Jadilah Tuhan, Kehendak-Mu

Oleh Tetti Manullang, Bekasi

Aku seorang mahasiswa S2 jurusan Science Accounting di Yogyakarta. Iklim belajar di kampus ini jauh berbeda dengan kampus S1-ku di Jakarta, sehingga tahun pertama studi master menjadi masa tersulit dalam hidupku.

Sebelum masuk kelas, kami diharuskan untuk memahami materi kuliah terlebih dahulu untuk bisa mengikuti proses diskusi di kelas. Resume perkuliahan, presentasi, serta review artikel dari jurnal internasional menjadi santapanku setiap minggu. Oh, masih ditambah lagi dengan tugas akhir berupa proposal untuk setiap mata kuliah yang ada.

Hasil studiku di semester pertama sangat jauh di bawah harapan. Aku sudah berupaya sekuat tenaga untuk mengikuti ritme perkuliahan, tetapi tetap saja aku tertinggal dari teman-temanku. Aku merasa gagal dan kecewa. Aku takut beasiswaku dicabut, mengingat ada standar nilai minimal yang harus dicapai di tiap semester.

Keadaan ini membuatku semakin giat dan semangat untuk memperbaiki nilaiku di semester berikutnya. Tidur pagi dan kembali bangun di pagi yang sama sudah menjadi suatu hal yang biasa bagiku. Aku menghabiskan akhir pekan dengan belajar di kamar atau perpustakaan. Kadang aku juga belajar kelompok bersama teman-temanku sampai malam di kampus.

Hubungan pribadiku dengan Tuhan masih terjaga, tetapi hanya secara kuantitas. Waktu untuk saat teduh dan berdoa selalu kusediakan, tetapi hanya menjadi rutinitas yang tidak terlalu berarti. Bahkan, aku terlibat dalam pelayanan sebagai BPH di Keluarga Mahasiswa Kristen Pascasarjana di kampusku. Namun, karena tuntutan perkuliahanku yang tinggi, aku hanya mengerjakan tugasku secara teknis tanpa merasakan pertumbuhan apapun. Aku sama sekali tidak menikmati pelayananku. Pergi ke gereja menjadi prioritas terakhir kala itu, mungkin hanya 4 atau 5 kali dalam setahun. Aku tidak mau membiarkan waktu belajarku terbuang sedikitpun. Hidupku hanya didedikasikan untuk kepentingan akademis.

Memasuki semester 4, tahap pengerjaan tesis dimulai. Berkat bimbingan seminggu sekali dengan dosen pembimbingku, Pak Ertambang Nahartyo yang disapa Pak Er, proposalku selesai dengan cepat.

Pada hari Kamis yang cukup santai, pikiranku melayang pada ketiak sebelah kananku bagian bawah yang sudah sebulan ini terasa sangat pegal. Awalnya, kukira rasa pegal itu akibat aku sering membawa buku dan laptop yang cukup berat. Namun, aku mulai curiga ketiga mendapati adanya benjolan di area tersebut. Aku pun browsing untuk mencari informasi, kutemukan banyak saran untuk memeriksakan diri ke dokter onkologi. Segera aku menelepon dokter onkologi di Yogya dan membuat janji konsultasi. Jadwalnya masih dua minggu lagi. Berjaga-jaga jika bukan kabar baik yang kuterima, aku memesan tiket ke Jakarta satu hari setelah jadwal konsultasiku agar bisa ditemani keluarga selama melakukan pengobatan.

Aku menarik napas dalam-dalam. Dadaku terasa sesak dan aku menangis dengan suara keras. Sudah kucoba menutup mulut dengan kedua tanganku, tetap saja tidak terbendung. Aku merasa sangat takut. Takut menghadapi vonis dokter, takut menerima kenyataan apabila benjolan di tubuhku ini adalah tumor ganas, dan takut tidak dapat menyelesaikan studiku tepat waktu. Belum lagi, aku memiliki mimpi untuk mengajukan beasiswa pendidikan doktoral dengan syarat lulus studi master tepat waktu. Bagaimana jika kesempatan itu menjauh dariku? Kucoba mengendalikan pikiranku untuk tetap tenang dan berpikir positif.

Kamis yang kutunggu pun tiba. Aku pergi ditemani Mbak Ida, teman kosku, untuk menemui dokter onkologi. Aku di-USG, dan hasilnya menunjukkan bahwa aku mengalami pembengkakan kelenjar getah bening. Untuk mengetahui struktur jaringannya, aku harus segera dioperasi.

Mendengar hal itu, duniaku terasa berhenti sejenak. Aku terdiam sambil berusaha menahan tangisku. Aku dikuasai penuh oleh rasa takutku. Mbak Ida banyak menanyakan kepada dokter seputar penyakitku. Ia bertanya apakah memungkinkan bagiku untuk dioperasi tahun depan setelah lulus kuliah, mengingat posisiku kala itu yang sedang dalam masa penulisan tesis. Namun, dokter menghimbauku untuk segera dioperasi secepatnya dan jangan ditunda.

Keesokan harinya, aku ditemani Mbak Ida untuk menghadap Pak Er. Beliau menyambutku dengan semangat, tetapi aku malah terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Saya mau pamit, Pak.” Aku melanjutkan kalimatku dengan tangisan. Mbak Ida yang menjelaskan kepada beliau bahwa aku akan pulang ke Jakarta untuk berobat.

It’s okay. Pastikan kamu akan sembuh. Kalau saya mengajar di Jakarta, kita janjian bertemu di sana, ya,” respon Pak Er seperti berusaha menenangkanku.

“Semua akan lulus pada waktunya. Cepat sembuh, Tet. Yang penting sembuh, tesis bisa menyusul.”

Ketika duduk manis di kereta dalam perjalanan pulang ke Jakarta, pikiranku melayang-layang. Hati ini gelisah. Sesekali aku menarik nafas panjang karena merasa sesak di dada. Aku begitu takut akan apa yang akan kuhadapi. Aku pun berdoa untuk menenangkan diri.

“Ya, Allah, rasanya sudah terlalu lama aku melupakan-Mu. Aku merasa terlalu kuat untuk menghadapi semuanya sendiri. Aku seperti tidak membutuhkan-Mu. Aku mengandalkan kekuatanku dan menjadi allah atas hidupku sendiri.

Siapakah aku? Aku bukan siapa-siapa, memandang kasut-Mu pun aku tak layak. Aku hanya hamba-Mu yang lemah dan tak berdaya. Ampuni aku, ya Allah. Terima kasih untuk teguran-Mu, terima kasih tidak membiarkanku berjalan semakin menjauh, terima kasih atas kesetiaan-Mu.

Saat ini aku datang, untuk menyerahkan segala kekhawatiranku, segala takutku, masa depanku, harapanku, cita-citaku. Ya Allah, jika engkau tak mengizinkan aku lulus tahun ini tak mengapa, jika aku harus mengubur mimpi doktorku tak mengapa, jika hasil buruk yang harus kuterima tentang penyakitku tak mengapa. Pegang tanganku selalu, jangan biarkan aku sendiri. Kuserahkan semuanya ke dalam tangan-Mu, jadilah seturut dengan kehendak-Mu. Amin.”

Aku menyanyikan lagu NKB No. 14 “Jadilah Tuhan Kehendak-Mu’’. Lagu ini semakin meneguhkanku untuk berserah kepada-Nya.

“Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Kaulah Penjunan, ku tanahnya.
Bentuklah aku sesuka-Mu, kan ku nantikan dan berserah.

Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Tiliklah aku dan ujilah.
Sucikan hati, pikiranku dan di depan-Mu, ku menyembah.

Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Tolong, ya Tuhan, ku yang lemah!
S’gala kuasa di tangan-Mu; jamahlah aku, sembuhkanlah!”

Setelah berdoa dan mengangkat pujian, rasanya beban dan ketakutanku hilang. Kusadari selama ini aku lupa, bahwa beasiswa yang berusaha kupertahankan dan perkuliahan yang kuperjuangkan mati-matian itu berhasil kudapatkan hanya karena kemurahan-Nya. Musim kehidupan ini Tuhan pakai untuk menarikku kembali kepada-Nya.

Aku akhirnya menjalani operasi. Puji Tuhan, tidak ditemukan keganasan! Aku dapat kembali melanjutkan perkuliahan.

Selama kurang lebih dua bulan, aku belum bisa menggunakan tangan kananku dengan normal. Untuk melakukan beberapa aktivitas sehari-hari seperti mandi, mengganti perban, mencuci, membawa tas, atau mengendarai motor, aku masih harus dibantu oleh orang-orang di sekitarku. Aku semakin tersadar akan kebaikan Tuhan yang luar biasa lewat kehadiran keluarga yang selalu menopang dan menghiburku, teman-teman yang membantuku mengejar ketertinggalan di kampus, dan Pak Er yang membimbingku dengan sepenuh hati.

Atas penyertaan dan pertolongan Tuhan, aku berhasil menyelesaikan studi masterku dalam waktu 1 tahun 11 bulan. Dialah sang pemilik hidup kita. Terpujilah Tuhan kini dan selamanya.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment