Bagaimana Aku Akhirnya Memahami Orangtuaku

Oleh: Lim Chien Chong
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: How I Came To Understand My Parents)

Itu tidak adil!”

Kenapa aku selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain? Aku tidak sama dengan mereka!”

Sebagai seorang anak yang beranjak remaja, aku tidak pernah suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Tak jarang aku protes kepada kedua orangtuaku, karena aku merasa ditempatkan pada posisi yang tidak adil dan merugikan. Aku selalu merasa mereka membuat standar tertentu dan mengharuskan aku mencapainya.

Saat masih kecil (mungkin juga sampai sekarang), aku selalu lebih banyak dan lebih lantang bicara daripada kakak laki-lakiku. Aku tidak mengerti mengapa aku selalu mendapat mainan yang lebih cepat rusak, mengapa aku selalu lebih berantakan dari kakakku dan lebih sering dinasihati bahkan dimarahi ibuku. Aku merasa orangtuaku secara tidak langsung memberitahuku bahwa kakakku itu lebih baik, dan aku seharusnya berusaha menjadi seperti dia.

Lebih menyakitkan lagi, aku sepertinya selalu menjadi penerima “barang bekas” dari kakakku. Dia selalu mendapatkan baju baru, sementara aku harus puas memakai baju bekasnya. Memang orangtuaku membelikan juga barang-barang yang aku butuhkan, tetapi aku lebih banyak mengingat apa yang tidak mereka belikan dibanding apa yang mereka belikan untukku.

Sebenarnya ini sebuah ironi. Aku minta orangtuaku untuk tidak membanding-bandingkan aku dengan orang lain, tetapi di alam bawah sadar aku sendiri membanding-bandingkan diriku dengan kakakku, membanding-bandingkan orangtuaku dengan orangtua teman-temanku. Pernahkah kamu juga mengalami situasi serupa?

 
Ketika Situasinya Berbalik
Hari ini, aku sudah menjadi seorang ayah dari dua anak laki-laki. Bisa kamu bayangkan, aku sekarang merasakan sendiri apa yang dulu kulakukan terhadap orangtuaku. Setiap kali salah satu anakku berteriak, “Ayah, itu tidak adil!” aku merasa situasi itu adalah akibat kelakuanku di masa lalu. Sepanjang tahun-tahun yang telah kulewati, Tuhan terus menggunakan berbagai cara untuk mengajarku bahwa Dia adalah Allah yang benar dan adil.

Sisi baiknya, aku sangat memahami perasaan anak-anakku, karena itu persis apa yang kurasakan saat aku seusia dengan mereka. Dan aku menemukan diriku berusaha mengajak mereka melihat situasi itu dari posisi kami sebagai orangtua, sebelum mereka mulai mengeluh bahwa mereka diperlakukan tidak adil. Bersyukur bahwa mereka sepertinya mengerti. Seingatku pada usia mereka aku tidak punya pengertian sebesar itu.

Akan tetapi, sekalipun aku pikir caraku ada benarnya—ketika kita mengajak orang melihat sebuah situasi dari sudut pandang yang berbeda, orang itu akan bisa lebih memahami dan menghargai pendapat kita—aku pun menemukan bahwa pendekatan ini kadang sulit diterapkan dan bisa bersifat subjektif.

 
Pola Alkitabiah yang dapat Kita Terapkan
Bersyukur bahwa Allah memiliki pola keluarga yang jauh lebih baik, aturan emas tentang bagaimana seharusnya orangtua dan anak saling berelasi satu sama lain. Efesus 6:1-4 mengajarkan kepada anak-anak, “taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu–ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”

Bagian firman Tuhan ini juga mengajarkan kepada orangtua (terutama para ayah): “janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”

Dalam bagian Alkitab yang sejajar dengan itu, Kolose 3:21, Rasul Paulus mengingatkan para orangtua: “janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.”

Sebagai pengikut Kristus yang kini mengemban peran seorang ayah, aku berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan Allah. Aku juga belajar bahwa anak-anak dapat menolong kami para ayah untuk bisa menyemangati dan membimbing mereka dengan lebih baik. Bagaimana hal ini diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, mungkin berbeda-beda untuk setiap keluarga. Dalam keluargaku, aku membuka diri untuk menerima masukan dari anak-anakku, terutama jika mereka menyampaikannya dengan kasih pada waktu yang tepat, dengan penuh hormat dan kepedulian terhadapku sebagai ayah sekaligus saudara seiman mereka di dalam Kristus. Kedengarannya mungkin agak aneh, tetapi seperti itulah Alkitab menggambarkan hubungan kita. Sebaliknya, jika anak-anakku membuka diri untuk menerima masukan dariku tentang bagaimana mereka dapat menaati dan menghormatiku, aku akan sangat senang memberitahu mereka caranya (tentu saja aku akan melakukannya pada waktu yang tepat, dengan cara yang menunjukkan bahwa aku mengasihi dan menghargai mereka).

Sebagaimana halnya semua keluarga yang lain, interaksi dan dinamika dalam keluarga kita bisa dibilang kompleks. Kita tidak selalu mendengarkan dengan baik dan tidak selalu berbicara dengan sikap yang menghormati satu sama lain. Bahkan meski kita sudah berusaha melakukannya, kita bisa saja menggunakan kata-kata yang tidak tepat sehingga menyinggung orang yang kita ajak bicara. Entah kita menyadarinya atau tidak, kita sungguh sangat membutuhkan pertolongan dari Tuhan.

Dalam segala sesuatu, aku harus berdoa mohon hikmat untuk menjadi seorang ayah yang lebih baik dalam membimbing dan menyemangati anak-anakku, terlepas dari apakah sikap mereka mendukung hal itu atau tidak. Aku berdoa agar sekalipun aku tidak sempurna di mata anak-anakku, Allah akan menolong mereka untuk mempraktikkan firman-Nya, untuk menaati dan menghormati orangtua mereka.

Hari ini aku bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan untuk belajar apa artinya menjadi seorang ayah yang mencerminkan karakter Tuhan. Aku juga bersyukur diberi kesempatan untuk belajar menjadi seorang anak yang mencerminkan karakter Tuhan bagi orangtuaku yang sudah lanjut usia. Aku sadar bahwa aku pun perlu terus bertumbuh, sama seperti anak-anakku perlu bertumbuh.

 
Mencerminkan hubungan dalam Tritunggal
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (Yohanes 15:9-10).

Alkitab dengan jelas menunjukkan bagaimana Yesus taat kepada Bapa, dan bagaimana Bapa mengasihi Dia. Hubungan yang indah dalam Allah Tritunggal ini memberikan makna yang lebih dalam ketika aku menjalankan peranku sebagai anak bagi ayahku sekaligus sebagai ayah bagi anak-anakku. Motivasiku tidak hanya untuk mempertahankan keluargaku, tetapi untuk menjadi makin serupa dengan Tuhan, untuk menghidupi prinsip-prinsip hubungan yang ada di antara ketiga pribadi Allah Tritunggal. Pengalaman ini juga menolongku untuk lebih memahami hubungan yang dimiliki Yesus dengan Allah Bapa-Nya.

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment