Ketika Membagikan Iman Dianggap Sesuatu yang Aneh

Penulis: Daniel Gordon Ang
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When It Is Frowned Upon To Share Your Faith

Salah satu kenangan yang paling kuingat dari masa-masa kuliah di Amerika adalah kebiasaanku setiap Minggu pagi. Jam 7 aku sudah bangun dan siap-siap ke gereja untuk mengikuti gladi resik bersama tim musik (aku bermain cello) sebelum kebaktian pertama dimulai. Gereja kami diberkati dengan sejumlah musisi berbakat dan seorang music director yang sangat rajin. Ia banyak membuat aransemen himne dan musik klasik yang indah untuk mengiringi kebaktian. Musik yang merdu serta khotbah pendeta kami yang tegas menegur sekaligus menginspirasi, selalu membuat hatiku penuh dengan perasaan hangat dan terharu ketika kebaktian selesai. Rasanya aku telah mendapatkan kekristenan yang cukup untuk minggu itu.

Namun, seluruh perasaan dan suasana itu akan berubah secara drastis saat aku kembali ke kampus untuk sarapan. Di ruang makan kampus yang besar, aku akan menjumpai teman-teman kuliah yang kebanyakan baru saja bangun. Sebagian besar masih mengenakan piyama; sebagian lagi masih memakai baju pesta, kelihatan teler sehabis berpesta-pora pada malam sebelummya. Pernah seorang teman bertanya mengapa pagi-pagi aku sudah memakai pakaian yang rapi. Aku menjawab bahwa aku baru saja pulang dari kebaktian di gereja. Ia mengernyitkan dahinya, “Gereja? Kamu pergi ke gereja?”

Ia tampak keheranan—ekspresinya tidak menunjukkan kebencian atau rasa tidak senang; ia hanya tidak habis mengerti. Di kampusku, “hari Minggu” jelas tidak lagi pernah dikaitkan dengan “gereja”. Aku merasa seperti baru saja melangkah keluar dari komunitas orang kudus di gerejaku, memasuki sebuah komunitas duniawi, di mana tidak ada orang yang berbicara mengenai Alkitab, Tuhan, atau kehidupan setelah kematian.

Begitulah suasana tempat aku menjalani studi saat itu, sebuah kampus elit di timur laut Amerika Serikat. Orang tidak terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap agama, tetapi jelas itu adalah topik yang tabu untuk dibicarakan. Pada umumnya, orang akan mengambil sikap “jangan bertanya, jangan memberitahu” (Don’t ask, don’t tell). Suasana ini begitu menggerahkan sampai-sampai seorang temanku menelitinya untuk tugas skripsi. Ia mewawancarai berbagai macam orang tentang pengalaman mereka di kampus terkait iman pribadi mereka. Salah satu orang yang diwawancarai menceritakan bagaimana ia, saat belum mengerti adat istiadat di kampus itu, sempat melakukan kesalahan fatal dengan membagikan kesaksian tentang apa yang ia yakini sebagai seorang Katolik, berikut peran keyakinan itu dalam hidupnya. Semua orang yang mendengarnya diam membisu sembari melempar tatapan jengah.

Mengenang kembali masa-masa tersebut, aku teringat akan kisah Daniel dalam Alkitab. Sebagai seorang pemuda, ia diambil secara paksa dari keluarga dan bangsanya dan dibawa ke Babel. Di sana ia dididik dalam kebudayaan dan kesusasteraan Babel, agar dapat bekerja untuk raja Babel (Daniel 1). Di tengah lingkungan asing ini, Daniel berani mempertahankan iman serta menaati apa telah diperintahkan Allah kepada orang Israel turun-temurun. Ia menolak menyantap makanan-makanan Babel yang haram, dan lebih memilih mengonsumsi sayur-sayuran dan air. Ia terus berdoa kepada Allah tiga kali sehari, walaupun ada aturan resmi kerajaan yang melarangnya (Daniel 6:10). Untuk itu ia dimasukkan ke dalam gua singa, tetapi Allah menyelamatkannya dari kematian.

Pengalamanku sendiri tidak sedramatis apa yang dialami Daniel dalam Alkitab, tetapi mirip dalam beberapa hal. Sebelum pergi bersekolah ke Amerika, aku menghabiskan kebanyakan waktuku dalam lingkungan Kristen: belajar di sekolah Kristen dan memiliki teman-teman yang hampir semuanya berasal dari keluarga Kristen. Dalam lingkungan yang demikian, setiap hari aku diingatkan akan Allah. Tetapi di sisi lain, aku tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa. Semua orang berbicara dalam “bahasa Kristen”—selalu memuji Tuhan dan berbicara tentang apa yang mereka pikir merupakan kehendak-Nya dalam hidup mereka. Sebagai sesama orang Kristen, aku pun menjadi sangat terbiasa dengan hal itu. Berbicara tentang Tuhan bahkan bisa menjadi cara cepat untuk bisa disenangi oleh orang tua dan guru-guru.

Begitu masuk ke kampus, ceritanya sama sekali berbeda. Mengatakan bahwa tadi kita “pergi ke gereja” adalah sesuatu yang tidak lazim. Memang ada kelas-kelas untuk mempelajari agama, tetapi kita akan dianggap aneh kalau sampai menceritakan pengalaman pribadi kita yang berhubungan dengan agama. Meski ada segelintir orang yang mencela agama secara terbuka, kebanyakan orang sebenarnya tidak peduli dengan hal-hal rohani sama sekali. Mereka hanya berpikir tentang hal-hal yang sifatnya materi—cara pandang mereka bisa dibilang cenderung skeptis (agnostik) dan realistis.

Sebenarnya ada persekutuan Kristen yang kuat di kampus kami. Kadang aku menghadiri pertemuannya, dan terkejut melihat beberapa teman—aku tidak tahu bahwa mereka ternyata orang Kristen juga—hadir di sana. Sekian lama kami berteman, banyak hal yang pastinya sudah kami bicarakan, tetapi kami tidak pernah bicara tentang iman kami masing-masing. Kami semua seperti orang-orang Kristen yang tersembunyi.

Menghadapi situasi semacam ini, aku memperhatikan sebagian orang Kristen akhirnya hanya bergaul dengan sesama orang Kristen saja. Meski bisa dimengerti mengapa mereka bersikap demikian, menurutku itu bukan sikap yang benar. Aku sendiri tetap berusaha berteman dengan siapa saja, apa pun yang menjadi latar belakang kepercayaan mereka. Keterbukaan itu membawaku ke dalam suatu percakapan yang sangat membekas dalam ingatan, sebuah percakapan yang terjadi di ruang makan kampus.

Hari itu aku sedang makan malam bersama sekelompok teman dari jurusan fisika dan matematika. Kami biasanya berbicara tentang soal-soal fisika yang sulit, atau topik-topik dalam sains secara umum. Namun kali ini, entah bagaimana pembicaraan kami menyentuh topik tentang Tuhan. Salah satu teman berkata, “Siapa sih yang masih percaya Tuhan hari-hari begini?” Ia menggelengkan kepala.

Hingga hari itu, aku sangat jarang membicarakan tentang kepercayaanku, tetapi aku berketetapan hati bahwa jika suatu hari ada kesempatan untuk menyatakan imanku, aku tidak akan menyembunyikan fakta bahwa aku orang Kristen. Aku selalu ingat perkataan Yesus dalam Injil Matius: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 10:32-33)

Jadi aku menjawab, “Aku percaya Tuhan. Aku seorang Kristen.”

Temanku tampak kaget. “Serius? Kok bisa? Bagaimana ceritanya?”

Aku mulai menjelaskan keyakinanku. Sebagai seseorang yang suka membaca tentang apologetika—buku-buku favoritku adalah karangan para filsuf dan teolog Kristen seperti William Lane Craig, Alister McGrath, dan Alvin Plantinga—aku sangat senang mendapatkan kesempatan emas untuk bisa mempraktikkan pengetahuanku, apalagi dalam konteks pembicaraan sains. Aku menjelaskan dan memberikan sejumlah argumen mengapa aku percaya kepada Tuhan. Tujuanku pada saat itu sederhana saja. Aku tidak bermaksud “memberitakan Injil”, tetapi aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa sebenarnya ada mahasiswa-mahasiswa “normal” yang sungguh-sungguh percaya Tuhan.

Aku melihat teman-teman agnostik itu bereaksi tak percaya. Selama ini, mereka mengenalku sebagai sesama mahasiswa fisika dan matematika yang cukup pintar, dan bukan salah satu dari kumpulan “orang religius yang aneh”.

Pembicaraan itu berlangsung lebih dari satu jam. Kami terpaksa harus berhenti karena ruang makan sudah mau tutup. Rasanya seperti mengalami sebuah momen “gua singa” dalam skala kecil. Aku adalah satu-satunya orang Kristen di meja itu, menjawab serangan dari segala arah terhadap argumen yang kuberikan. Meskipun tidak ada yang sepenuhnya setuju dengan jawabanku, tidak ada juga yang dapat membantah perkataanku. Aku merasa senang dapat “siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dariku tentang pengharapan yang ada padaku” (Lihat 1 Petrus 3:15).

Setelah lulus, aku dan teman-temanku pun berpisah mengambil jalan kami masing-masing. Aku masih berharap bahwa mereka pada akhirnya akan menemukan Allah, atau setidaknya tergerak untuk memikirkan lebih jauh apa yang pernah kami bicarakan malam itu. Yang lebih penting, aku harap pembicaraan yang hanya sebentar itu dapat memecah kebekuan rohani di kampusku. Aku bersyukur Tuhan telah memberiku keberanian untuk teguh dalam iman, dan bahkan menyatakannya di muka umum.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa momen-momen kecil seperti ini sangat berperan dalam menguatkan imanku. Dalam lingkungan yang begitu sekuler, setiap hal sederhana yang kulakukan, bahkan yang sepertinya tidak berhubungan dengan kekristenan, mengingatkan aku kembali akan apa yang kupercayai. Menghadiri kebaktian di gereja setiap hari Minggu bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi telah menjadi tempat kerohanianku diperbarui setiap minggu. Hal-hal kecil seperti tidak malu berdoa sebelum makan di tempat umum, kini menjadi sesuatu yang kuanggap penting.

Pada akhirnya, Daniel ini berhasil bertahan melewati kuliahnya, sama seperti Daniel dalam Alkitab yang berhasil bertahan melewati hari-harinya di Babel. Adakalanya aku merasa aku seharusnya lebih berani lagi menyatakan imanku, namun aku tahu bahwa aku telah mengatasi pengalaman pertamaku hidup di lingkungan yang sekuler dengan baik, dan aku berdoa supaya Tuhan terus memberiku kekuatan untuk meneguhkan imanku di mana pun Dia menempatkanku kelak.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Dari sekian jumlah teman yang kamu miliki, berapa banyak yang kepercayaannya berbeda denganmu? Pernahkah kamu dan temanmu bertukar pikiran tentang iman masing-masing? Hal menarik apa yang kamu ingat dari percakapan kalian?

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment