Di sebuah tumpukan kayu yang sangat kecil sampai disebut gubug-pun tidak layak, seorang pria datang mengantar sebungkus nasi. “Cak To, ini nasi bungkusnya, Cak To..” Dari balik sela-sela kayu itu, seorang bapak yang biasa dipanggil Cak To itu memperlihatkan jari jemarinya yang penuh luka, meraih bungkusan nasi tadi.
“Ini adalah hari keberuntungan saya. Tidak setiap hari saya bisa makan seperti ini”. Ucapnya. “Kalau orang bertemu saya, hanya ada dua kemungkinan. Kasihan atau jijik. Tapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya saya alami”. Tambahnya sambil terdiam sesaat.
1965.
Waktu itu Cak To masih berusia belasan tahun. Dia suka bertaruh dengan teman-temannya ketika sedang bermain. Dalam salah satu taruhannya, temannya harus mencubitnya. Anehnya, cubitan kecil itu dengan mudah mencabut kulit Cak To sampai berdarah. Tapi bukan itu taruhannya. Taruhannya ialah Cak To mengeluh atau tidak. Ternyata Cak To sama sekali tidak mengeluh walau tangannya penuh darah dan kulitnya tercabut. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya itu adalah penyakit yang mengancurkan seluruh hidupnya…..”
1974
Waktu telah berlalu, dan penyakit itu mulai menggerogoti Cak To. Akhirnya semua orang tahu bahwa dia menderita lepra. Dia tahu bahawa dia tidak perlu kata-kata untuk mengerti apa yang ada di pikiran orang-orang lain. Bahkan di pikiran keluarganya sendiri yang mulai menjauhinya…Saat itulah Cak To merasa bahwa keputusan harus ia ambil. Pergi dari rumah dan mulai suatu hidup yang baru, sebagai penderita lepra.
Mulailah Cak To berjalan kesana kemari hingga tiba di sebuah pekuburan kota. Disanalah ia menghabiskan waktunya, minum dari kaleng bekas dan kadang hanya makan daun-daunan dari pohon yang tumbuh dikuburan. “Tiap malam saya bertanya, kenapa saya tinggal di tempat orang mati. Oh, Gusti Allah, lebih baik Engkau bunuh aku! Daripada aku hidup seperti ini.” Saat kalimat itu keluar, saat itulah Cak To memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setelah mempersiapkan tali, Cak To menggantung dirinya sendiri….
Tas!
Belum dua detik ia tergantung, talinya putus. Ternyata Tuhan belum mau ia mati.
Lima tahun berlalu ketika tiba-tiba seorang kerabat jauh datang dan mengajak Cak To tinggal di rumahnya. Namanya Dul Azis. Di rumah itu ia dimandikan dan semua lukanya dibersihkan. Cak To tidak bisa berbuat apa-apa. Suatu hari, tanpa sengaja dia membaca sebuah lembaran yang dibawa Dul Azis pulang dari gerejanya…
Setelah 8 bulan, Cak To tidak tahan kalau hanya duduk diam saja di rumah Dul Aziz. Dia pergi dari rumah dan kembali lagi ke kuburan. 12 tahun lamanya Cak To kembali hidup disana, sampai ia menjadi lelah. Lelah menerima belas kasihan. Lelah menerima hinaan. Lelah menanti antara kesembuhan atau kematian. Dalam keadaan itu, Cak To teringat kepada tulisan di lembaran yang waktu ia baca di rumah Dul Azis. Di situ ada tulisan yang berkata tentang Yesus. Di tulisan itu Yesus berkata “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada BAPA, kalau tidak melalui Aku”. Pertimbangan Cak To selama bertahun-tahun berujung pada sebuah keputusan…
Pada suatu hari minggu, keputusan itu ia jalani. Pintu tempat itu sedang terbuka dan terlihat orang-orang sedang duduk diam mendengar seseorang yang sedang kotbah didepan. Ya, sebuah gereja. Cak To memutuskan untuk pergi ke gereja karena tulisan di kertas yang dibacanya waktu itu. Tanpa alas kaki, Cak To memberanikan diri masuk dan duduk paling belakang. Keheningan sesaat menyambutnya…
Tapi sebenarnya apa yang ia cari di gereja? Ternyata harapan untuk mati masih ada di benaknya. Ia masuk ke gereja karena ia ingin berdoa minta mati saja, akibat penderitaannya yang sangat parah. Tapi ada sesuatu yang aneh buat Cak To. Pengalamannya datang di gereja itu justru membawa efek lain yang betul-betul diluar keinginannya. Di gereja, ia merasa terhibur dan dikasihi oleh Allah. Besar sekali kasih Tuhan yang ia rasakan. Di tempat itu tiba-tiba ia dipenuhi perasaan sukacita dan segala penderitaannya rasanya terangkat saat itu. Bebas.
Peristiwa Cak To yang akhirnya mulai rajin ke gereja terdengar oleh Dul Azis, kerabatnya. “Saya tidak menyangka Cak To datang pada Tuhan hanya dari masalah sepele, yaitu lembaran warta gereja yang saya bawa pulang ke rumah dan dibaca oleh Cak To”.
Bertahun-tahun kemudian, Cak To yang bernama asli Sugiarto ini mau terbuka untuk mengalami proses panjang untuk berubah. Seorang hamba Tuhan pasangan suami istri bernama bapak dan ibu Hardigdo, mau dengan senang hati melayaninya untuk semakin mengenal Tuhan Yesus yang mengasihi Cak To. Cak To yang berbau dengan fisiknya yang sangat lemah tidak membuat hamba Tuhan ini mundur untuk melayani Cak To dengan kasih yang dari Allah sampai akhirnya dia dibaptis dan kondisinya menjadi pulih total. Secara fisik, mental, maupun moral, hidup Cak To mulai tertata dengan baik.
Kebaikan Tuhanpun tidak tanggung-tanggung pada Cak To. Suatu mujizat terjadi. Tiba-tiba ia mendapat warisan dari orangtuanya berupa uang sejumlah Rp.40 juta. Uang itu masuk dalam deposito sehingga dia bisa belajar untuk tidak bergantung pada orang lain dan belajar mandiri. Secara medis, Sugiarto juga dinyatakan pulih oleh dokter, dan teman-temanpun mulai diperolehnya satu demi satu. Tapi untuk ia tinggal kembali di kampungnya, jelas masih banyak orang yang tidak mengerti dan menolak dia. Karena itulah, pasangan suami istri Hardigdo yang masih setia membantu Cak To berencana untuk membangun sebuah rumah mungil untuknya agar bisa hidup layak seperti orang-orang lain.
Kini setiap hari, Cak To sudah bergaul dekat dengan orang-orang disekitarnya. Seorang penjual lontong, Ibu Wati, juga bercerita tentang sosok Cak To yang setiap hari membeli dagangannya untuk makan. Ibu Gimah, tetangganya, juga merasa senang dengan kehadiran Sugiarto di lingkungan rumah mereka. “Dia tidak pernah marah dan sangat sopan. Lewat selalu permisi. Pokoknya baik sekali pak Sugiarto itu”, cerita mereka.
Akhirnya dengan senyum Cak To berkata: “Kehidupan saya, kalau tidak mengenal Tuhan, sudah tidak ada artinya sama sekali. Sepertinya sampah kehidupan saya. Ketika mengenal Tuhan, kehidupan saya terangkat dan mempunyai hidup yang berarti dan berpengharapan”.
Oleh karena engkau berharga dimataKu dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau”. (Yesaya 43:4a)
Sumber Kesaksian: Sugiarto (jawaban.com)