Ketika Aku Tidak Sependapat dengan Alkitab

Oleh Lim Chien Chong, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Don’t Agree with Bible

Belum lama ini, temanku yang adalah seorang Kristen bercerita bahwa dia sedang mengalami masa-masa yang sangat berat dalam hidupnya. Dia bertanya-tanya mengapa Allah, yang Alkitab gambarkan sebagai Allah yang penuh kasih, mengizinkan semua itu terjadi dalam hidupnya. Dia juga menjadi semakin kecewa ketika Tuhan seolah tidak menjawab doa-doanya. Allah dalam Alkitab ternyata tidak seperti yang diharapkan olehnya.

Ada juga teman Kristenku yang lain yang bercerita kalau dia sedang berpacaran dengan seseorang, tapi hubungan itu adalah hubungan yang jelas-jelas dilarang dalam Alkitab. Mereka sudah saling jatuh cinta, dan hubungan itu sangat berarti baginya. Baginya, perintah Tuhan dalam Alkitab itu tidak masuk akal, terutama tentang dengan siapa orang-orang percaya boleh berpacaran.

Dua orang temanku itu hanyalah contoh dari banyak orang yang aku tahu juga bergumul dengan apa yang Alkitab katakan. Kasus kedua temanku ini terasa lebih berat karena pertentangan yang terjadi bukan hanya masalah doktrin, tapi juga masalah harapan-harapan, kesukaan-kesukaan, dan gaya hidup mereka.

Apa yang kita lakukan ketika kita tidak sependapat dengan Alkitab? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, aku memulainya dengan menelaah kembali asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan yang kumiliki tentang diriku dan tentang Tuhan.

Asumsi #1: Pemikiran dan perasaanku tidak mungkin salah

Segala ketidaksepakatan di antara dua orang terjadi ketika masing-masing pihak merasa yakin bahwa mereka benar. Aku merasa sulit menerima hal-hal yang berbeda dengan apa yang telah aku percaya sebagai hal yang benar sejak dulu. Terlebih ketika aku merasa begitu yakin dengan pendapat dan perasaanku sendiri.

Biasanya, ketika apa yang Alkitab katakan tidak sejalan dengan apa yang kurasakan, kupikirkan, dan kuinginkan, reaksi naturalku adalah mengatakan bahwa Alkitab itu salah.

Tapi jika aku jujur kepada diriku sendiri, aku harus mengakui bahwa ada banyak kali dalam hidupku di mana pendapat, perasaan, atau caraku merespons ternyata salah. Kenyataannya, aku bisa salah—meskipun aku tidak suka mengakuinya.

Aku ingat ketika dulu aku ditolak masuk ke sekolah kedokteran. Tidak seperti teman-temanku yang ingin menjadi dokter karena alasan-alasan pribadi, aku ingin menjadi dokter karena aku ingin “menyelamatkan” nyawa orang-orang. Awalnya aku pikir Tuhan melakukan kesalahan dengan tidak mengizinkanku diterima di sekolah kedokteran. Tapi kini ketika aku melihat kembali hidupku, aku sadar bahwa Tuhan lebih tahu yang terbaik untukku. Banyak orang mendukung pekerjaanku sekarang sebagai seorang guru. Dan ketika aku mengajar firman Tuhan dan membagikan Injil Kristus, sesungguhnya aku sedang “menyelamatkan” jiwa-jiwa untuk kekekalan. Aku mengucap syukur pada Tuhan karena meskipun aku telah salah memandang diriku sendiri, tetapi Tuhan tidak pernah salah.

Asumsi #2: Aku sudah mengerti Alkitab cukup baik

Bagi kita yang sudah menjadi orang Kristen selama bertahun-tahun, kita tentu sudah mendengar banyak khotbah dan sudah banyak membaca serta mempelajari Alkitab. Dengan segala pengetahuan itu, kita mungkin telah memiliki pemahaman tertentu tentang Tuhan dan tentang kehidupan.

Tidak heran kita menjadi bergumul ketika kehidupan tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita pahami. Tapi, jika kita lebih teliti membaca Alkitab sesuai dengan konteksnya, kita mungkin akan menyadari kalau selama ini kita salah memahami maksud Alkitab, dan itu membuat kita memiliki pemahaman yang salah tentang Tuhan.

Dulu aku berpikir kalau Tuhan akan menjawab semua doa-doaku kalau aku mengakhirinya dalam nama Yesus. Tapi, bukan itu yang dimaksud dalam Yohanes 16:24. Kamu bisa membayangkan betapa kecewanya aku ketika aku merasa Tuhan tidak menjawab doa-doaku. Namun akhirnya aku sadar bahwa aku kecewa karena aku memiliki pemahaman yang salah tentang Tuhan. Ketika aku merenungkannya kembali, aku sadar bahwa Tuhanlah yang seharusnya kecewa kepadaku.

Asumsi #3: Tuhan harus bertindak sesuai dengan cara yang kita harapkan

Kita berharap teman dekat kita mengerti dan menerima kita. Kita juga memiliki harapan tertentu tentang bagaimana mereka seharusnya bertindak dan merespons. Karena itu, kita menjadi sangat kecewa ketika mereka tidak memenuhi harapan kita. Jadi, jika Tuhan tidak bertindak dengan cara yang kita harapkan, kita merasa ada yang salah dengan-Nya.

Tapi kita tidak bisa memandang Tuhan dengan cara yang sama seperti kita memandang teman-teman kita. Dia adalah Tuhan yang Mahabesar, yang memerintah dengan hikmat dan kekuasaan penuh. Dalam Yesaya 40:12-26, kita dapat melihat bagaimana bangsa Israel menggambarkan Allah sebagai Tuhan yang tiada tandingannya. Lagipula, jika kita dapat “mengatur Tuhan” dan mengatakan kepada-Nya apa yang Dia harus lakukan, Dia bukanlah Tuhan karena Dia ada di bawah kendali kita.

Jadi, untuk menggantikan ketiga asumsi yang salah itu, berikut adalah tiga pilar keyakinan yang kini aku pegang:

Pilar #1: Tuhan yang menentukan segalanya, bukan aku

Hal paling mendasar yang harus aku perhatikan adalah apakah aku menerima fakta bahwa Tuhanlah yang menentukan apa yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang asli dan palsu, menurut kuasa, kasih, dan pengetahuan-Nya yang sempurna, terlepas dari apa yang aku pikirkan dan rasakan.

Aku bisa saja berbangga diri dan menjadi keras kepala karena aku pikir aku lebih tahu karena aku telah membaca, melihat, dan mengalami banyak hal. Tapi, aku juga bisa memilih untuk rendah hati dan menerima kenyataan bahwa Tuhan yang Mahabesar itu bekerja jauh melebihi apa yang aku pikirkan.

Ketika Ayub dicobai, istri dan teman-temannya berusaha memberikan alasan-alasan “logis” di balik penderitaan yang Ayub alami. Tapi, Tuhan tidak (dan juga tidak harus) bertindak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Pada puncaknya di dalam Ayub 38:1 – 40:2, Tuhan mengingatkan Ayub bahwa Dia adalah Tuhan yang Mahabesar; Di tahu bagaimana mengatur alam semesta yang telah Dia ciptakan, dan hikmat-Nya jauh melampaui hikmat manusia.

Aku sadar bahwa seringkali cara pandang dan penilaianku begitu sempit dan berat sebelah. Masih ada banyak hal yang aku tidak tahu. Sesungguhnya, aku perlu terus belajar dan mempelajari ulang banyak hal. Anak-anakku menjadi guruku dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan polos mereka seperti “Bagaimana ini bisa terjadi?”, “Mengapa harus seperti itu?”, dan “Mengapa ayah mengatakan ini tapi melakukan itu?” seringkali menunjukkanku bahwa ada banyak hal yang aku tidak tahu, dan aku juga tidak sebaik, sebijaksana, sesabar, dan seadil yang aku pikir. Sungguh bodoh jika aku berpikir aku lebih tahu dari Tuhan.

Pilar #2: Tuhan sendiri yang memberikan firman-Nya

Terkadang aku harus menerima apa adanya kebenaran-kebenaran yang tertulis dengan jelas di dalam Alkitab. Pada awalnya aku mungkin tidak mengerti atau tidak setuju dengan kebenaran-kebenaran atau perintah-perintah tertentu. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa Tuhan sudah menuliskan itu semua di dalam Alkitab.

Aku harus menanggapi hal ini bukan dengan cara menghapus atau memoles ayat-ayat itu, tapi dengan mengambil waktu untuk berusaha mempelajari dan memahaminya. Kadang, aku hanya perlu menerima kebenaran-kebenaran itu bahkan ketika aku merasa itu tidak masuk akal. Mungkin kita tidak benar-benar mengerti tentang konsep Allah Tritunggal atau doktrin predestinasi. Mungkin kita tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan terjadi. Mungkin kita tidak tahu mengapa Tuhan tidak menjawab doa-doa kita. Walaupun demikian, kita bisa tetap menyimpan pertanyaan-pertanyaan ini dan menunggu untuk melihat bagaimana Tuhan menolong kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu seiring berjalannya waktu. Ketika Habakuk merasa bingung dengan cara Tuhan yang misterius, jawaban Tuhan kepadanya adalah: “Orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (Habakuk 2:4). Jadi, tunggulah waktunya Tuhan menolongmu.

Pilar #3: Tuhan adalah Tuhan atas dunia ini

Daripada kita berfokus kepada perbedaan antara apa yang Alkitab katakan dan apa yang kita lihat, mengapa kita tidak mencoba melihat banyaknya kesamaan antara Alkitab dan dunia ini? Kita tidak perlu terkejut, karena Tuhan yang memberikan kita firman-Nya adalah Tuhan yang juga menciptakan dunia ini.

Sebuah kebiasaan yang baik yang bisa kita lakukan adalah mencari contoh-contoh bagaimana karakter dan kebenaran Tuhan terlihat di dalam dunia yang kita tinggali dan di dalam pengalaman yang kita alami. Contohnya, kasih, belas kasihan, dan keadilan bukanlah sebuah konsep yang abstrak. Semua hal itu adalah prinsip-prinsip yang penting yang dapat kita lihat dalam hidup dan lingkungan tempat kita tinggal. Mereka seolah menunjukkan (meskipun tidak sempurna) bagaimana Tuhan berinteraksi dengan dunia ini. Tapi cara Tuhan melakukannya tentu berbeda dengan cara manusia melakukannya, karena tidak seperti manusia, Dia sempurna dalam segala hal yang Dia lakukan.

Jadi apa yang dapat aku lakukan ketika aku tidak sependapat dengan Alkitab? Aku rasa aku sudah siap menjawab pertanyaan ini sekarang.

Ketika aku tidak sependapat dengan Alkitab…

1. Aku akan menelisik kembali keyakinanku, pemikiranku, dan keinginanku dan terbuka dalam menghadapi kemungkinan kalau-kalau apa yang kupikirkan tentang dunia ini, tentang hidup ini, bahkan tentang Tuhan mungkin saja salah.

2. Aku akan melihat kembali apa yang Alkitab katakan sesuai dengan konteksnya. Mungkin ada bagian yang terlewati atau salah kupahami ketika aku membacanya.

3. Jika akhirnya aku dapat melihat kesalahan-kesalahanku, aku akan meluruskan kembali jalanku dan belajar untuk melepaskan kesombonganku dan sifat keras kepalaku.

4. Jika akhirnya aku masih tidak sependapat, aku akan memantapkan kembali iman percayaku di dalam Tuhan yang Mahabesar, percaya bahwa Dia akan membuat segala sesuatunya menjadi lebih jelas pada waktu-Nya kelak.

Keempat hal di atas mungkin terlihat biasa, namun tidak mudah untuk melakukannya ketika masalah itu benar-benar datang. Mungkin itulah mengapa kedua temanku itu bergumul. Ketika aku bersyukur karena salah satu temanku itu akhirnya belajar untuk memahami dan menerima bahwa Tuhan mempunyai rencana yang lebih baik untuknya, temanku yang lain kini masih harus bergumul dengan masalah hubungannya yang dilarang oleh Tuhan. Aku berdoa agar dia dapat meluruskan kembali jalannya kepada Tuhan.

Chien Chong mulai melayani sepenuh waktu bersama Singapore Youth For Christ (SYFC) pada tahun 1998 setelah enam tahun menjadi guru di sebuah sekolah menengah. Di tahun 2005, dia diangkat menjadi SYFC National Director. Saat ini dia aktif melayani mimbar dan kelas pendalaman Alkitab di gereja. Selain berkhotbah, dia juga memberi pelatihan dan mengajar di banyak gereja dan kelompok pemuda di Singapura. Dia telah menikah selama 15 tahun dan telah dikaruniai dua orang anak lelaki, Joshua (11 tahun) dan Elijah (8 tahun).

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment