Mengapa Tuhan Mengambil Sesuatu yang Telah Dia Berikan Kepadaku?

Oleh Priscilla G.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good People Suffer

Pernahkah kamu menyesal memberikan sebuah kesaksian?

Ketika aku berusia 19 tahun, aku berdoa dengan sangat keras untuk mendapatkan beasiswa di sebuah universitas lokal. Hanya 3 persen mahasiswa yang diterima dalam program tersebut setiap tahun. Pengajuan beasiswaku diterima meskipun tidak semua hasil ujianku mendapatkan nilai A. Jadi aku memberikan sebuah kesaksian di sebuah pertemuan kelompok kecil, berterima kasih kepada Tuhan karena telah membukakanku pintu kesempatan ini.

Tapi kemudian, di semester pertama dan kedua, nilai-nilaiku tidak cukup baik dan aku diberikan surat peringatan—dua kali. Singkatnya, isi surat itu adalah: tingkatkan nilaimu atau kamu akan dikeluarkan dari program ini. Aku beralasan bahwa aku belum terbiasa dengan kehidupan universitas di semester pertama.

Aku melihat kembali caraku belajar dan mencoba untuk belajar lebih keras dan lebih cerdas. Aku berusaha untuk mengatur waktuku dengan lebih baik. Aku pikir situasinya akan membaik.

Tapi itu tidak terjadi, dan surat peringatan kedua datang mengejutkanku. Aku tidak pernah mendapatkan satupun surat peringatan dalam seluruh pengalamanku bersekolah; tapi kini aku menerima 2 surat peringatan.

Setahuku, aku telah melakukan apapun yang aku bisa dan telah melakukan usaha terbaikku untuk mendapatkan nilai yang lebih baik di semester kedua. Jadi aku begitu bingung ketika melihat nilai akhirku setelah ujian.

Aku gagal paham kenapa nilaiku seburuk itu, di tengah semua hal yang telah kulakukan. Ya, aku tidak berharap mendapat nilai sempurna, tapi aku berharap mendapat nilai yang cukup baik. Aku bertanya dalam hati dan yakin bahwa aku telah melakukan yang terbaik yang dapat kulakukan. Aku mencoba bertanya kepada para profesorku—aku bahkan minta pemeriksaan ulang untuk ujian-ujianku, tapi nilainya tidak berubah. Kemudian, aku menyalahkan Tuhan, yang kepada-Nya aku berdoa untuk mendapatkan nilai yang baik.

Saat itu, aku menyesal telah memberikan kesaksian di awal. Aku pun bergumul untuk mencari maksud dari situasi yang kuhadapi. Aku bukannya tidak bersyukur kepada Tuhan ketika Dia memberikanku kesempatan untuk mengikuti program beasiswa ini. Jadi kenapa Tuhan mengambil sesuatu yang telah Dia berikan kepadaku?

Sejujurnya, Alkitab dan gereja bukanlah hal pertama yang kudatangi untuk mencari jawaban. Aku tidak yakin bagaimana respons orang-orang ketika aku berkata bahwa aku menyalahkan Tuhan. Jadi aku mengalihkan diriku ke Google dan mengetik “kekecewaan kepada Tuhan”, dan menemukan sebuah buku dengan judul yang sama oleh seorang penulis Kristen di Amerika bernama Philip Yancey.

Dalam buku itu, Philip Yancey membahas kitab Ayub, bersama dengan kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya di mana para nabi berseru kepada Tuhan. Setelah membaca buku itu, aku menjadi lebih memahami cara Tuhan bekerja.

3 Pelajaran dari Kitab Ayub

1. Orang benar juga dapat menderita

Philip Yancey menulis bahwa kitab Ayub “menggambarkan hal-hal terburuk yang terjadi kepada seorang yang terbaik”. Ayub adalah seorang yang benar dan tidak bersalah. Dia juga takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (1:1). Allah bahkan mengatakannya sendiri, dan Dia berkata bahwa tiada seorangpun di bumi seperti Ayub (1:8, 2:3).

Tapi dalam sehari, Ayub kehilangan lembu sapi, keledai, kambing domba, unta-unta, dan seluruh anak-anaknya (1:14-19). Di hari yang lain, dia menderita barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya (2:7).

Ketiga temannya, Elifas, Bildad, dan Zofar menganggap bahwa penderitaan yang Ayub alami adalah akibat dosa yang dilakukannya, tapi Tuhan menegur mereka karena telah berkata hal yang tidak benar (42:7). Tuhan juga tidak menyebut dosa apapun yang menjadi alasan Ayub menderita.

Tidak semua penderitaan yang kita alami diakibatkan oleh dosa. Bagi beberapa dari kita, penderitaan yang kita alami bukanlah karena kesalahan kita.

Orang-orang kadang berkinerja buruk di sekolah atau pekerjaan karena mereka tidak bekerja dengan cukup keras, tapi tidak selalu demikian. Mungkin kamu memiliki pengalaman yang serupa denganku: kamu berpikir kamu telah belajar dengan keras, melakukan apapun yang kamu bisa, tapi itu masih tidak cukup untuk mendapatkan nilai yang cukup.

2. Respons kita akan penderitaan kita itu penting

Penderitaan yang Ayub alami diawali karena sebuah percakapan antara Tuhan dan Iblis. Philip Yancey menuliskan bahwa percakapan itu tergambar seperti sebuah taruhan.

Iblis berpendapat bahwa Ayub setia kepada Tuhan karena dia telah diberkati (1:10-11). Tantangan Iblis kepada Tuhan: ambillah semua yang Ayub miliki, dan dia pasti mengutuki Engkau (1:11, 2:5). Respons Tuhan: tantanganmu kuterima, tapi sayangkan nyawanya (1:12, 2:6).

Dan Ayub pun kehilangan segala kepunyaannya. “Ayub, tanpa diketahuinya, sedang beraksi di dalam sebuah pertunjukan kosmik di hadapan para penonton di dunia yang tak terlihat,” tulis Philip Yancey.

Alkitab mencatat contoh-contoh lainnya dari tindakan manusia yang memberikan dampak di dunia yang tak terlihat: sebuah perjalanan misi oleh para murid Yesus yang menyebabkan Iblis “jatuh seperti kilat dari langit” (Lukas 10:1-18), atau satu orang berdosa yang bertobat yang membuat sukacita di surga (Lukas 15:7).

Sulit dibayangkan bahwa respons seseorang dapat begitu berarti di alam spiritual, tapi itulah yang ditunjukkan oleh kitab Ayub. Respons kita akan ujian yang kita alami juga berarti. Ujian bagi Ayub adalah untuk mempercayai Tuhan di tengah segala hal yang terjadi, untuk mempertahankan imannya.

Dalam kasusku, aku percaya ujianku adalah menghadapi risiko dikeluarkan dari program beasiswa yang sangat kuinginkan. Akankah aku masih setia? Ataukah itu akan menunjukkan bahwa aku hanya percaya kepada Tuhan ketika hidupku baik-baik saja?

Aku tidak tahu apakah responsku akan ujian terhadap imanku itu mempengaruhi alam spiritual, tapi aku percaya bahwa responsku itu berkenan kepada Allah (Ibrani 11:6). Aku percaya responsku juga berarti bagi-Nya karena itu meningkatkan imanku dan memperdalam hubunganku dengan Tuhan.

Hari ini, beberapa tahun setelah insiden tersebut, aku dapat mengatakan bahwa aku menjadi lebih tidak tergoyahkan ketika menghadapi masa-masa penderitaan yang lain, masa-masa ketika sepertinya Tuhan mengambil apa yang telah Dia berikan kepadaku. Aku masih menangis semalaman ketika mentorku di gereja (yang Tuhan tempatkan dalam hidupku) meninggalkan imannya dan meninggalkan gereja. Aku juga menangis ketika anggota keluargaku menderita keguguran setelah Tuhan memberikan janin di dalam rahimnya. Jika imanku diibaratkan sebuah rumah, rumah itu menjadi bergetar ketika diperhadapkan dengan masa-masa yang sulit ini, tapi rumah itu tidak runtuh, karena kepercayaan dasarku akan kebaikan Tuhan kini telah menjadi lebih kuat.

3. Ada beberapa hal yang takkan pernah dapat kita mengerti

Tuhan tidak menjawab pertanyaan Ayub, “Mengapa aku menderita?”. Melainkan, Tuhan menanyakan banyak pertanyaan kepada Ayub (Ayub 38-41).

Jawab Ayub: “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (42:3).

R.C. Sproul, di dalam bukunya yang berjudul “Suprised by Suffering” (“Dikejutkan oleh Penderitaan”), menulis: “Satu-satunya jawaban yang Tuhan berikan kepada Ayub adalah pengungkapan akan siapa diri-Nya. Itu seperti Tuhan berkata kepadanya, ‘Ayub, aku ingin mendengar jawabanmu.’ Ayub tidak diminta untuk mempercayai sebuah rencana tapi mempercayai seorang Pribadi, Pribadi Allah yang berdaulat, bijaksana, dan baik.”

Jadi aku belajar untuk mengakui kekecewaanku, keraguanku, dan pertanyaanku kepada Tuhan, seperti yang Ayub lakukan (contoh: 7:11-21, 10:2-18). Aku memilih untuk melanjutkan mengambil tanggung jawab yang lebih besar di gereja, namun aku juga mengakui ketakutanku kepada Tuhan tentang bagaimana tanggung jawab tersebut mungkin mempengaruhi waktu belajar dan nilai-nilaiku. Atas anugerah Tuhan, nilai-nilaiku secara ajaib menjadi lebih baik di semester ketiga, yang ketika itu aku sedang menggumulkan kekecewaanku kepada Tuhan.

Faktanya, kita adalah manusia, bukan Tuhan. Persepsi kita akan waktu dan tempat berbeda dengan Tuhan yang Mahahadir yang melihat waktu dalam kekekalan yang tidak pernah berakhir.

Philip Yancey menulis: “Tidak peduli bagaimanapun kita mencoba merasionalisasikan, Tuhan kadang akan terasa tidak adil dari perspektif seseorang yang terjebak dalam waktu . . . Takkan pernah sampai sejarah berakhir, kita akan mengerti bagaimana ‘Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan’ (Roma 8:28).”

* * *

Atas anugerah Tuhan, aku memberikan kesaksian lagi setelah semester ketiga, tidak hanya karena berkat materi dari peningkatan nilai-nilaiku, tapi juga karena Tuhan yang menopangku dan meningkatkan imanku melalui semua yang aku alami.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment