Haruskah Kita Mengikuti Kata Hati?

Oleh: Kezia L.
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Follow Your Heart … Really?

Ikutilah kata hatimu, lakukanlah apa yang membuatmu merasa bahagia.

Banyak orang memberiku nasihat ini saat remaja. Berulang-ulang. Kata mereka, itu adalah resep untuk menjalani hidup yang menyenangkan, penuh sukacita. Dorongan untuk mengejar kebahagiaan ini kujumpai di mana-mana—dalam apa yang aku baca, aku tonton, aku dengarkan. Jelas saja pesan itu segera memenuhi pikiranku yang masih labil.

Jadi, aku pun mengikuti kata hatiku—dan terjun bebas ke dalam pusaran pilihan-pilihan yang negatif. Aku gonta-ganti pacar, tak peduli dengan berbagai nasihat dan peringatan yang ada karena aku selalu ingin punya seseorang di sampingku. Hasrat hati dan harga diriku menjadi lebih penting dari orang lain, sehingga aku banyak menyakiti teman-temanku pada masa itu.

Lingkungan tempat aku dibesarkan tidak banyak menolong, malah cenderung mendukung perasaanku. Saat emosiku tersentuh oleh film, lagu, atau perkataan seseorang, dengan sangat mudah aku luluh dan berkompromi. Aku membiarkan perasaanku menentukan penilaian dan tindakan-tindakanku. Emosiku naik turun seperti orang di atas rollercoaster. Aku mengejar orang saat aku merasa butuh, lalu meninggalkan mereka setelah mendapatkan apa yang aku mau. Aku mengejar pencapaian, materi, dan pujian dunia. Sebuah petualangan gila yang membekaskan sebuah lubang besar dalam jiwaku. Aku tidak tahu tujuan hidupku. Aku menghancurkan diriku sendiri, sedikit demi sedikit.

Aku merasa terperangkap, kehilangan arah, dan kebingungan. Ironisnya, rasa sakit itu membawaku kepada keputusan-keputusan yang makin keliru dan bahkan lebih banyak penderitaan. Kata hatiku membawaku kepada kehancuran. Saat itu aku tidak menyadari bahwa hatiku ternyata tidak bisa diandalkan untuk menentukan apa yang baik dan benar. Aku beranggapan bahwa kata hatiku akan menuntunku kepada kebahagiaan.

Setelah sekian lama menderita akibat ulahku sendiri, aku akhirnya menyadari: hatiku tidak bisa diandalkan.

Siapa yang Mengenal Hati Kita?
Yeremia 17:9 berkata: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Pengalaman masa lalu yang buruk membuat jiwaku yang lesu tersentak saat pertama kali membaca ayat ini. Jika hati kita licik dan jahat, mengikuti kata hati bukanlah resep yang bijak untuk menjalani hidup yang berarti dan bahagia. Namun, bila aku tidak bisa mempercayai kata hatiku sendiri, apa yang bisa kupercayai? Siapa yang bisa menyediakan arahan bagiku?

Mazmur 37:4 dan Lukas 10:27 menawarkan jawabannya: “Bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Ada sesuatu yang hilang dalam keyakinan yang kupegang selama ini. Aku kemudian menyadari bahwa hanya Allah yang dapat sungguh-sungguh mengenal hatiku. Ketika aku belajar untuk mengasihi-Nya dengan segenap diriku dan menikmati-Nya (yang aku pelajari dengan menyediakan waktu bersama-Nya secara konsisten), hati-Nya menjadi hatiku, dan kerinduan-kerinduan-Nya menjadi kerinduan-kerinduanku. Aku mulai mendambakan hal-hal yang benar dan ingin menghormati Allah dalam segala sesuatu yang kulakukan.

Sebelumnya aku telah bertindak bodoh. Aku telah membiarkan hatiku yang mudah berubah, membawaku membuat berbagai keputusan dan pilihan yang mengerikan. Memang ada saat-saat aku merasa bahagia bisa mengejar keinginan dagingku dan melakukan apa yang aku mau, namun kebahagiaan itu tidak pernah bertahan lama. Pada akhirnya, aku selalu merasa sangat kosong. Ada sebuah ruang kosong yang besar dalam jiwaku, aku sendiri tidak tahu bagaimana mengisinya.

Tetapi sekarang, dalam perjalanan belajar menikmati Allah lebih dan lebih lagi, aku menemukan bahwa hadirat Allah memuaskanku lebih dari segala hal yang lain. Kini, aku tidak hanya menemukan kehidupan itu jauh lebih menyenangkan, kekosongan yang pernah aku rasakan telah menguap. Sebagai gantinya, aku menemukan limpahan kasih, sukacita, dan kebahagiaan, karena sumber kepuasanku kini ada di dalam Tuhan

Agungkanlah Tuhan sebagai yang pertama dan utama dalam hidupmu. Biarkan Dia memerintah dalam hatimu. Biarkan kepuasanmu ditemukan di dalam Dia saja. Biarkan kemuliaan-Nya menjadi tujuan hidupmu yang utama. Mengikuti kata hati dapat membuatmu benar-benar bahagia, hanya ketika Allah menjadi yang terutama dalamnya.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut:
Bagaimana caramu membuat berbagai keputusan dan pilihan dalam hidup? Apakah kamu cenderung dipengaruhi kata hati atau prinsip-prinsip firman Tuhan?

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment