Pergilah… Aku akan menyertai-mu!

Kata-kata ini merupakan kata-kata terakhir Yesus yang dicatat dalam Injil. Sebuah amanat untuk kita jalankan dan juga suatu janji yang indah yang diberikan oleh Yesus kepada kita – Aku akan menyertaimu sampai ke hujung dunia jika kamu pergi dan menggenapi amanat yang Aku berikan. 

Hampir setiap tahun saya menyempatkan diri untuk secara nyata menggenapi amanat yang Yesus berikan kepada setiap pengikut-Nya – yakni saya melakukan misi pendek ke daerah-daerah yang miskin. Tidak banyak yang dapat saya lakukan melainkan membawa sedikit penghiburan dan membagikan kasih Yesus kepada mereka.

Saya hanya ingin membagikan kenyataan dari janji Yesus itu, bahwa Ia akan menyertai kita. Setiap kali saya keluar meninggalkan keamanan kehidupan saya dan melangkah keluar untuk memberi, saya merasakan apa yang saya terima jauh melebihi apa yang saya berikan. Berikut adalah beberapa hal yang saya alami yang menyegarkan jiwa saya, semoga dapat juga memberkati Anda.

Bersandar pada Tuhan
Pada tahun 2003, saya mengikuti misi beberapa hari ke Thailand. Karena terlalu sibuk dengan kegiatan gereja, retret dan pelayanan, saya tidak menyadari bahwa paspor saya sudah hampir habis waktu berlakunya. Menurut peraturan jika masa berlaku kurang dari 6 bulan, saya tidak akan diizinkan untuk keluar negeri. Saat menyadarinya, saya langsung ke kantor imigrasi meminta dikeluarkan paspor yang baru, setelah bolak balik ke kantor imigrasi beberapa kali, saya diberitahu bahwa tidaklah mungkin paspor saya akan siap sebelum hari keberangkatan. Setelah berkonsultasi ke beberapa teman, saya terus mendapatkan informasi yang negatif, saya diberitahu bahwa tidaklah mungkin saya akan diizinkan berangkat. Tetapi karena tiket sudah dibeli, saya memutuskan untuk menyerahkan saja persoalan ini kepada Tuhan dan jika Tuhan mau saya berangkat, saya berangkat, jika tidak juga tidak apa. Saya memutuskan untuk berjalan dengan iman, tidak mengandalkan apa-apa melainkan mempercayakan segala sesuatu kepada Dia.

Saya mengalami pengalaman yang unik…saat saya bersiap-siap untuk berangkat, saya tidak merasa resah, saya tenang saja, seolah-olah tidak ada beban. Saat melewati kounter imigrasi, paspor saya dicermati dengan saksama oleh petugas. Halaman demi halaman diperiksa oleh petugas imigrasi. Saat ia sedang mencermati halaman tentang informasi masa berlaku tiba-tiba ada seorang wanita yang memanggilnya … (malaikat yang diutus Tuhan mungkin) … dan perhatiannya dialihkan. Setelah berbicara sejenak dengan wanita itu ia langsung mencap paspor saya tanpa meneliti paspor saya lagi.  Phew… saya jadi berangkat. Ayat dari Amsal 3:5 menjadi nyata, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”

Di Thailand, kami ke satu desa kecil yang dipanggil Huay Kai Pa. Saat tiba, hari sudah petang dan entah mengapa walaupun kami dalam satu tim tetapi pendeta di desa itu, namanya Pastor Karun, mengundang saya untuk tinggal bersama keluarganya. Jadi, tanpa mengetahui apa yang sedang menanti saya … saya mengangkat tas dari mobil dan mengikutinya pulang ke rumahnya.

Kasih meruntuhkan segala tembok
Setelah berjalan sekitar 10 menit kami sampai ke rumahnya. Hal indah yang saya alami adalah walaupun kami tidak bisa berkomunikasi karena tidak ada satu orang pun di dalam keluarganya, termasuk Pak Pendeta Karun bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa Thai, jadi kami hanya dapat berbahasa isyarat. Namun hal itu bukan satu hambatan, pada malam itu kami dapat bersekutu dan berdoa bersama-sama. Ia mendoakan saya dan keluarga saya dan saya mendoakan keluarganya. Belakangan saya mengerti, bahwa Pak Pendeta mengundang saya tinggal bersamanya karena ia ingin agar saya dapat meluangkan waktu bersama anaknya yang seperti saya juga sangat berminat dengan musik. Semoga dalam interaksi singkat bersama anaknya, saya berhasil menjadi terang baginya.

Di desa itu saya juga ditemukan dengan seorang saudara yang bernama Yau Meepun, ia juga seorang pemain musik seperti saya, dan kami mempunyai kesempatan untuk saling sharing walaupun bahasa Inggrisnya kurang lancar. Saat ia mengetahui bahwa saya akan berangkat keesokan harinya, ia langsung menanggalkan jas-nya yang dibuat dari kain adat dan langsung memberinya kepada saya. Saya kaget karena pertama kali dalam hidup saya mengalami keadaan di mana orang secara spontan memberikan pakaiannya kepada saya. Walaupun ini hal yang kecil tetapi saya diingatkan lewat hal ini untuk bersikap sederhana dalam mengasihi. Jadi saya juga memberikannya kepadanya kemeja saya yang masih bagus itu.

Setelah misi singkat itu, saya langsung terjun kembali ke dalam kesibukan seharian saya. Tidak lama setelah itu saya menerima sepucuk surat dari saudara Yau! Saya kaget karena saya yang seharusnya mengutus surat kepadanya tetapi ia terlebih dahulu mengingat saya. Dibutuhkan keberanian yang luar biasa baginya untuk menulis dalam bahasa Inggris, besar kemungkinan surat pertama yang ditulisnya dalam bahasa Inggris, suratnya singkat, penuh dengan ejaan dan tatabahasa yang salah, tetapi saya sangat tersentuh dengan kesederhanaan dan kasihnya. Ia menulis, “Saya selalu mendoakan Anda…” Seorang saudara yang berada begitu jauh dari saya, yang dulunya tidak saya kenal tetapi ia mendoakan saya. Terima kasih Tuhan. Begitu indah… dan saya juga merasa bersalah karena ia juga bertanya, “Setelah Anda kembali ke tempat Anda, apakah Anda mendoakan saya dan orang-orang di desa saya?” Saat membacanya saya tersentak… ya Allah, saya sudah terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan saya dan sudah melupakan hal-hal lain yang lebih penting. Di manakah kasih saya bagi orang lain? Ini mengingatkan saya akan perintah Tuhan untuk “saling mengasihi seperti diri saya sendiri” dan tidak hanya sibuk dengan pekerjaan yang harus saya lakukan, sekalipun itu termasuk pelayanan.

Sekitar beberapa bulan yang lalu, saya juga mempunyai kesempatan untuk mengunjungi sebuah desa di Sarawak, nama desa itu Kampung Biawak. Walaupun kami hanya berada di situ selama seminggu tetapi kami mempunyai kesempatan untuk menjalin persahabatan dan persekutuan yang indah bersama anak-anak Tuhan di sana. Setiap hari kami mengunjungi rumah-rumah yang berbeda untuk beribadah bersama.

Pada suatu malam, tibalah giliran kami mengunjungi Sdr Nora bersama 4 anak-anaknya yang masih kecil. Saat kami mau mendoakan dia, ia mencurahkan semua yang digumulinya selama ini. Ia mensharingkan kepada kami bagaimana sejak ia mengenal Yesus, suaminya meninggalkan dia dan bukan hanya itu, tetapi suaminya karena marah juga membakar semua akte kelahiran anak-anaknya. Buat pertama kali saya mengerti apa yang dikatakan firman, “Menangislah bersama-sama orang yang menangis.” Saya merasakan sesuatu yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Masalah yang saya hadapi sebenarnya tidaklah seberapa dibandingkan dengan orang lain. Di desa itu saya juga sempat berteman dengan seorang bocah kecil. Saat ditanya berapa saudaranya, ia memberitahu saya bahwa ia mempunyai 30 saudara. Bingung saya! Tetapi setelah saya bertanya lebih lanjut saya diberitahu bahwa ibunya sudah meninggal sejak ia berumur 1 tahun dan ayahnya sedang sakit berat. Tidak ada yang memperhatikan dia maka ia menganggap semua orang sebagai saudaranya. Malam itu saat saya berdiam diri di hadapan Tuhan saya memikirkan tentang anak ini, dan hati saya merasa begitu sedih. Begitu banyak penderitaan yang dialami oleh orang lain, dan saya merasakan saya seorang yang begitu egois. Saya tidak tahu apa yang dapat saya lakukan kecuali sesungguhnya menyerahkan penderitaan orang-orang ini ke dalam tangan Tuhan.

Dalam misi singkat seperti ini, memang kalau mau diukur, kami tidak dapat berbuat sesuatu yang besar buat Tuhan. Yang dapat kami lakukan hanyalah membawa sedikit penghiburan melalui persembahan lagu, doa dan sharing bersama. Saya tidak pasti apa kesan yang kekal dalam hati orang yang kami layani, tetapi yang nyata, sayalah yang mendapatkan hal-hal yang sangat bermakna bagi kehidupan rohani saya. Lewat interaksi saya bersama anak-anak Tuhan di daerah-daerah terpencil ini, saya diajar Tuhan untuk memiliki hati yang lebih lebar, yang dapat berempati dan turut merasakan penderitaan umat-Nya di tempat lain. Seringkali karena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan bergulat dengan persoalan pribadi, mata kita cenderung hanya tertuju pada diri sendiri dan gagal memandang ke luar. Ini salah satu alasan mengapa saya merasakan melakukan misi singkat ke daerah-daerah sangat membantu saya untuk tetap memfokuskan diri pada persoalan yang sesungguhnya penting dalam hidup ini dan tidak hanya berkutat dengan masalah dan problema pribadi.

 

 

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.

Sumber: cahayapengharapan.org

Leave a Comment