Setahun Penuh Aku Menganggur Akibat Salah Memilih, Inilah Kisahku Mencari Pekerjaan

Oleh Claudya Elleossa

Saat aku nekad memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebelumnya yang super nyaman, aku pikir ini adalah sebuah strategi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku ini sesungguhnya adalah wujud pelarianku dari panggilan Tuhan. Keputusanku yang salah ini membuatku menganggur selama setahun. Namun, aku juga mendapatkan hikmah yang berharga di balik semua ini. Berikut adalah kisahku.

Ketika Tuhan seolah-olah mempermainkanku dengan harapan palsu

Menjadi seorang pendidik bukanlah cita-citaku. Aku merasa ada banyak peluang yang dapat aku ambil di masa mudaku ini. Alasan itulah yang membuatku memutuskan untuk mengundurkan diri dari profesiku sebagai seorang guru dan mencoba ladang pekerjaan lain.

Di bulan-bulan awal aku menjadi pencari kerja, aku mendapatkan sebuah panggilan dari sebuah perusahaan idamanku. Aku begitu senang mendapatkan panggilan tersebut. “I make my dream come true!” Begitulah yang aku ingin segera tuliskan di segala akun media sosialku. Aku pun berhenti memasukkan lamaran kerja di tempat lain dan menunggu jadwal wawancara di perusahaan idamanku dengan antusias sembari mempersiapkan segalanya.

Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu. Telepon yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Akhirnya aku harus mengakui bahwa harapanku telah kandas. Itu menjadi momen terendahku saat itu sejak aku menjadi seorang pencari kerja. Aku berpikir, lebih baik jika panggilan awal itu tidak pernah ada. Ini adalah kabar PHP alias Pemberi Harapan Palsu! Tanpa kabar itu, mungkin aku masih terus giat mencari pekerjaan di tempat lain tanpa terbuai ke langit ketujuh.

Dalam perjalanan iman yang kita lalui, mungkin kita pernah mengalami hal seperti yang kualami: Masa-masa ketika kita merasa Tuhan seolah-olah sedang mempermainkan kita dengan memberikan harapan yang pada akhirnya tak pernah terwujud. Hal yang mungkin membuat kita menjadi marah kepada-Nya. Kata-kata “jadilah padaku seturut kehendak-Mu” pun menjadi sebuah hal yang begitu berat untuk kita aminkan. Namun sesungguhnya, Tuhan tak pernah mempermainkan kita. Bagaimanapun, Tuhan itu baik. Seringkali yang menjadi kesalahan kita adalah ketika kita mengukur kebaikan Tuhan berdasarkan kenyamanan hidup kita.

Kegagalan demi kegagalan

Waktu pun berlalu dan aku akhirnya pulih dari kekecewaan yang kualami. Fokusku bergeser ke mimpi-mimpi yang lain. Ora et labora (berdoa dan bekerja) aku terapkan maksimal setiap saat untuk membuat mimpiku jadi nyata. Sayangnya, yang terjadi justru adalah kegagalan demi kegagalan.

Suatu siang, aku hanya terdiam sendiri, duduk, dan berdoa: Apa makna di balik semua ini? Di antara berbagai lamaran yang kumasukkan, hanya sedikit yang berlanjut pada panggilan. Sekalinya aku lolos sampai ke tahap akhir, aku juga gagal di tahap akhir tersebut. Aku merasa bodoh dan kacau. Aku tidak mengerti mengapa aku gagal terus-menerus. Doa dan usaha agaknya tak kurang aku haturkan. Aku pun menjadi kecewa, dan lebih buruknya, aku mulai meragukan diriku sendiri dan juga meragukan Tuhan yang aku sembah. Apa yang salah dari diriku dan apa yang mungkin telah aku lewatkan? Ini menjadi pertanyaan yang kutanyakan kepada diriku.

