Mengevaluasi Kembali Masa Single

Oleh Shintya Tanggara, Surabaya

Usiaku 22 tahun. Aku masih single dan aku belum pernah berpacaran.

Menjadi wanita single ketika kamu berumur 17 tahun itu mudah. Kamu punya banyak teman single sepertimu dan yang kamu pedulikan mungkin hanya jurusan kuliah mana yang mau kamu pilih. Di usia awal-awal 20 tahun pun masih cukup mudah, namun rasanya sedikit lebih tidak nyaman dibandingkan saat usiamu 17 tahun, apalagi jika kamu belum pernah berpacaran sebelumnya. Aku hanya bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi seorang wanita single di usia 30 tahunan!

Orang-orang jadi lebih sering bertanya tentang status hubunganmu dan selalu kepo mencari tahu alasan mengapa kamu masih single. Keluarga dan saudaramu mulai memberimu nasihat secara langsung dan tidak langsung tentang bagaimana kamu bisa lebih bergaul dengan orang lain, atau bahkan supaya kamu menurunkan sedikit berat badanmu. Teman-temanmu mengatakan kalau standarmu terlalu tinggi dan kamu sebaiknya mempertimbangkan berpacaran dengan seseorang—siapapun—hanya untuk mendapatkan pengalaman. Adikmu cemas kalau-kalau kamu tidak akan pernah menikah dan hidup sendiri di sebuah apartemen kecil bersama seekor kucing dan anjing shitzu, dan pada akhirnya pindah ke panti jompo saat usiamu 72 tahun.

Satu nasihat yang seringkali muncul di setiap perbincangan tentang masa single adalah kamu tidak akan bahagia jika kamu tidak menikah. Aku tidak yakin bagaimana orang-orang bisa mendapatkan kesimpulan ini. Mungkin dari drama Korea atau dongeng-dongeng di mana “bahagia selamanya” hanya dapat terjadi ketika dua orang menikah, atau mungkin juga itu berasal dari nasihat bijak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak dipungkiri bahwa kita menyamakan pernikahan sebagai suatu hal yang selalu membawa kebahagiaan, bahwa kebahagiaan ditentukan dari kehadiran manusia lain yang bangun di sampingmu setiap pagi. Tidakkah kamu merasa hal ini tidak adil? Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa menikah? Apakah itu berarti mereka tidak akan pernah bisa bahagia?

Ravi Zacharias berkata momen di mana kamu merasa paling kesepian adalah ketika kamu baru saja mengalami suatu hal yang awalnya kamu pikir dapat memberikanmu yang terbaik, namun nyatanya itu malah mengecewakanmu.

Kurasa salah satu alasan mengapa pernikahan bisa menjadi dingin dan perceraian seolah-olah jadi jalan keluar adalah karena kita mengharapkan sesuatu dari pernikahan yang bahkan tidak pernah ditawarkan oleh pernikahan itu sendiri. Kita membuat ekspektasi yang ilahi pada manusia biasa dan mengingkari perjanjian yang kita buat di depan altar sebagai respons atas kekecewaaan. Kurasa kita harusnya hanya mengharap sesuatu yang ilahi dari yang ilahi, dan mengharapkan hal-hal biasa dari manusia biasa.

Seseorang pernah memberitahuku bahwa semakin banyak kamu mencari uang, uang itu akan semakin menjauh darimu. Namun, jika kamu menekuni apa yang jadi kegemaranmu, uanglah yang akan mengikutimu. Kupikir hal ini mirip dengan kebahagiaan. Semakin kamu berusaha mencari kebahagiaan atau kesenangan, hal-hal itu akan menjauh darimu. Tapi, ketika kamu memfokuskan dirimu pada hal yang benar, kebahagiaan itu akan datang padamu. Kebahagiaanmu tidak boleh menjadi fokus hidupmu. Kebahagiaan seharusnya menjadi sesuatu yang mengikutimu ketika kamu memfokuskan diri pada hal yang benar. Itu sebabnya hidup yang paling menginspirasi adalah hidup yang didorong oleh tujuan, bukan kesenangan.
Satu hal yang telah kusadari—dan yang awalnya kusangkal—adalah pemikiran bahwa untuk mencapai tujuan itu kamu harus menyadari satu hal yang kini seringkali terabaikan dalam kehidupan bergereja: hidupmu bukanlah tentangmu. Ketika kita berdoa pada Tuhan untuk memberkati pekerjaan dan pernikahan kita, atau untuk menyembuhkan penyakit kita, atau ketika kita memberi persembahan dengan harapan mendapatkan berkat++ sebagai imbalan, kita sedang bekerja dengan pola pikir “Tuhan ada di hidupku untuk membuat hidupku lebih baik bagi diriku sendiri.”

Seringkali kita memperlakukan Tuhan sebagai pemain dalam tim kita untuk membantu kita memenangkan pertandingan kehidupan dibandingkan kita yang memposisikan diri sebagai pelayan-Nya. Hidupku seharusnya bukan tentang diriku atau kebahagiaanku. Injil bukanlah tentangku. Isi Injil adalah tentang Tuhan.

Pendetaku pernah mengatakan ini pada kebaktian Minggu kami, “Yesus tidak datang untuk membuat hidupmu lebih baik. Yesus datang untuk menunjukkan padamu bahwa Ia lebih baik dari hidup itu sendiri.”

Bagaimana aku bisa menggunakan hidup yang telah ditebus-Nya ini agar menjadi hidup yang tidak lagi berfokus tentangku? Bagaimana caranya aku bisa menggunakan hidupku untuk mengarahkan orang-orang lain pada-Nya? Tindakan apa yang akan paling memuliakan-Nya?

Tentang masa single-ku, jujur aku pernah tergoda pada tawaran untuk “mencoba berpacaran dengan seseorang hanya untuk setidaknya mendapatkan pengalaman”. Hal apa yang bisa merugikanku jika aku mencobanya? Jika aku membuat komitmen murahan yang aku tahu akan kuingkari hanya demi mendapatkan pengalaman tanpa mempertimbangkan perasaan dan komitmen pihak lainnya, hanya supaya aku tidak merasa tertinggal, supaya orang-orang tidak meremehkanku atau berpikir aku terlalu arogan untuk berpacaran, jika aku mengejar hubungan yang didasari oleh keuntunganku dibandingkan dengan memiliki hubungan Alkitabiah yang didasari oleh tujuan yang jelas. Jika aku melakukan semua ini, maka semuanya hanya akan menjadi usaha berpura-pura yang gagal. Berpura-pura merasa hidupku adalah tentang memuliakan Tuhan ketika pada kenyataannya aku sedang menggunakan Tuhan untuk menyenangkan diriku. Lalu kehidupanku hanya akan menjadi tentang diriku sendiri. Injil hanya akan menjadi tentang diriku.

Aku tidak ditebus supaya aku bisa berpacaran tanpa tujuan. Aku tidak ditebus supaya aku mendapatkan sekadar penerimaan dari orang-orang di sekitarku. Kristus mati untukku supaya di dalamku Ia bisa dimuliakan. Kristus mati untukku supaya aku bisa melihat bahwa Ia lebih baik daripada hidup itu sendiri. Itu adalah satu-satunya cara yang ingin kugunakan dalam kehidupanku, meskipun aku memiliki keterbatasan dan kekurangan.

Itulah alasan mengapa orang-orang yang tidak menikah pun bisa bahagia. Mereka bisa hidup sendiri di sebuah apartemen dengan seekor kucing dan anjing shitzmu dan merasa bahagia. Mereka bisa ke panti jompo pada usia 72 tahun dan merasa bahagia. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada diri kita sendiri maupun orang lain. Kebahagiaan datang melalui pengetahuan bahwa kita telah menggunakan seluruh kehidupan kita, dengan segala keterbatasannya, untuk menunjukkan orang-orang pada kemuliaan Allah yang menyelamatkan kita.

Dan kita mengetahui bahwa suatu hari kita akan menerima penerimaan terbesar yang tidak dapat kita temukan di dunia. Kita akan menerimanya ketika waktu kita telah habis, dan kita kembali bertemu Pencipta kita muka dengan muka. Tuhan akan melihat kita dengan senyuman dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21).

On Christ the solid rock I stand,
All other ground is sinking sand.

Sumber: warungsatekamu.org

Semua kegalauan, keputusasaan, kekosongan yang kamu rasakan dalam hatimu, itu karena Tuhan tidak ada dalam hidupmu. Kita diciptakan untuk punya hubungan dengan Tuhan, tapi karena dosa kita terpisah dari Tuhan.

Tapi sebenarnya Tuhan sudah menyelesaikan masalah ini.
Jawaban dari semua masahmu ada di dalam Yesus, Dia sudah menanggung semua dosa kita di salib. Yesus mati untuk menebus dosa kita semua. Dan Dia bangkit dari antara orang-orang mati . Menang atas dosa.
Yesus melakukan itu semua karena Dia mengasihi kamu.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.

Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment