Kejadian ini berlangsung sekitar setahun lalu di kota Apel, tepatnya di lokasi sebuah gereja. Saya masih belum genap menutup pintu mobil dan beranjak, seorang aktivis gereja menegur dan tanpa banyak jeda berkomentar soal figur saya yang tak ubahnya anak SD. Seakan tersambar petir, ucapan itu cukup menghentak tapi saya pilih untuk mengabaikannya.
Langkah kaki saya berlanjut hingga tiba di pintu gereja. Seorang penyambut jemaat menyodorkan telapak tangannya untuk mengajak saya bersalaman. Celetukan yang tak jauh berbeda kembali saya dengar. Kali ini tentang fisik saya yang menurutnya menjadi semakin kurus. Kalimat itu bahkan ditutup dengan keseriusan ucap bahwa saya terlihat pucat dan tak ubahnya orang sakit. Menyengir aneh, hanya itu yang bisa saya lakukan toh secara objektif berat badan saya justru sedang naik.
Beberapa meter kemudian, penyambut jemaat yang lain menghampiri. Mulai waspadalah saya setelah dua kali mendapatkan jackpot celetukan. Tapi ternyata hal yang sepenuhnya berbeda kali itu. Dia dengan jabatan tangan yang mantab berkomentar bahwa penampilan saya makin segar. Hal yang aneh bukan?! Hanya berjarak beberapa meter dengan fisik yang masih sama persis namun dua komentar bertolak belakang yang terlontar.
Dari kejadian itu saya agaknya paham bahwa perkataan kita sangat dipengaruhi dengan kebiasaan kita menilai sesuatu. Serupawan apapun, seseorang dapat saja menjatuhinya sebuah komentar buruk, karena memang komentar tersebut dititikberatkan pada hal yang kurang baik. Sebaliknya, sesederhana apapun penampilan orang lain, seseorang yang sudah terbiasa berfokus pada ketulusan akan dapat saja menemukan sesuatu yang baik dan layak dipuji. Sekali lagi, ini tentang kebiasaan. Sebuah mata dan lidah yang terus harus dilatih.
Kedua saya hanya bergumam heran, apakah layak komentar senegatif itu mencuat dari mulut seorang penyambut jemaat gereja. Apa yang kita perkatakan seharusnya sinkron dengan jati diri dan posisi kita, itulah poinnya! Terlepas dari apa posisi atau profesi kita, hakikatnya adalah kita merupakan anak terang! Berarti sudah seharusnya kita mencerminkan terang yang lembut itu lewat lidah kecil ini.
Amsal 12:18: “Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan”
Terakhir, dari kejadian yang masih sama saya memperkirakan apa efek dari rangkaian kata-kata. Jika saja saya hanya jemaat tamu, maka seusai mendapatkan komentar senegatif itu maka saya mungkin akan berpikir ulang untuk tetap beribadah disana. Dari satu komentar mungkin sebuah hati sedang dipahitkan atau justru dipulihkan. Pertanyaannya kini adalah bagaimana kita sehari-hari, apakah perkataan kita membuat orang nyaman dan merasa disambut atau justru membuat mereka merasa tertolak?
Sebuah hari minggu pagi yang bagi saya sedikit menjengkelkan namun menyisakan pelajaran berharga.
Sumber: http://www.lenterahidup.com
DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Egkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.