Mengapa aku tidak ingin menjadi guru

Dalam hening, aku mencoba memutar kembali perjalanan pencarian kerja ini. Sebuah proses yang normalnya dialami oleh para fresh graduate. Tepat setelah aku mengundurkan diri dari profesi guru, tawaran pertama yang hadir adalah tawaran untuk kembali menjadi guru namun di sekolah lain dan untuk jenjang yang berbeda. Aku menolak dengan santun saat itu, karena aku tahu jelas rencanaku ke depan. Kembali menjadi guru bukanlah sebuah pilihan bagiku.

Namun sore itu aku berpikir mengapa tawaran menjadi guru itu dibukakan kepadaku? Jangan-jangan apa yang paling aku ingkari merupakan petunjuk Tuhan yang paling nyata.

“Ah, tidak mungkin!” aku buyarkan pikiranku. “Aku tidak ingin kembali menjadi guru,” tegasku kepada diriku sendiri.

Namun meskipun pikiranku menolak untuk kembali menjadi guru, pengalamanku dahulu ketika menjadi guru terus terlintas dalam pikiranku. Aku harus mengakui bahwa pengalamanku dahulu ketika aku menjadi guru selama 16 bulan merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa. Banyak hal indah yang terjadi selama masa itu yang mungkin baru aku sadari: dicintai banyak murid dan dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Itu adalah hal yang indah! Lalu, mengapa aku ingin beralih profesi?

Aku pun mulai menemukan alasan sebenarnya yang membuatku malu menjadi guru. Aku teringat ketika kekasihku mengatakan dengan jujur bahwa ayahnya menginginkan seorang menantu dengan pekerjaan yang keren. “Oke, waktunya cari pekerjaan yang lebih kece,” itulah yang kupikirkan saat itu, demi menjadi menantu idaman sang calon mertua. Sebuah keputusan yang aku ambil semata-mata untuk menyenangkan orang lain dan dipandang baik oleh mereka. Panggilan Tuhan atas diriku pun kuabaikan.

Paradigma bahwa menjadi guru bukanlah hal yang keren semakin tertanam saat aku melihat teman-teman sejurusanku yang memiliki berbagai pekerjaan bergengsi. Seketika aku malu, merasa kecil, dan terkesan gagal menjadi seseorang yang layak dibanggakan. Kenyataannya, di negara ini atau mungkin masih banyak negara lain, profesi guru bukanlah hal yang bergengsi.

Aku yakin, dalam hidup kita, kedaulatan Tuhan selalu melingkupi kita. Aku meyakinkan diriku bahwa Tuhan tidak pernah berniat jahat. Aku pun percaya Dia memiliki alasan ketika menempatkan anak-anak-Nya di mana pun mereka berada. Jangan-jangan, ini adalah cara-Nya mengingatkanku yang keras kepala ini untuk setia kepada panggilan-Nya daripada kepada keinginan dan rencanaku sendiri.

Meskipun hatiku bahagia ketika menjadi guru, rasa malu akan pandangan orang lain kepada diriku juga masih mengganggu tidur lelapku. Aku masih berusaha mencari alasan bahwa aku tidak harus kembali menjadi guru. Di tengah keberdosaanku, aku masih percaya bahwa ada ladang lain selain pendidikan yang bisa aku garap.

Sembari memikirkan tentang apa arti panggilan, aku teringat akan seorang alumni persekutuan kampus yang pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa mengelak dari panggilan kita yang sebenarnya. Melalui belokan-belokan yang tajam sekalipun, Tuhan bisa menarik kita kembali ke ladang yang Dia siapkan, enak atau tidak enak bagi kita.

Aku tidak meragukan kata-katanya. Satu hal yang masih sulit untuk kuterima adalah jika panggilanku ternyata di bidang yang dianggap tidak keren dan tidak menghasilkan banyak pundi rupiah. Aku pun tertawa miris ketika menyadari bahwa meskipun aku sering mengingatkan orang lain untuk taat, aku sendiri pun sulit melakukannya.

Belajar memilih untuk taat

Setelah perenungan berakhir, aku berusaha menguji hipotesis bahwa aku memang dipanggil Tuhan di dunia pendidikan. Tidak baik menjadi manusia yang hanya terus berpikir tanpa bertindak. Kevin DeYoung, dalam bukunya “Just Do Something”, mengatakan bahwa kita perlu bertindak untuk terus memperjelas apa kehendak-Nya bagi kita. Jangan hanya duduk diam merenung. Aku pun belajar memilih untuk taat dengan melamar ke beberapa sekolah. Setiap hasil yang keluar aku serahkan kepada Tuhan untuk membimbingku pada keputusan yang harus kuambil selanjutnya.

Pertama kalinya dalam 9 bulan, strategiku berjalan mulus. Upayaku menguji hipotesis tersebut menunjukkan titik terang. Empat dari enam sekolah yang aku lamar merespons dengan sangat baik. Bagiku, ini adalah petunjuk dari Sang Pencipta. Antara galau, malu, dan senang berpadu menjadi satu. Aku juga merasakan damai sejahtera, perasaan yang khas hasil dari tindakan ketaatan. Di manapun aku ditempatkan oleh-Nya, aku ingin menjalaninya dengan kemantapan hati karena aku tahu ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh-Nya.

Sebenarnya, kembali menjadi guru bukanlah akhir yang aku bayangkan. Masih terselip perasaan malu karena aku kembali menjadi guru. Tapi jika keputusan kembali menjadi guru adalah sebuah bentuk ketaatanku kepada Tuhan, aku akan menanggung segala risikonya. Pandangan miring orang lain akan diriku aku terima dengan kerendahan hati. Dari awal memang ada andil ketidaktaatan dan kesombongan yang kutunjukkan. Wajar jika aku harus menanggung konsekuensi dari kesombonganku tersebut.

Setelah perjalanan yang begitu panjang dan membosankan ini, sampailah aku pada titik di mana aku harus mengambil keputusan. Sebuah pemikiran berikut menolongku dalam mengambil keputusan. Terlampau sering aku menerima kebaikan di atas segala kelayakan, waktunya aku memberikan ketaatan di atas segala kenyamanan. Aku pun dikuatkan untuk taat kepada panggilan Tuhan bagi hidupku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali menjadi seorang guru.

Semua baik pada akhirnya

Ketika dihadapkan pada pilihan yang membingungkan, mungkin hal pertama yang perlu kita tanyakan kepada diri sendiri adalah, “Apa dan siapa yang harus kita utamakan?” Apakah itu rasa malu, gengsi, pendapat orang sekitar, atau Kristus? Yesus meminta kita untuk menyangkal diri hari lepas hari (Lukas 9:23). Sesederhana itu? Ya! Tidak mudah, tapi memang sederhana.

Perjalananku dalam mencari pekerjaan ini membuatku semakin mengenal Sang Pencipta. Dia adalah sutradara yang punya skenario terbaik melampaui segala rencana kita (Yesaya 55:8-9). Mengapa adegan ini terjadi dan mengapa adegan yang itu harus dihapus? Itu karena Dia tahu bahwa pada akhirnya, itulah yang terbaik.

Aku terkagum dengan jalan Tuhan yang Mahakreatif. Peta-Nya selalu jelas, namun kadang kacamata kita yang buram membuat kita tidak dapat membaca peta itu dengan baik. Atau sesekali Dia memang mengizinkan kita berpetualang di rimba, tak lain demi melatih ketahanan kita dan menjadikan diri kita menjadi pribadi yang lebih baik pada akhirnya.

Aku pun teringat akan kitab Ayub yang kubaca selama aku melalui proses ini. Di dalam kitab Ayub kita dapat menemukan kisah yang luar biasa indah, namun ada sebuah proses yang tidak mudah yang harus Ayub lalui. Di dalam proses tersebut, Ayub pun pernah mempertanyakan Pencipta-Nya dengan sedemikian rupa. Dia tidak memahami mengapa dia harus mendapatkan segala penderitaan yang dia alami. Dia pernah salah bersikap, namun akhirnya insaf. Aku bersyukur dapat mencicipi secuil dari ujung kuku pergumulan yang dihadapi Ayub. Semoga akhirnya aku (dan kita semua) dapat keluar sebagai seorang yang murni sama seperti Ayub, dan berujung pada kesimpulan: “Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

 

 

 

 

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber : www.warungsatekamu.org

Leave a Comment