktu di rumah sakit dan membuat saya merasa berada di rumah sendiri. (t/Lanny)

 

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber: http://sabda.org

Web Kesaksian : www.kesaksian.org
Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment