Ketika Aku Menemukan Berhala dalam Diriku

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat mengapresiasi prestasi, terutama dalam bidang akademis. Sejak kecil, aku didorong untuk rajin belajar, mengikuti kompetisi-kompetisi, dan tampil percaya diri di depan publik.

Satu per satu piala dan sertifikat kukumpulkan. Inilah yang menjadi bahan bakarku untuk mengejar prestasi-prestasi lainnya. Setelah aku lulus SMA dan berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri impianku, keinginan untuk menjadi yang terbaik dan berprestasi terus melekat dalam pikiranku. Aku memutuskan bergabung dengan organisasi debat hukum di kampusku dan mengikuti kompetisi debat pertamaku pada semester dua. Puji Tuhan aku memenangkan debat tersebut. Kemenangan itu melahirkan ambisi dalam diriku untuk memenangkan lebih banyak lagi kompetisi dan menjadi mahasiswa berprestasi. Kupikir tidak ada salahnya mengejar ambisi-ambisi pribadi. Toh, Tuhan juga dimuliakan di dalamnya. Tuhan pasti bangga jika anak-Nya menjadi yang terbaik.

Aku mengikuti kompetisi debat berikutnya ketika aku berada di semester tiga. Awalnya aku yakin proses persiapan menghadapi kompetisi ini akan lebih mudah karena aku sudah berpengalaman sebelumnya. Namun, dugaanku salah. Suatu ketika, saat aku tengah berlatih debat, aku merasa tidak bisa berpikir, seperti seorang penulis yang kehilangan ide untuk tulisannya. Pikiranku buntu.

Selama satu bulan persiapan, aku tidak punya waktu istirahat yang cukup, apalagi saat teduh. Aku merasa sangat kesepian dan kelelahan. Di tengah kebuntuan pikiran ini, secara spontan aku berkata dalam hati, “Ya Tuhan, aku benar-benar tidak bisa berpikir.” Aku tersentak. Setelah beberapa waktu, rasanya inilah kali pertama aku benar-benar memanggil Tuhan. Selama ini aku hanya menyibukkan diri dengan persiapan kompetisi dan aku merasa jauh dari Tuhan. Meski aku sempat berdoa, kupikir doa-doa itu hanya formalitas belaka tanpa adanya kerinduan untuk sungguh-sungguh berbicara dengan Tuhan dan melibatkan-Nya dalam proses hidupku.

Di titik ini, aku sadar bahwa aku telah mengandalkan kekuatanku sendiri. “Untuk siapa aku mengerjakan semua ini? Kalau aku mengerjakannya untuk Tuhan, kalau memang Tuhan berkehendak bagiku, mengapa aku melupakan-Nya di sepanjang proses ini?” pikiranku kembali bertanya.

Hari itu Tuhan telah menegurku dan aku merespons-Nya dengan berdoa memohon belas kasihan-Nya supaya aku dapat melewati kompetisi yang akan kuhadapi. Hari H kompetisi pun tiba. Tim universitas kami berhasil melewati babak penyisihan dan tiba di babak semifinal. Peluang memenangkan kompetisi semakin besar. Aku berdoa memohon Tuhan untuk sekali lagi memberiku kemenangan. Namun, ketika pengumuman semifinal, tim universitas kami mendapat selisih poin tipis. Tim kami kalah dan pikiranku mendadak kosong. Sayup-sayup dalam kepalaku seperti diputar lagu Jesus at the center (Israel Houghton) pada bagian:

From my heart to the Heavens,
Jesus be the center
It’s all about You
Yes it’s all about You

Refrain lagu ini mengatakan bahwa pusat dari segalanya adalah Yesus. Segala yang kita lakukan seharusnya adalah tentang Yesus. Lantas, aku sadar bahwa sejak awal aku ikut kompetisi ini—bahkan sejak aku punya ambisi untuk jadi mahasiswa berprestasi—semuanya adalah tentang diriku sendiri. Aku ingin orang-orang mengakuiku sebagai orang yang berprestasi dan hebat. Tuhan memang bisa dimuliakan ketika anak-Nya jadi yang terbaik, tapi jauh dalam diriku, aku tahu bahwa aku tidak mempersembahkan diriku dan pencapaianku bagi kemuliaan Allah, melainkan kebanggaan diriku semata. Hatiku hancur. Aku merasa hina dan sombong. Kekalahan ini menjadi titik balik dalam hidupku di mana akhirnya aku membuang semua ambisi-ambisi kosong yang kukejar dan pertahankan selama ini dan memutuskan hidup menaati kehendak-Nya.

“Apa yang mengendalikan hidup kita disebut tuan kita. Orang yang mencari kekuasaan dikendalikan oleh kekuasaan. Orang yang mencari penerimaan dikendalikan oleh orang-orang yang ingin dia senangkan. Kita tidak bisa mengendalikan hidup kita sendiri. Kita dikendalikan oleh tuan atas hidup kita” (Rebecca Mainly Pippert, Out of the Saltshaker and Into The World).

Yesus Kristus adalah Pencipta (Kolose 1:16) dan Penebus (1 Petrus 1:18-19). Dialah Tuhan atas hidup kita, satu-satunya Pribadi yang layak untuk mengendalikan hidup kita. Jika ada hal lain yang lebih kita cintai, kejar, dan bahkan mendapatkan makna daripadanya, maka hal itu telah menjadi berhala bagi hidup kita. Berhala manusia tidak lagi berbentuk batu atau patung, namun dapat berupa hal-hal lazim yang ada di sekitar kita: uang, relasi, ambisi, harga diri, dan sebagainya. Inilah bentuk berhala modern yang dapat dengan mudah kita temukan saat ini.

Ketika aku mengejar prestasi demi prestasi dan mengabaikan Tuhan, aku dikendalikan oleh ambisiku. Kebanggaan dan harga diri telah menjadi tuan atas hidupku, menggantikan Yesus Kristus yang seharusnya bertakhta di tempat tertinggi dalam hidupku. Ketika aku mengarahkan hidupku hanya untuk menyenangkan dan memuaskan hasrat hatiku, di sinilah aku sedang menjadikan diriku sendiri sebagai berhala.

Melalui pengalamanku, aku belajar mengenal berhala dalam diriku yang mungkin bahkan tersembunyi dalam diriku sendiri. Pertolongan Roh Kudus di dalam kasih karunia Allah sajalah yang tentunya membuatku mampu mengenal dan menghancurkan berhala tersebut.

Kehadiran berhala dalam hidup kita akan merusak relasi kita dengan Allah, karena Allah tidak akan membiarkan ada ilah lain dalam hidup kita (hukum Taurat yang pertama).

“We were made for God, and until He is or greatest pleasure, all the other pleasure of this life will lead to emptiness” tulis Kyle Idleman dalam bukunya yang berjudul Gods at War. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, sederhananya adalah demikian: “Kita diciptakan untuk Allah. Selain Dia, segala kenikmatan lainnya hanya akan membawa kita kepada kekosongan.”

Hidup dalam berhala hanya akan membawa kita kepada kekosongan, karena tiada Pribadi yang mampu memuaskan kita selain daripada Sang Pencipta, yaitu Allah sendiri. Hanya Dialah Pribadi yang layak menerima semua hormat, cinta, dan ketaatan kita.

Soli Deo Gloria.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment