5 Hal yang Menolongku Mengatasi Kebiasaan Menunda

Aku orang yang suka menunda. Ini adalah pergumulanku sejak lahir. Kelahiranku sendiri pun kutunda. Aku tidak bersiap pada posisi yang seharusnya pada saat ibuku hendak melahirkan—mungkin karena aku merasa terlalu nyaman di dalam sana—jadi, ibuku harus menjalani operasi Caesar.

Aku menunda pekerjaan dengan melakukan banyak “perencanaan” dan “penelitian”. Aku beralasan bahwa aku perlu memastikan segala sesuatu sudah siap lebih dulu sebelum aku mulai bekerja. Atau, dengan alasan, “Hidupku tidak berpusat pada pekerjaan”, aku akan memakai waktuku untuk mengobrol dengan teman-temanku, mendengarkan podcast, belajar memainkan lagu baru dengan ukulele, pergi berolahraga, bertemu dengan para sepupu … sampai batas waktu yang diberikan hampir habis. Begitu batas waktu mendekat, aku akan panik untuk menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu (biasanya hasilnya agak berantakan), lalu aku akan berkata pada diri sendiri, “Sebenarnya aku bisa melakukan hal ini dengan lebih baik. Lain kali aku berjanji tidak akan menunda-nunda lagi.”

Tetapi, aku mengulanginya. Aku melanggar janjiku sendiri lagi dan lagi. Kebiasaan itu bahkan sudah menjadi pola yang bisa ditebak dalam hidupku. Tanpa sadar aku pun mulai menganggap diriku sendiri memang tidak bisa menyelesaikan tugas tepat waktu—jadi aku pun tidak memperbaiki kebiasaanku menunda.

Jauh di dasar hati, sebenarnya aku benar-benar ingin menjadi orang yang produktif. Aku ingin melakukan pekerjaan yang memberi nilai tambah dan manfaat, dan aku yakin semua orang yang bergumul dengan kebiasaan menunda sebenarnya juga punya kerinduan yang serupa. Aku pun capek dengan diriku sendiri yang suka menunda. Mungkin terdengar ironis, tetapi begitulah kenyataannya.

Aku juga merasa perlu melakukan sesuatu dengan kebiasaan burukku itu karena aku diingatkan bahwa Kristus telah membebaskan kita dari belenggu dosa. Hidup kita telah ditebus-Nya dan menjadi milik-Nya. Demikian juga dengan waktu kita. Pencipta kita telah menempatkan kita di dunia ini untuk menggenapi tujuan-tujuan-Nya.

Berikut ini ada lima strategi yang kugunakan hingga saat ini untuk melawan kebiasaan menunda, semoga bisa menolongmu juga.

1. Berkata tidak kepada kebiasaan menunda.

Terkadang kita tidak menyadari kuasa yang Tuhan berikan bagi kita untuk berubah. Kita berdalih, “Aku tidak bisa mengubah kebiasaan menunda ini!” Namun, bukankah sebenarnya kita bisa berkata tidak kepada keinginan untuk menunda?

Menurutku sendiri, bisa. Katakan tidak kepada kebiasaan menunda dengan langsung menghentikan aktivitas yang bukan menjadi pekerjaan utama kita. Misalnya dengan menutup jendela Google Chrome yang sedang membuka 10 laman tentang berita politik, ekonomi, dan hiburan terkini. Memang topiknya menarik untuk dibaca—tetapi tidak untuk dibaca pada jam kerja!

Mintalah kekuatan dari Tuhan untuk melawan keinginan menunda. Berbicaralah kepada Yesus, ambillah waktu teduh untuk menjernihkan pikiran kita. Ingatkan diri sendiri, “Yesus tidak menyelamatkan aku untuk bermalas-malasan di tempat tidur dan menghindari tugas yang seharusnya dikumpulkan pada dua minggu lalu.”

Menghindari atau membiarkan kebiasaan menunda hanya akan membuat kita makin menunda. Hadapilah kebiasaan itu, namun jangan turuti kemauannya.

2. Memberi instruksi kepada diri sendiri.

Seringkali aku meluangkan waktu terlalu banyak untuk memikirkan apa yang hendak aku lakukan—dan tidak segera mulai melakukannya. Untuk berhenti melakukannya, aku belajar berbicara kepada diri sendiri.

Misalnya, suatu pagi aku mulai berpikir untuk menunda jadwalku untuk lari pagi: “Lima menit lagilah baru bangun… Cuacanya enak sekali untuk tidur… lari paginya besok saja…”

Aku akan memberi instruksi kepada diriku sendiri:
“Sudah waktunya bangun…. kamu tinggal duduk, pakai kaus kaki, pakai sepatu, keluar dari kamar. Ayo, kamu bisa… kita pergi lari ya… SEKARANG.”

Cara ini dapat menolong kita untuk berhenti berpikir terlalu banyak, dan mendorong kita melakukan pekerjaan kita dengan lebih cepat dan efektif. Strategi ini sangat menolong terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran, misalnya merapikan tempat tidur, mencuci pakaian, mandi, olahraga, dan sebagainya. Bila kita memiliki tugas yang lebih besar, kita dapat membagi-baginya lagi menjadi tugas-tugas yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk mulai dikerjakan—dan lebih mudah diselesaikan. Strategi ini juga sangat menolong jika kita selalu menemukan diri kita kembali pada kebiasaan buruk dan tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

3. Melibatkan teman untuk melatih rasa tanggung jawab kita.

Aku baru benar-benar menyadari betapa buruknya kebiasaan menunda ketika aku melihat dampaknya terhadap teman-temanku. Karena aku suka menunda dan bekerja setengah hati, jadwal mereka kacau balau, mereka menjadi stres dan harus meluangkan waktu ekstra untuk bekerja. Aku telah mengkhianati kepercayaan mereka dengan tidak melakukan bagianku tepat waktu. Aku sadar bahwa aku harus jujur mengakui kesalahanku dan memperbaiki diri.

Tuhan mengetahui bahwa kita, manusia, cenderung ingin menghindari tanggung jawab. Sebab itu, Dia menempatkan kita dalam komunitas, agar kita dapat saling mendukung satu sama lain. Daripada berjuang sendirian untk melawan kebiasaan menunda, kita dapat melibatkan teman-teman kita untuk membantu. Kita bisa minta mereka untuk mengingatkan kita. Latih diri untuk bertanggung jawab terhadap mereka. Ingatkan dirimu bahwa penundaanmu bisa menyakiti mereka.

“Percayalah kepada mereka yang percaya kepadamu” kata teman-temanku. Kita akan jatuh lagi dan lagi karena kita manusia, tetapi mereka yang benar-benar peduli akan selalu berada di dekat kita, karena mereka percaya kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Kita perlu melakukan hal yang sama bagi mereka.

4. Berhenti menjadi seorang pahlawan.

Aku mulai menyadari bahwa ketidakmampuanku menilai batas kemampuanku membuat aku cenderung membuat terlalu banyak janji dan komitmen yang kemudian tidak bisa kupenuhi. Ketika ada terlalu banyak hal yang harus kulakukan, aku menjadi kewalahan dan kesulitan memulai apa pun. Akibatnya, situasi tersebut membuatku harus pontang-panting di menit-menit terakhir.

Sebab itu, aku kemudian belajar untuk tidak lagi berpikir bahwa aku bisa melakukan segalanya. Aku punya waktu yang terbatas, punya tubuh yang terbatas. Aku belajar untuk membawa bebanku sendiri dan memastikan aku menyelesaikan pekerjaanku sendiri sebelum aku berusaha membantu membawakan beban orang lain. Fokuslah pada hal-hal yang benar-benar penting. Jagalah daftar kerja kita agar tidak terlalu panjang, sependek mungkin jika bisa. Pastikan setiap hal yang kita terima tidak akan membuat kita menunda pekerjaan yang menjadi tanggung jawab utama kita.

5. Menjauhkan hal-hal yang bisa memecah fokus kita.

Adakalanya pekerjaan utamaku tertunda karena ada banyak hal yang memecah fokusku. Salah satu hal yang kulakukan adalah mematikan telepon atau memasang mode flight saat sedang bekerja. Dunia akan baik-baik saja meski kita tidak menjawab telepon selama beberapa jam, dan teman-teman yang ingin mengobrol akan menemukan orang lain yang sedang tidak ada pekerjaan/waktunya senggang. Pada saat yang sama, kita sendiri bisa menyelesaikan sebagian pekerjaan kita. Situasi kita ini tentunya perlu dijelaskan kepada orang-orang di sekitar kita, supaya mereka memahami mengapa kita tidak mengecek telepon seluler kita pada jam kerja. Aku belajar bahwa teknologi seharusnya menjadi sarana yang berguna untuk menata hidup, bukan sesuatu yang mengatur hidup kita.

Tidak ada orang yang dapat membuat kita berhenti menunda kecuali diri kita sendiri. Sekarang mulai ada yang mengembangkan aplikasi ponsel untuk menolong kita lebih fokus dengan pekerjaan kita (misalnya: aplikasi Self Control). Namun, bila kita sendiri tidak punya niat yang kuat, aplikasi semacam itu pun tidak banyak menolong. Begitu juga desakan terus menerus dari seorang teman atau orangtua. Kita mungkin tidak akan pernah bisa menggunakan waktu kita dengan sempurna, namun kita dapat terus melatih diri menggunakan waktu kita seefektif mungkin. Mari belajar menjadi pengelola yang baik dan setia dari karunia-karunia Allah selama masa hidup kita yang singkat di bumi.

Aku ingin hidupku berarti—dalam setiap detik, menit, dan jam, dalam tiap harinya. Mari mulai mengoptimalkan jam-jam yang produktif dan saling mengingatkan satu sama lain.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment