4 Tanda Bahwa Tuhan Bukanlah Fokus Pertamamu

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Signs That God Isn’t Your First Love

Aku sudah lama menjadi orang Kristen, namun itu tidak membuat hidupku jadi lebih mudah. Dan, kuakui kalau aku masih jadi orang yang egois dan sombong. Kadang, sifat burukku itu membuatku merasa bersalah. Tapi, aku seringkali mengabaikannya dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidaklah seburuk apa yang kupikirkan.

Setiap hari aku bergumul untuk menempatkan Tuhan di posisi pertama di hidupku meskipun aku sudah tahu bahwa Dia mengasihiku (Roma 8:31-39), Dia setia kepadaku sekalipun aku berdosa (Hosea 2:14-15), dan Dia pun menjadikanku sebagai anak-Nya (Yohanes 1:12-13).

Meski begitu, tentu ada beberapa momen dalam hidupku ketika aku mencoba menjadikan hidupku “lebih berfokus kepada Tuhan daripada diriku sendiri”. Biasanya itu terjadi setelah aku merasa ditegur saat mempelajari Alkitab. Namun, momen-momen itu tidak bertahan lama; aku kembali mengendalikan diriku sendiri dan menempatkan Tuhan di belakang.

Dari pengalaman yang tidak aku banggakan ini, aku ingin membagikan kepadamu empat tanda apabila kita tidak menempatkan Tuhan pada posisi yang seharusnya. Dan aku juga mengundangmu untuk mengevaluasi diri apakah kamu secara sadar atau tidak telah melakukan hal yang sama.

1. Kamu mengikuti apa kata Alkitab… tapi kamu lebih taat pada kata dunia

Setiap hari kita dihadapkan dengan banyak keputusan—dari yang sederhana seperti baju apa yang akan kita pakai kerja, sampai kepada yang mengubah hidup seperti dengan siapa kita akan menikah. Meskipun kita tahu bahwa kita perlu melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Korintus 10:31), kita mengizinkan hidup kita diatur oleh pertimbangan-pertimbangan yang dunia berikan: apakah jurusan ini nantinya bisa memberiku pekerjaan yang baik? Akankah menikahi orang ini menjamin kehidupan finansialku? Apakah bersama orang ini bisa membuat karierku menanjak? Karena pertanyaan-pertanyaan itu, kita pada akhirnya memilih keputusan yang cenderung berpusat pada diri kita sendiri, sesuatu yang lumrah dilakukan dalam nilai-nilai dunia.

Namun, apabila kita sungguh mengerti Injil, kita melihat gambaran yang sangat berbeda tentang apa dan siapa yang dianggap penting oleh Tuhan. Dunia menyanjung mereka yang kaya, terkenal, berkuasa, dan mereka yang selalu bisa meraih posisi pertama. Namun, Tuhan memberkati orang yang miskin, orang yang terbuang. Tuhan peduli pada yang lemah, meninggikan yang rendah hati, dan menghargai mereka yang terbelakang. Injil memutarbalikkan segala yang kita ketahui.

Jika kita sungguh percaya kepada Yesus yang nilai-nilai-Nya berbanding terbalik dengan nilai-nilai dunia, cara hidup kita tentu berbeda dari cara yang dunia ajarkan. Maukah kita membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang Tuhan ajarkan? Maukah kita memberi dengan murah hati kepada yang miskin, menjangkau yang terpinggirkan, menolong yang sakit dan berkekurangan, dan menghargai mereka yang terbelakang—bahkan jika itu merugikan kita secara finansial, emosional, dan fisik?

2. Kamu peduli dengan apa yang dipikiran Tuhan… tapi tidak sebanyak apa yang dipikirkan orang lain

Beberapa tahun pertama di pekerjaanku, aku bekerja keras, dan aku merasa senang ketika pekerjaanku diapresiasi oleh bosku atau rekan sekerjaku. Aku tidak peduli jam kerja yang panjang, tapi aku sangat terganggu jika pekerjaanku tidak diapresiasi atau bosku merasa tidak senang kepadaku. Rasa frustrasi dan meragukan diri sendiri menghantuiku, bahkan setelah jam kerja berakhir dan aku tidak dapat memikirkan hal lainnya.

Meskipun aku tahu kalau aku seharusnya aku bekerja untuk Tuhan (Kolose 3:22-25), hatiku jauh lebih peduli untuk mendapatkan pengakuan dari tuanku di dunia. Bagi beberapa dari kita, mungkin itu bukanlah bos di tempat kerja yang berusaha kita senangkan, tuan duniawi kita bisa jadi pasangan kita, pacar kita, atau bahkan teman kita. Siapapun “tuan duniawi” kita, marilah kita mengingat dengan jelas bahwa yang terpenting adalah apa yang Tuhan pikirkan. Bagaimanapun, Tuhanlah pemilik hidup kita; Dia menciptakan kita, mengasihi kita, menyelamatkan kita, dan pada akhirnya nanti, juga menghakimi kita.

Baru-baru ini aku membaca sebuah buku berjudul “Not Yet Married” yang ditulis oleh Marshall Segal, penulis dan editor di DesiringGod.org. Dia menantangku untuk membingkai ulang perspektifku tentang pekerjaan. Dari delapan saran yang dia berikan, poin pertamanya adalah kita harus “bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan”. Alih-alih mencari pengakuan dan penerimaan dari tuan duniawi kita, kita harus lebih berfokus kepada apa yang membuat Tuhan semakin dimuliakan (1 Korintus 10:31, Matius 5:16).

Dan, itu semua berarti kita perlu memikirkan kembali apa artinya bekerja (atau kehidupan yang kita jalani) dan kesuksesan. Lalu, bagaimana jika kita tidak mendapatkan pengakuan atau apresiasi yang kita harapkan dari kerja keras kita? Jika kita mendapatkan kesempatan untuk menolong orang lain datang kepada Kristus di dalam aktivitas harian yang kita lakukan, kita telah mencapai prestasi yang jauh lebih bernilai.

3. Kamu peduli dengan sesamamu… tapi lebih mementingkan dirimu sendiri

Setelah hari kerja yang panjang, kita mungkin punya kecenderungan untuk melakukan “me-time”. Karena aku sudah bekerja sangat keras hari ini, aku ingin memanjakan diriku. Bagi beberapa dari kita, me time bisa berupa menonton film terbaru, pergi ke gym untuk berolahraga, atau sekadar duduk di bangku sambil menjelajah media sosial kita.

Kita tahu bahwa membaca Alkitab adalah kunci yang menolong kita mengenal Tuhan lebih dekat dan kita dipanggil untuk melayani gereja dan mengasihi mereka yang membutuhkan (Matius 25:31-40). Tapi, kita memberitahu diri kita bahwa semua hal itu baru bisa dilakukan setelah kita memenuhi semua kebutuhan diri kita dahulu. Hati kita sedih bukan karena ketidakadilan yang terjadi di dunia ini, tetapi karena seseorang yang telah mengganggu ruang pribadi kita dan membuat kita merasa tidak nyaman.

Aku merasa bersalah karena aku membatalkan janji pertemuan dengan teman-temanku yang sedang mengalami masa sulit karena aku tahu kalau itu akan memakan waktuku dan menguras emosiku. Aku tidak ingin menolong mereka pada saat itu.

Namun, Tuhan Yesus melalui perkataan dan perbuatan-Nya dengan jelas menunjukkan bahwa hidup kita bukanlah tentang diri kita sendiri. Salah satu bukti bahwa kita adalah pengikut Kristus yaitu kita bersedia untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti-Nya (Matius 16:24-26). Kita dipanggil untuk berkorban, menghargai orang lain di atas diri kita sendiri, tidak mencari kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain (Filipi 2:1-4). Lagipula, kasih Tuhan memampukan kita untuk mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:7). Dan jika kita hidup dalam kebenaran, aku berani mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi khawatir akan kebutuhan kita sendiri.

4. Kamu peduli akan dosa-dosa… tapi bukan dosamu sendiri

Sejak awal tahun ini, kelompok studi Alkitabku sedang mempelajari Kitab Hosea dan kami mendapati bahwa ketidaktaatan kepada Tuhan itu nilainya setara dengan perzinahan. Tapi, sejujurnya, kita biasanya tidak berpikir seperti itu. Maksudku, bagaimana mungkin sifat serakah sama nilainya dengan perselingkuhan? Apa kaitannya jika dibandingkan dengan tidur dengan pasangan orang lain? Namun, salah satu bahaya yang kita hadapi sebagai orang Kristen adalah kita berpikir bahwa diri kita lebih benar, atau kita berpikir bahwa kita lebih layak diselamatkan daripada teman-teman kita yang bukan Kristen.

Aku pernah beberapa kali tidak menyukai tindakan seseorang, atau kaget dan marah karena berita kejahatan yang kubaca di koran, atau bahkan aku pernah menyebut orang lain sebagai orang yang tidak punya harapan. Saat itu, aku menghakimi orang lain berdasarkan standarku sendiri. Aku lupa kalau aku pun orang berdosa yang sama-sama membutuhkan anugerah dan belas kasihan. Aku lupa bahwa Tuhanlah hakim yang utama dan setiap kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, aku bersyukur ketika ada keluarga atau temanku yang punya maksud baik, yang mau meluangkan waktunya untuk menunjukkan ketidakkonsistenan serta dosa-dosa dalam hidupku. Meski tidak menyenangkan, mereka meningatkanku bahwa aku membutuhkan Juruselamat, dan betapa baiknya tuhan yang telah memberikan anak-Nya untuk orang sepertiku.

Menuliskan keempat poin di atas telah menolongku menyadari bahwa solusi untuk masalahku adalah bukan dengan menyelesaikannya dengan kekuatanku sendiri. Aku butuh berdoa dan meminta Tuhan untuk menolongku bertumbuh dalam memahami keindahan, rahmat, dan kebenaran-Nya. Tuhanlah yang telah membuatku melihat (Yohanes 6:65) dan hanya ketika aku melihat betapa mulianya Tuhan, segala sesuatu di sekitarku akan tampak pudar. Aku pun berdoa hal yang sama untukmu.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment