Tuhan, Mengapa Aku Harus Masuk Sekolah Farmasi?

Oleh Lovesa Oktaviana, Bandung

Ketika anak-anak seusiaku dulu begitu antusias bercita-cita ingin menjadi dokter, aku malah sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di dunia kesehatan. Sewaktu kecil dulu aku pernah melakukan tes kesehatan, tapi dokter yang memeriksaku itu galak dan kasar sehingga aku takut untuk menjadi dokter. Tapi, yang lebih mendasar adalah aku ingin hidup bebas, sedangkan dalam pandanganku dunia kesehatan itu memiliki banyak aturan dan pantangan.

Tiba saatnya aku akan melanjutkan studi ke sekolah menengah atas dan aku mendaftar di sebuah sekolah swasta. Aku sudah merencanakan untuk masuk ke program IPS saja supaya saat lulus nanti aku bisa melanjutkan kuliah ke jurusan Sastra Prancis. Itulah tekadku dulu, dan aku sendiri pun tidak tahu nantinya akan bekerja sebagai apa. Aku hanya ingin mengikuti jejak ibuku yang waktu itu pandai berbahasa Prancis.

Saat waktu pendaftaran semakin dekat, ibuku membujukku untuk masuk ke sekolah farmasi. Ibuku berkata kalau sekolah farmasi itu belum banyak diminati orang sehingga saat lulus nanti pasti banyak orang yang membutuhkan lulusan farmasi. Aku tahu kalau sebenarnya itu bukanlah satu-satunya alasan ibuku membujukku. Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara sehingga aku punya tanggung jawab terhadap masa depan adik-adikku nanti. Jika nanti aku bisa bekerja mapan tentu aku dapat meringankan beban orangtuaku.

Aku tidak tahu jelas tentang dunia farmasi. Yang aku tahu sekolah farmasi itu nantinya mirip dengan sekolah kejuruan. Aku pun menurut bujukan ibuku untuk mendaftar. “Toh hanya mendaftar, lagian belum tentu juga diterima,” ucapku dalam hati. Aku masih mendambakan masa putih abu-abuku diisi di sekolah SMA umum, sehingga selain di sekolah farmasi aku juga mendaftar di SMA swasta lainnya.

Singkatnya aku mengikuti tes di dua sekolah tersebut. Aku tidak menaruh rasa curiga apapun karena setiap soal tes bisa kukerjakan dengan mudah. Aku yakin kalau akan diterima di SMA biasa, bukan di sekolah farmasi. Tapi, aku kaget karena hasil tes menunjukkan bahwa aku lebih direkomendasikan untuk masuk ke sekolah farmasi! Aku merasa tidak terima dengan hasil itu dan kupikir kalau ibuku telah menjebak dan menipuku.

Malam itu aku berdoa kepada Tuhan supaya aku bisa menggagalkan rencana untuk sekolah farmasi. “Masa aku harus menjalani sesuatu yang aku tidak suka?” doaku pada Tuhan. Tetapi, kemudian aku berpikir bagaimana jika seandainya doaku justru dijawab terbalik oleh Tuhan? Aku bingung harus berbuat apa.

Sembari menunggu pengumuman kelulusan, perlahan Tuhan membukakan pikiranku tentang masa depan. Aku belajar untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia farmasi, tentang peluang dan tantangannya hingga aku menyadari bahwa melanjutkan ke sekolah farmasi juga bukanlah pilihan yang buruk. Aku menyadari bahwa dulu aku bukanlah orang Kristen yang sungguh-sungguh. Aku belum mengalami lahir baru, tidak terlibat pelayanan, dan hanya jemaat simpatisan. Aku belum memahami indahnya panggilan Tuhan. Aku masih berfokus pada diri sendiri karena aku belum jadi orang yang peka.

Hari yang ditunggu pun tiba dan aku harus menerima kenyataan kalau hasil final dari tes itu menunjukkan aku diterima di sekolah farmasi. Perasaanku campur aduk, entah aku harus merasa senang atau sedih. Aku tidak protes kepada ibuku, tapi berdiam diri sejenak dan bertanya dalam hati apakah aku siap untuk menjalani hari-hariku nanti.

Di masa awal sekolah aku berjuang membuat diriku terlarut dalam ritme sekolah farmasi yang padat. Aku tidak terlalu suka pelajaran-pelajaran yang diberikan dan juga sering mengeluh karena jam sekolah yang dimulai pukul 07:15 dan baru berakhir pukul 17:00 setiap hari! Ketika hasil ujian tengah semester keluar, nilaiku hanya pas-pasan. Melihat nilai itu, aku menjadi khawatir.

Sekolah tempatku belajar termasuk dalam sekolah unggulan yang memiliki segudang peraturan ketat. Ketika nilai-nilaiku tidak mencapai standar yang ditetapkan sekolah, besar kemungkinan nanti aku akan dikeluarkan. Terlepas dari ketidaksukaanku dengan dunia farmasi, aku teringat perjuangan kedua orangtuaku yang membiayai sekolahku dengan susah payah. Bagaimana perasaan mereka jika nanti aku dikeluarkan dari sekolah? Aku tidak boleh egois. Hanya karena aku tidak suka farmasi bukan berarti aku bisa bertingkah semau diriku sendiri.

Aku belajar untuk yakin bahwa Tuhan punya rencana. Dengan berdoa, aku datang dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Tuhan membuka pandanganku tentang dunia farmasi. Aku tahu bahwa Dia menempatkanku di sekolah ini bukan semata-mata karena aku adalah anak pertama yang nanti harus segera mendapatkan pekerjaan, tapi lebih dari itu, Tuhan ingin aku melayani Dia.

Saat aku mulai menikmati kehidupanku sebagai seorang siswa farmasi, aku menyadari bahwa menjadi seorang farmasis itu adalah pekerjaan yang mulia. Seorang farmasis dituntut untuk teliti, karena kesalahan sedikit saja ketika menerjemahkan isi resep dokter bisa berakibat fatal! Tapi, farmasis tidak hanya berurusan dengan obat, bisa juga berinteraksi dengan orang-orang dan memberi konsultasi.

Dari sinilah aku belajar bahwa terkadang yang orang butuhkan bukanlah obat jasmani semata, tapi juga obat rohani. Amsal mengatakan kalau hati yang gembira adalah obat yang manjur (Amsal 17:22). Aku bisa memberi mereka obat rohani dengan menjadi teman curhat mereka. Sikapku ketika melayani pasien mungkin akan mempengaruhi kesembuhannya juga. Ketika pasien yang kulayani merasa puas dan gembira, tentu itu akan membantu mengurangi sakitnya walaupun hanya sedikit.

Akhirnya aku menemukan jawaban dari pergumulanku selama ini, yaitu Tuhan mau aku melayani Dia lewat pasien-pasien yang kelak akan kutemui dalam pekerjaanku.

Tiga tahun studi di sekolah farmasi memberiku gelar AA (Asisten Apoteker) di belakang namaku, dan itu membuatku bersyukur karena Tuhanlah yang membawaku ke sana. Singkat cerita, setelah tamat dari sekolah farmasi, aku melanjutkan studi sarjanaku di Sekolah Tinggi Farmasi di kota Bandung dan sekarang kembali melanjutkan studi ke jenjang profesi apoteker.

Seringkali apa yang kita inginkan seolah tidak senada dengan apa yang Tuhan inginkan. Tetapi, percayalah bahwa ada sukacita ketika kita mau hidup di dalam rencana-Nya. Sekalipun awalnya mungkin terasa berat, tetapi kelak ketika kita setia menjalani panggilan-Nya, suatu saat kita akan beroleh sukacita dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mengapa yang kita ajukan.

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

 

 

 

 

Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:

Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. 

Sumber : www.warungsatekamu.org

Leave a Comment