Satu Hari Dalam Hidup Albert Lin
Albert Lin adalah misionaris yang melayani di Thailand beberapa tahun terakhir ini. Jika melihat ke belakang, apa yang sudah terjadi kelihatannya seperti tidak masuk akal. Inilah kisah tentang hari yang sangat bermakna dalam hidup Albert Lin.
“Kita akan mendarat di Bandara Internasional Ninoy Aquino. Selamat datang di Filipina!”, pengumuman bergema di pengeras suara. Saat itu pukul 19.30 di hari yang panas di Manila tahun 1988. Hongkong sudah sangat panas, tetapi ternyata cuaca di Manila masih lebih panas. Sebuah tempat yang terkenal dengan penculikan sedang menunggu Albert.
Tahun itu sangat penuh dengan kejadian besar bagiku. Di awal tahun, saya menjalani operasi untuk membuang batu ginjal. Bekas lukanya masih terasa menyakitkan. Bahkan jika saya memakai jeans, rasa sakitnya menjadi tak tertahankan. Sesudah keluar dari rumah sakit, saya menjalani Intermediate Training (IT) dari Gereja Christian Gospel Disciples Churches. Saat itu saya belum menjadi anggota gereja tersebut. Sekitar pertengahan IT, gereja tempat saya beribadah mengadakan kemah kerja internasional di Manila dan saya dikirim sebagai perwakilan tunggal dari gereja saya. Walaupun saya sedang mengikuti IT, saya masih belum menyadari arti pentingnya Matius pasal 5 yang sudah kami pelajari saat itu dalam hidup saya.
Sambil membawa bagasi saya berjalan meninggalkan pesawat, melalui petugas imigrasi dan bea cukai. Karena hanya membawa sedikit perlengkapan untuk mengikuti kemah 14 hari, saya dapat segera keluar dari gedung dan bergegas menuju kerumunan penyambut, mereka yang menyambut kedatangan saudara atau kenalannya. Di dalam bandara, suasananya terang dan sejuk karena AC bekerja dengan baik. Di luar gedung, suasana lebih gelap dan panas. Walaupun suasana penyambutan sangat hangat, namun kegelapan malam itu mengingatkan saya akan kekuatiran saya yang utama: Saya baru keluar dari rumah sakit dan belum pulih sepenuhnya, saya tidak lancar berbahasa Inggris, ini adalah kedatangan saya yang pertama di Filipina, dan saya sendiri, tiada sanak saudara di sini. Dengan iman saya berangkat, dengan iman saya bertualang.
Tidak ada kenalan satupun, saya berharap akan ada seseorang dari perkemahan yang datang menjemput saya. “Nah, seseorang di sana melambaikan kertas bertuliskan ALBERT LIN (nama saya).” Kemudian saya berjalan mendekatinya. Sebuah pagar panjang yang terbuat dari baja membatasi kami. Kami berjabatan tangan melalui celah di antara pembatas tersebut. Orang itu berkata dia akan menemui saya di ujung pagar, sekitar 10 meter lebih dari tempat kami berdiri.
Saya lalu berjalan ke sana. Di pintu gerbang, empat anak muda menjabat tangan saya dan menawarkan untuk membawakan bagasi saya. “Mereka cukup baik dan ramah,” pikir saya. Sesampainya di mobil, dua orang duduk di depan dan dua lainnya duduk di belakang mengapit saya. Sesudah mobil berjalan, kami mulai bercakap-cakap.
Orang yang duduk di kiri dan kananku menanyakan banyak hal. “Kurasa mereka sangat tertarik untuk mengenal saya lebih jauh lagi dengan mengajukan sekian banyak pertanyaan itu,” saya pikir. “Namun jika mereka berasal dari perkemahan, mengapa mereka menanyakan hal-hal yang seharusnya mereka sudah tahu jawabannya? Terasa aneh. Ya sedikit aneh“.
Lucu juga, mereka mulai merokok! Saya bertanya dalam hati, “Apakah mereka benar-benar orang Kristen? Apakah mereka…?” Saya berusaha menyingkirkan kecurigaan itu. Bagaimanapun juga, mereka masih muda. Maka saya hanya mencoba mengingatkan mereka bahwa merokok itu kebiasaan yang buruk dan merusak kesehatan. Mereka tertawa keras. Lalu mereka mulai berubah sikap. Pria yang duduk di kanan saya mencabut pisau. Saat itu, saya mulai yakin bahwa saya berhadapan dengan penjahat, bukan saudara-saudara dari perkemahan. Segera saya meminta pertolongan dari Tuhan. Sangat menakjubkan, di tengah situasi itu saya tetap merasakan ada damai di dalam hati. Saya sama sekali tidak menjadi takut. Ketika saya ingat-ingat kembali saat itu, memang benar-benar menakjubkan bahwa saya dapat begitu tenang menghadapi saat itu. Saya yakin bahwa Tuhan Yesus pasti ada bersama saya saat itu.
Kami berputar-putar melewati berbagai tempat. Satu ketika, mobil kami berhenti di lampu merah. Di sebelah kanan kami, tampak mobil polisi, saya dapat melihat beberapa polisi yang duduk di dalamnya. Ketegangan di dalam mobil kami meningkat, udara terasa sangat menyesakkan. Para penculik saya mangancam, “Jangan coba-coba melakukan hal yang bodoh“. Lalu pisaunya diarahkan ke pinggul kanan saya. Saya katakan pada mereka agar tidak perlu kuatir, saya tidak akan berteriak. Polisi-polisi itu tidak tahu bahwa saya sedang diculik, tetapi Tuhan Yesus tahu dan Dia bersama saya saat itu.
Lalu kami menyusuri perladangan yang sunyi, tidak ada orang di sekitarnya. Mereka mulai merampok saya. Saya tidak membawa banyak uang, saya coba untuk menjelaskan pada mereka tentang tujuan saya datang ke Filipina – yaitu kemah kerja gereja. Selama pembicaraan, karena bahasa Inggris saya yang buruk, mereka mulai kesal pada saya, terutama karena saya terlalu sering mengucapkan kata “pardon?” (tolong diulang – pent.). Mereka tampaknya sangat ingin membunuh saya hanya untuk masalah ini saja (diluar persoalan minimnya uang yang mereka dapat dari saya). “Bahasa Inggris yang buruk kadang-kadang bisa membahayakan. Saya harus belajar bahasa Inggris lebih baik lagi nanti,” kata saya dalam hati.
“Katakan yang sesungguhnya!” mereka menuntut, “Di mana uang kamu yang lainnya? Kamu pasti bawa banyak – kamu orang Hongkong!”
“Ada kertas di kantong saya yang akan menjelaskan bahwa saya datang untuk pertemuan jemaat. Ijinkan saya menunjukkannya pada kalian.” Pisau itu bergeser mendekat ke arah saya. Saya mengeluarkan kertas itu dan menunjukkannya pada mereka. Orang itu tidak peduli dengan kertas yang saya tunjukkan. Dia membentak saya, “Saya tidak mau kertas: saya mau uang!” Diremasnya kertas itu dan dijejalkannya ke dalam kaos saya. Saya pikir ini adalah hal yang sangat aneh, biasanya orang akan membuang kertas itu pada saat seperti ini. Karena tindakannya yang aneh itulah, saya yakin bahwa Tuhan Yesus mengendalikan situasi sepenuhnya. Saya menjadi sangat yakin bahwa saya tidak akan mati saat itu, lalu saya tersenyum.
Karena saya tersenyum, mereka menjadi semakin marah. “Oh, saya senyum pada saat yang salah!“, saya pikir. “Kenapa kamu senyum? Kenapa senyum? Kamu pasti sembunyikan uang yang lain!” lalu mereka mengeledah saya sekali lagi, lagi, dan lagi. Mereka tidak menemukan apa-apa, semuanya sudah saya serahkan pada mereka – passport, tiket, dompet, kamera dan arloji saya. Saya pikir saya tidak akan mendapatkan bagasi saya lagi.
Mobil kami berhenti di jalan yang gelap dan sempit. “Apakah mereka akan membunuh saya di sini?”, saya bertanya dalam hati. Saya disuruh turun dari mobil, namun saya lalu teringat pada palajaran yang saya dapat dalam IT sebelum saya berangkat ke Filipina. Tantang prinsip-prinsip dalam situasi yang luar biasa. Dan sekarang ada kesempatan untuk mempraktekkan pelajaran tersebut.
“Tunggu!” saya berseru sebelum saya turun dari mobil, “Masih ada satu hal yang bisa saya berikan.” Mereka sangat terkejut. Pistol mereka teracung ketika mereka melihat saya meraih sesuatu di balik baju saya. “Saya mau memberikan ini pada kalian,” saya berkata dengan tenang. Saya terus berdoa kepada Tuhan sepanjang kejadian itu, jadi, walaupun gelisah, saya tetap peka terhadap petunjuk Tuhan. Lalu saya mencopot sabuk saya. Sebuah sabuk kulit dengan kepala berwarna emas.
“Ini Goldlion. Merek yang sangat terkenal.”
Mereka berempat sangat terkejut. Mereka terdiam beberapa saat, seperti tersihir oleh tindakan saya menawarkan sabuk ini, mulut mereka ternganga.
“Ambillah! Ini Goldlion.”
Tersentuh oleh tindakan yang aneh dan membingungkan ini, salah satu dari mereka mengambil sabuk saya dan menyuruh temannya untuk mengembalikan passport dan tiket saya.
Lalu pria yang duduk di sebelah kanan saya turun dari mobil. Saya mengikutinya turun sambil memegang passport dan tiket saya. Mereka sudah mengambil semua barang saya yang lain. Pria yang turun bersama saya mengacungkan pistolnya ke arah saya. Tapi saya percaya – dalam Tuhan – bahwa dia tidak akan membunuh saya. Dan benar, dia tidak membunuh saya. Dia menyuruh saya untuk berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang dan tidak boleh berlari. Lalu mereka masuk ke dalam mobil dan pergi, meninggalkan saya di tengah perladangan yang tampaknya tiada batas ini.
Saya mulai berjalan, berapa jauh jarak yang saya tempuh saya sudah tidak ingat lagi. Suasana sangat gelap saat itu. Lalu saya bertemu seorang pemuda. Saya ingin minta tolong, tetapi saya ragu apakah orang ini penjahat atau bukan.
“Jangan rampok saya! Saya barus aja dirampok! Tolonglah saya!” Dia mengisyaratkan bahwa dia ingin menolong saya, tapi bagaimana? Lalu saya teringat: para penculik tidak mengambil kertas yang berisi informasi tentang perkemahan yang akan saya ikuti; mereka menjejalkannya ke dalam kaos saya! Di dalamnya ada nomor telepon penyelenggara perkemahan! Apakah suatu kebetulan bahwa salah satu dari mereka mengembalikan kertas itu dengan memasukkannya ke dalam kaos saya? Tentu saja tidak!
Lalu kami menumpang jeepney (jeep Amerika yang dirancang ulang untuk menjadi kendaraan angkutan dengan kapasitas ± 16 orang), berkeliling kota hanya untuk mencari telepon umum. Di Hongkong, kita dapat menjumpai telepon di setiap sudut kota, di Manila sangat sulit, apalagi di tengah malam seperti ini. Namun saya masih merasa sangat beruntung. Mengapa? Karena dalam petualangan kami mencari telepon, kami memasuki toko-toko dan, bahkan, bar dan nightclub. Kadang kami menumpang jeepney yang lain menjelajahi sudut lain kota Manila untuk mencari telepon. Jadi, saya mendapat kesempatan untuk melihat kehidupan malam di Manila, bahkan di hari pertama kedatangan saya, dan gratis, hanya karena sulitnya menemukan telepon! Pengalaman yang sangat bernilai bagi saya sehingga saya berpikir, “Tuhan Yesus begitu baiknya kepada saya. Untuk kedua kalinya Dia menunjukkan pada saya bahwa masyarakat di sini membutuhkan Injil.” Belakangan, saya mengetahui bahwa tempat saya dirampok dan perkemahan ternyata cukup dekat. Lalu mengapa saya harus bertemu anak muda ini dan berkeliling kota Manila serta melihat kehidupan malamnya? Tepatnya, untuk kedua kalinya Tuhan membuka mata hati saya bahwa tempat ini sangat membutuhkan Kabar Baik tentang Yesus Kristus.
Sepanjang perjalanan mencari telepon untuk mengontak kordinator perkemahan, saya dan pemuda itu terlibat dalam percakapan panjang. Pada satu ketika dia berkata, “Anda sangat beruntung. Biasanya sesudah mereka menculik turis untuk dirampok, mereka membunuh korbannya.” Dia berbicara seolah hal itu sudah menjadi hal yang wajar saja. Namun saya tertegun. Saya tidak dapat berjalan beberapa saat setelah dia berkata demikian, karena kaki saya gemetar tanpa henti. Pada saat itu, saya menyadari betapa nyata dan besar kuasa Tuhan dalam hidup saya.
Akhirnya, sekitar pukul 11 malam itu, sesudah petualangan panjang mencari telepon, saya berhasil mengontak kordinator perkemahan. Dia segera menjemput saya dan membawa saya ke perkemahan. Dia sangat kuatir karena saya menghilang begitu saja sesudah berjanji untuk bertemu di pintu gerbang bandara tadi. Dia sudah mencoba berbagai cara untuk menemukan saya, namun bagaimana mungkin menemukan orang yang hilang karena diculik seperti saya?
Karena malam sudah larut, semua orang di perkemahan sudah tertidur, tidak mengetahui petualangan saya hari itu. Saya diantar ke sebuah tempat tidur yang kosong, lalu saya segera berbaring dan tidur, pulas dan nyaman sesudah melewati hari yang tak terlupakan.
Pengalaman hari itu meneguhkan tekad dalam hati saya, “Saya harus belajar Alkitab dengan baik. Suatu hari nanti saya akan datang dan melayani orang-orang Filipina, karena mereka benar-benar membutuhkan keselamatan dari Tuhan”. Itu sebabnya sesudah Pelatihan Tim yang ke-6, saya mengajukan diri untuk pergi ke Filipina. Baru-baru ini, saya melayani di Nepal. Mudah-mudahan suatu hari nanti saya dapat pergi ke Filipina, kalau Tuhan memimpin saya ke sana.
DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.
Sumber: cahayapengharapan.org