Yang Aku Pelajari Ketika Retret Kampusku Dibatalkan di Hari H

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Kakak dan abang, mohon doanya karena retret kita terancam dibatalkan oleh dekanat karena tidak dapat izin kegiatan rektorat.”

Demikian pesan di grup WhatsApp penilik (pemerhati) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampusku. Pesan itu dikirimkan H-1 sebelum acara retret tahunan kampus kami berlangsung. Sebagai penilik PMK, aku merasa gelisah karena retret yang akan kami adakan ini adalah retret pekabaran Injil untuk mahasiswa baru dan juga merupakan program kerja terbesar dalam PMK kami. Aku mengikuti kabar-kabar terbaru melalui informasi yang dibagikan di grup WhatsApp oleh junior-juniorku yang masih berada di kampus. Akhirnya pokok masalahnya ditemukan, yaitu ada miskomunikasi antara pihak rektorat (pihak universitas), dekanat (pihak fakultas), dan badan kemahasiswaan (seperti BEM) terkait perizinan acara untuk mahasiswa baru yang akan dilangsungkan di luar kampus.

Di tahun-tahun sebelumnya, kami selalu membuat acara retret untuk mahasiswa baru cukup dengan meminta izin kepada dekanat, tanpa perlu ke rektorat. Bukan hanya PMK-ku yang membuat acara retret, tetapi organisasi keagamaan lain pun melakukan perizinan dengan cara yang serupa. Namun tiba-tiba di tahun itu kami diwajibkan meminta surat izin kepada rektorat minimal H-7 sebelumnya kegiatan itu dilangsungkan. Malangnya, peraturan ini luput disosialisasikan oleh pihak berwenang (di mana sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang siapa yang paling berkewajiban mensosialisasikan peraturan ini), sehingga akhirnya yang menjadi korban adalah para panitia yang sudah mempersiapkan acara selama berbulan-bulan. Kami dipaksa membatalkan, atau mengundur acara yang sudah kami persiapkan sejak lama dan menelan biaya puluhan juta hanya karena surat izin kegiatan yang tidak pernah kami tahu.

Pantang menyerah, keesokan harinya tepat di hari-H, para pengurus PMK dan alumni berjuang untuk berdialog dengan pihak dekanat. Kami juga menghubungi pihak rektorat, dosen, alumni yang berpengaruh, atau siapa saja yang sekiranya bisa membuat rektorat dan dekanat luluh dan mengizinkan kami melangsungkan acara dengan segala konsekuensinya. Dari pagi hingga malam menjelang, kami berdoa dan berusaha. Tapi, hasilnya nihil. Pihak kampus, baik rektorat maupun dekanat bersikukuh melarang acara kami dilangsungkan. Pada pukul 18:00, diumumkanlah kepada seluruh peserta bahwa acara retret diundur sampai waktu yang belum ditentukan. Bus-bus sudah datang, konsumsi sudah disiapkan, dan barang-barang sudah dikumpulkan, namun kami batal berangkat.

Diliputi kekecewaan

Seketika kami semua, orang-orang yang terlibat mengurusi retret dan sudah berkumpul di titik kumpul merasa sangat terpukul dengan keputusan ini. Kami kaget, kecewa, sedih, bahkan marah. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Mahasiswa baru yang juga sudah datang berkumpul akhirnya kembali pulang dengan perasaan sedih dan kecewa. Banyak dari mereka lalu menyemangati kakak-kakak seniornya. Dalam kondisi yang begitu kalut, kami lalu memutuskan untuk berdoa bersama.

“Di saat badai bergelora, ku akan terbang bersama-Mu,
Bapa, Kau Raja atas semesta, ku tenang s’bab Kau Allahku.”

Lagu di atas kami nyanyikan sambil bercucuran air mata. Saat itu aku bertanya dalam hati, jika Allah berkuasa, mengapa Dia membiarkan peristiwa yang tidak menyenangkan ini terjadi kepada kami, apalagi kepada adik-adik kelasku yang menjadi panitia dan pelayan di retret itu? Mereka sudah bersusah payah menyiapkan acara selama hampir tiga bulan. Seksi acara mencari tema, menghubungi pembicara dan pelayan ibadah, mempersiapkan permainan outbound, membuat buku acara, dan memastikan latihan dilaksanakan seminggu sekali. Seksi perlengkapan harus kesana kemari mencari dan mensurvei tempat dan kendaraan yang kan dipakai. Dan, seksi dana harus mencari uang puluhan juta untuk memenuhi kebutuhan retret.

Sebagai senior yang dahulu pernah berada di posisi mereka, aku tahu benar jatuh bangun persiapan retret ini. Mulai dari pelayan yang susah diajak latihan, percetakan yang tiba-tiba mengundur waktu pencetakan buku, hingga dana yang belum juga terkumpul. Sementara mahasiswa lain menikmati liburan semesteran, kami panitia harus bolak-balik ke kampus untuk rapat dan mempersiapkan retret tersebut. Namun, tiba-tiba di hari H, dengan “mudahnya” ada pihak lain yang menghancurkan semua perjuangan mereka. Aku sangat sedih melihat kondisi setiap adik yang terpukul dengan kenyataan ini. Namun seketika aku diingatkan dengan sebuah Mazmur yang berbunyi demikian:

“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya” (Mazmur 126:5-6).

Walau air mata mengalir di pipiku, aku merasakan penghiburan yang begitu indah melingkupiku. Aku terkenang dan terbayang tentang perjalananku dalam bersekutu bersama PMK di kampusku, terutama ketika aku menjadi pengurus di tahun 2014-2015. Pada tahun-tahun tersebut, aku merasakan betapa menantangnya pekerjaan di ladang Tuhan, begitu berbeda dengan apa yang aku bayangkan sebelumnya. Aku harus meluangkan banyak waktu untuk mempersiapkan pelayanan seperti ibadah Jumat dan doa siang, memonitor jalannya kelompok-kelompok kecil (kelompok pendalaman Alkitab), rapat koordinasi, dan berbagai aktivitas lainnya. Semua hal itu harus aku lakukan di tengah perkuliahan yang cukup berat, di mana tugas menumpuk dan mata kuliah yang kuambil terasa sulit. Namun, aku bersyukur Tuhan menganugerahiku kesempatan untuk melayani di PMK kampusku, sebab di dalamnya aku mengenal Yesus, dan bertumbuh dalam firman-Nya. Aku juga belajar artinya berkorban dan membayar harga, apa itu terbeban, dan bagaimana hidupku harus benar-benar menjadi berkat bagi lingkunganku.

Pelayanan ini jelas tidak mudah, namun pengenalanku akan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat menolongku untuk setia mengerjakan pelayananku, seperti kata-kata C.T. Studd (pendiri lembaga misi WEC International):

“If Jesus Christ be God and died for me, then no sacrifice can be too great for me to make for Him.”

“Apabila Kristus adalah Tuhan dan Dia mati bagiku, maka tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk kulakukan bagi-Nya”.

Pengorbanan yang kulakukan tidaklah ada yang sebanding dengan pengorbanan yang telah lebih dulu Yesus lakukan buatku.

Aku juga mengingat ketika aku lulus kuliah dan harus meninggalkan persekutuan di kampus, aku melihat adik-adik yang dulu kulayani telah bertumbuh menjadi pelayan-pelayan yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Generasi demi generasi berlalu, tantangan dan kesulitan datang silih berganti, namun kasih setia Tuhan terus menyertai persekutuan kami.

Melihat kasih Tuhan di balik peristiwa yang tampaknya buruk

Flashback pelayananku membuatku sadar bahwa retret yang dibatalkan tepat di hari H adalah kesempatan untuk kami melihat kasih karunia Tuhan bagi persekutuan kami. Kami mungkin tidak mengerti apa alasan di balik semua ini, namun ketika kami mempercayai bahwa Allah berdaulat di atas segalanya dan Dia tidak pernah salah, maka kami belajar untuk bertumbuh dalam iman. Dan, hal inilah yang aku saksikan ketika mendengar sharing dari beberapa adik persekutuanku ketika kami selesai berdoa. Aku melihat ada kedewasaan dalam menyikapi permasalahan yang kami hadapi bersama. Banyak dari mereka yang justru mengungkapkan syukur karena melalui peristiwa ini mereka belajar untuk bergantung pada Tuhan dan tidak mengandalkan diri sendiri. Mereka juga mengungkapkan keyakinan dan harapan mereka akan rencana Allah yang lebih baik dari yang mungkin mereka pikirkan.

Alih-alih berlarut dalam kesedihan, mereka berusaha saling menguatkan dan menghibur. Panitia dan pelayan ibadah kemudian langsung memikirkan solusi terbaik yang bisa diambil untuk menanggulangi peristiwa ini. Akhirnya diputuskanlah bahwa akan diadakan ibadah satu hari di kampus untuk mahasiswa baru agar mereka tetap dapat mendengarkan pemberitaan Injil. Fokus kami hanya satu: Injil bisa diberitakan, sambil terus berdoa ada mahasiswa baru yang setelah mendengar Injil dapat sungguh-sungguh percaya dan hidupnya diubahkan. Dua hari setelah peristiwa pembatalan itu, kami mengadakan ibadah sehari di kampus yang terdiri dari dua sesi ibadah dan sesi konseling. Puji Tuhan acara tersebut berjalan dengan baik dan banyak mahasiswa baru yang datang walaupun acaranya cukup mendadak. Kami bersyukur ada kesehatian yang terjalin antara panitia, pelayan, dan mahasiswa baru. Tapi yang paling membuat kami bersyukur adalah karena melihat banyak mahasiswa baru yang menikmati sesi ibadah dan konseling yang diadakan.

Secara tidak langsung, kesulitan ini mengikat kesatuan kami. Kami kembali mengingat bahwa pelayanan ini adalah milik Tuhan, dan kami hanyalah pekerja-pekerja upahan di ladang-Nya. Sebagai pemilik, Allah berdaulat untuk melakukan apapun. Kami hanya perlu taat dan percaya akan kehendak-Nya. Setelah diingatkan tentang hal tersebut, kami mulai merasakan damai sejahtera dan kembali bersukacita walau kondisi tidak menyenangkan. Hal ini membuatku merasa terharu dan bahagia, karena Tuhan mengizinkan kami untuk “naik kelas” dalam menghadapi tantangan ini.

Dari pengalaman ini aku makin bersyukur karena Tuhan berkenan menganugerahkan pertumbuhan bagi persekutuan yang di mana aku menjadi bagian di dalamnya. Lebih dalam, aku bersyukur Tuhan menganugerahkan persekutuan ini kepadaku. Sebuah persekutuan, yang kalau boleh aku meminjam kalimat temanku, adalah “cara Tuhan mengasihiku”.

Soli Deo Gloria!

Sumber: warungsatekamu.org

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment