Mengapa Tuhan?

Oleh: Benedict

Dengarkanlah doaku, ya TUHAN,
dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong,
janganlah berdiam diri melihat air mataku!
Sebab aku menumpang pada-Mu,
aku pendatang seperti semua nenek moyangku.
Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku,
supaya aku bersukacita sebelum aku pergi dan tidak ada lagi!

Mazmur 39:13-14

Seperti Daud, kerap kita bisa merasa bingung dan serba tidak pasti dalam perjalanan rohani kita. Di satu sisi, kita merasa Tuhan begitu jauh; namun di sisi lain, kita juga tahu bahwa Tuhan begitu dekat mengawasi hidup kita, dan tidak ada hal yang bisa kita sembunyikan dari pandangan-Nya.

Mengapa kita bisa merasa Tuhan yang Mahakasih itu begitu jauh dari kita? Apakah itu karena Tuhan sendiri memang sengaja menjauhkan diri dari kita? Ketika kita menyelidiki hati kita, lebih sering kita akan mendapati bahwa perasaan ini muncul bukan karena Tuhan benar-benar jauh, tetapi karena kita tidak memahami jalan-jalan-Nya. Apa yang kita mengerti tidak cukup untuk membuat kita merasa tenang. Tuhan itu Immanuel, Dia selalu beserta kita, namun Dia bukan Tuhan yang berpikiran terbatas seperti kita. Jalan-jalan-Nya tak terselami. Jika kita bisa memahami sebagian dari jalan-Nya, itu hanya karena kasih karunia-Nya.

Di sisi lain, ketika Tuhan mendisiplin kita, kita akan lebih suka jika Dia “mengalihkan pandangan-Nya” dari kita seperti kata pemazmur (39:14). Kita tidak merasa nyaman saat Tuhan mengawasi seluruh bagian hidup kita dari dekat. Kita tidak ingin berubah, karena berubah itu tidak mudah. Kita lebih suka tetap berada dalam zona nyaman kita karena proses “pengudusan” oleh Tuhan itu meliputi hal-hal yang tidak menyenangkan.

Ada masanya pertanyaan “Mengapa?” mendominasi percakapanku pribadi dengan Allah. Aku merasa bahwa Allah seharusnya segera menjawab dan mengubah situasi di sekitarku, namun Dia diam membisu, seolah tidak peduli dengan berbagai pencobaan dan kesulitan yang Dia izinkan terjadi dalam hidupku. Aku merasakan “pandangan”-Nya yang tajam kadang seolah membakarku (Alkitab menggambarkan Allah sebagai api yang memurnikan logam mulia). Bagaimana mengatasi perasaan-perasaan semacam ini?

Aku menemukan jawabannya saat membaca Mazmur Daud ini. Perhatikanlah ayat ke-8. Daud bertanya, “Dan sekarang, apakah yang kunanti-nantikan, ya Tuhan?” Ia lalu menjawab, “Kepada-Mulah aku berharap”.

Kita bertanya “Mengapa?” karena kita merasa begitu khawatir dan bahkan putus asa dengan situasi kita. Kita bertanya-tanya apakah tujuan Allah yang baik dalam hidup kita bisa digenapi dengan adanya situasi-situasi tersebut. Alkitab meyakinkan kita bahwa pada saat kita tidak dapat memahami secara penuh kehendak Allah yang baik itu, kita dapat tetap berharap kepada-Nya. Kita dapat mengharapkan hal-hal yang baik dari-Nya. Sebab, Allah itu baik.

Dia tidak pernah mengecewakan.

diterjemahkan dari artikel ymiblogging: Why, Lord?

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment