Menghidupi Sisi Terang Pelayanan dalam Anugerah Tuhan

Oleh Jefferson

Dalam tulisanku sebelumnya, aku membagikan pengalamanku bergumul dengan depresi selama melayani belakangan ini. Kunamakan pergumulan tersebut “sisi gelap pelayanan” karena kebanyakan dari kita menyembunyikan perjuangan kita melawan depresi dari orang lain. Depresi bagaikan kegelapan di pojok ruangan yang lama-lama semakin pekat dan menguasai hati kita tanpa kita sadari sama sekali. Maka sangatlah penting untuk kita terus “bertahan dan berjalan dengan teguh dalam terang Tuhan di tengah bayang-bayang sisi gelap pelayanan, mengingatkan diri dan sesama dari waktu ke waktu bahwa kita telah menerima kuasa dari Kristus untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12).”

Kukira kontribusiku untuk tema bulan ini telah kukerjakan dengan baik lewat tulisan di atas. Namun, ketika membaca kembali tulisanku setelah ia diterbitkan, aku menyadari ada pertanyaan penting yang tidak kujawab: Mengapa aku terus melayani meskipun ada sisi gelap yang begitu menakutkannya? Beranjak dari pemikiran itu, aku sekali lagi merasakan dorongan yang kuat dari Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban atas pengharapan ilahi (1 Pet. 3:15) yang memampukanku terus memberi diri melayani.

Tuhan telah memberikanku kasih karunia-Nya dan menjadikanku sebagaimana aku ada sekarang, maka aku memberikan diri melayani untuk menikmati dan memuliakan-Nya.

Untuk memahami kalimat di atas, kita akan merenungkan dua ayat dari surat rasul yang mendasari pemikiran tersebut. Bisakah kamu menerka ayat mana saja yang kumaksud?

“Tuhan telah memberikanku kasih karunia-Nya dan menjadikanku sebagaimana aku ada sekarang, …”

Untuk memahami landasan dari sisi terang pelayanan, kita perlu mempelajari 1 Korintus 15:10 yang merupakan puncak dari perikop ayat 1-11. Di bagian pertama perikop (ay. 1-7), Paulus mengingatkan jemaat Korintus kepada pesan Injil yang ia beritakan dan sekarang mereka imani (ay. 1) melalui sebuah pengakuan iman terawal yang dicatat dalam Alkitab (ay. 3-7). Paulus kemudian memberikan kesaksian pribadi atas dampak kebenaran Injil Kristus ini dalam kehidupannya di ayat 8-11. Sangat mungkin Paulus menulis bagian ini sambil mengenang perjumpaannya dengan Yesus dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9:3-9). Pertemuan itu, yang menjadi titik balik kehidupannya, begitu berdampak pada diri Paulus. Di tengah kebutaan fisiknya (Kis. 9:9), anugerah Allah membukakan mata rohaninya untuk melihat dengan jelas keberdosaan dirinya sebagai penganiaya jemaat Allah. Paulus lalu bahkan menyebut dirinya sebagai “yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul” (ay. 9). Kasih karunia Allah kemudian menuntun Paulus untuk melihat dan mensyukuri betapa berharganya anugerah keselamatan dalam Kristus (bdk. Rm. 7:24-25) sehingga ia dengan tegas menambahkan dirinya adalah sebagaimana adanya sekarang oleh karena kasih karunia Allah (ay. 10a).

Kesaksian Paulus bisa saja berakhir di sana dan meninggalkan kesan yang bertentangan dengan Injil. Kita dapat salah mengira kalau pelayanan Paulus yang begitu berdampak dan luas adalah hasil usahanya sendiri untuk membayar kembali pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Puji Tuhan, Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa ia bekerja lebih keras dari rasul-rasul lainnya, bukan untuk membuktikan dirinya sendiri atau untuk membayar kembali kemurahan Tuhan, tetapi supaya karunia Allah dalam dirinya tidak sia-sia (ay. 10b). Jadi, siapa yang sesungguhnya bekerja dalam pelayanan Paulus sebagai seorang rasul? Allah Tritunggal, yang dalam kasih karunia-Nya terus menyertai Paulus lewat pribadi Roh Kudus (Flp. 4:13). Pemahaman inilah yang membuat Paulus terus memberi diri melayani Tuhan, bahkan ketika menghadapi berbagai rintangan (2 Kor. 6:3-10), bahkan ketika dalam segala hal ia dapat bermegah dalam dirinya sendiri (Flp. 3:4-6).

Apa yang bisa kita pelajari dari tulisan Paulus ini? Pertama-tama, yang terutama dalam pelayanan bukanlah pelayanan, tetapi identitas Allah dan siapa kita di dalam-Nya. Seperti Paulus, ketika kita memahami dengan jelas realita keberdosaan dan ketidaklayakan diri kita, dan betapa berharganya anugerah keselamatan Allah dalam Kristus, kita dapat mensyukuri siapa diri kita sebagaimana adanya sekarang. Seperti yang diingatkan Pdt. Jeffrey Siauw dalam artikel terbarunya, kita dipanggil terutama bukan untuk melayani Tuhan, tetapi untuk kembali kepada-Nya sebagai anak-anak-Nya (Yoh. 1:12) dan berelasi dengan-Nya.

Rasa syukur ini semakin meluap-luap ketika melihat bahwa dalam usaha terkeras kita sekalipun untuk melayani, bukan kita yang bekerja, melainkan “kasih karunia Allah yang menyertai [kita]” (ay. 10b). Konsekuensinya, kita tidak dapat bermegah sama sekali atas pelayanan kita, karena pada dasarnya bukan kita yang melayani. Natur dosa tidak dapat memampukan manusia untuk melayani Allah; hanya kasih karunia Allah yang dapat menaklukkan hati manusia untuk taat kepada Kristus (2 Kor. 10:5b). Gagasan ini seperti menyiratkan bahwa Tuhan akan “memaksa” kita untuk melayani, tapi kenyataannya Ia ingin agar kita memberi diri melayani berdasarkan kehendak bebas kita. Itulah mengapa Paulus dapat mengklaim bahwa “kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepada[nya] tidak sia-sia”, sebab dalam kehendak bebasnya, ia memilih untuk meresponi kasih Allah dengan memberi diri melayani (ay. 10a), bahkan ketika ia merasa dirinya sebagai yang paling tidak layak untuk menerima anugerah Tuhan (ay. 9; bdk. Rm. 7:24-25 dan 2 Kor. 12:1-10).

Bagaimana kita mengaplikasikan kebenaran ini dalam kehidupan? Aku melakukannya dengan merenungkan kembali perjalanan pelayananku yang sangat jauh dari layak dan sempurna, tapi Allah dalam kasih karunia-Nya tetap bekerja dalam semuanya itu. Kamu mungkin mengira aku sudah cukup lama berkecimpung dalam pelayanan, tapi sebenarnya aku baru mulai melayani sejak sekitar 6 tahun yang lalu. Salah satu pelayanan pertamaku adalah di kepanitiaan retret komisi remaja, di mana pada suatu kesempatan aku tidak mematuhi perintah pembinaku dengan egois. Ketidakdewasaan, kesombongan, dan kepercayaan diri yang berlebihan mewarnai pelayananku hingga saat ini dan menjadi salah satu alasan mengapa aku terlibat dalam banyak pelayanan. Pada mulanya, aku menerjunkan diri dalam berbagai pelayanan karena ingin tahu di bidang pelayanan mana aku dapat paling menikmati dan memuliakan Tuhan, sehingga menurutku adalah wajar untuk mengerjakan dan belajar dari sebanyak mungkin pelayanan yang bisa kutangani. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa aku menjadi buta terhadap kebenaran dalam 1 Korintus 15:10. Aku bergantung pada diriku sendiri hingga kurang istirahat dan menjadi lebih rentan terhadap serangan depresi. Anugerah Tuhan pasti selalu cukup, tapi manusia lemah dan terbatas (2 Kor. 12:9). Oleh karena itu, kita perlu menyadari sampai di mana batas kita dapat melayani sebagaimana adanya kita sekarang (1 Kor. 15:10).

Sekarang kita beralih kepada satu tujuan yang memberi kekuatan kepada sisi terang pelayanan.

“… maka aku memberikan diri melayani untuk menikmati dan memuliakan-Nya.”

Dalam satu kata, tujuan dari pelayanan adalah “sukacita”. Dua ayat pertama dalam Ibrani 12 menantang kita untuk mengerjakan dengan tekun setiap pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan untuk kita (ay. 1, bdk. Ef. 2:10) dengan mengikuti (“melakukannya dengan mata yang tertuju kepada”; ay. 2) cara Tuhan Yesus melayani: untuk sukacita “yang telah ditetapkan bagi-Nya” (Ibr. 12:2 AYT). Demi sukacita yang akan Ia dapatkan, Tuhan Yesus rela mati di atas kayu salib untuk memulihkan kembali relasi yang rusak antara Allah yang adalah Kasih dengan manusia berdosa.

Aku hampir dapat mendengar helaan napas kebingunganmu setelah membaca paragraf di atas. “Jadi Yesus melayani dan mati untuk sebuah alasan yang hedonistik?”

Ada kekeliruan cara pandang dalam pertanyaan tersebut. Kalau kita percaya bahwa Yesus benar-benar mati dan bangkit hanya untuk keselamatan kita, betapa besarnya ego kita! Hanya Allah yang berhak menjadi tujuan terutama dari segala hal (Rm. 9:23); di luar itu adalah dosa (Rm. 1:25). Di sisi lain, sukacita Kristus bukanlah kebahagiaan egois manusiawi, melainkan sebuah sukacita karena telah mentaati kehendak Bapa-Nya di surga (Yoh. 4:34; ada bentuk-bentuk lain dari sukacita Kristus yang tidak dibahas di sini, seperti kemenangan atas dosa [Ibr. 1:3] dan pertobatan manusia [Lk 15:7]) dan memuliakan-Nya (Yoh. 13:32). Yang menakjubkan di sini adalah sukacita-Nya dalam Ibrani 12:2 ini adalah milik kita juga, sebab sukacita Kristus ada di dalam kita dan akan menjadi penuh (Yoh. 15:11).

Apa implikasinya bagi pelayanan? Dalam poin sebelumnya, kita mempelajari bahwa pelayanan adalah bentuk luapan rasa syukur atas kasih karunia yang Allah anugerahkan kepada kita yang menjadikan kita sebagaimana adanya sekarang. Setiap pelayanan yang kita lakukan adalah sebuah pengalaman merasakan kasih karunia-Nya bekerja dalam dan lewat diri kita, bahkan dalam kelemahan. Di bagian ini, kita diberitahukan tujuan dari pada pelayanan kita: agar sukacita kita dalam Kristus menjadi penuh (Yoh. 15:11). Bagaimana caranya? Dengan meniru cara Kristus melayani, menaati kehendak Allah (Yoh. 4:34) dan mengembalikan segala kemuliaan kepada Ia (Yoh. 13:32) yang memberikan kita kasih karunia demi kasih karunia untuk melayani (Yoh. 1:16). Maka kita melayani untuk menikmati dan memuliakan Allah Tritunggal.

Kamu mungkin sepakat dengan gagasanku tentang pentingnya mengarahkan pelayanan kepada Allah serta sukacita dan kemuliaan-Nya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah ide yang abstrak. Bagaimana kita dapat mengaplikasikannya dalam pelayanan kita? Jika diminta membahas tentang kemuliaan Allah, beberapa penulis mungkin akan menggunakan dan menekankan pada perikop-perikop yang relevan dari lima kitab Musa dan kitab Wahyu. Aku pun merasa mereka adalah sarana yang baik untuk menggambarkan sukacita dan kemuliaan Allah, tetapi harus diakui bagian-bagian itu kadang terlalu berbeda secara budaya sehingga dipahami. Oleh karena itu, berdasarkan perkataan Kristus bahwa kehidupan kekal adalah mengenal Allah Tritunggal (Yoh. 17:3), berikut adalah beberapa cuplikan sukacita yang kudapat dari pelayanan yang kukerjakan:

Jemaat datang tepat waktu untuk menikmati hadirat Tuhan dalam ibadah Minggu; anak-anak belajar tentang identitas Tuhan yang mereka sembah serta bermain dengan guru-guru dan teman-teman dengan riang gembira; para remaja melihat dan mengagumi keindahan Injil Kristus yang kuajarkan; saudara/i seiman yang kumuridkan mengikut Kristus dan bersaksi bagi Dia dalam bidang pekerjaan masing-masing; antusiasme jemaat dalam dimuridkan untuk mencapai kedewasaan rohani dan keserupaan dengan Kristus; bibirku yang najis menjadi perantara Firman Allah yang kudus; orang-orang yang lemah bermegah dalam kasih karunia Allah; jemaat berpartisipasi lewat doa, dana, dan daya untuk menyelesaikan misi kerajaan Allah; setiap pribadi semakin mengenal dan mengasihi Allah hingga mencapai kedewasaan rohani dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef. 4:13).

Untuk sukacita dan kemuliaan Allah yang kurasakan melalui hal-hal kecil itulah aku melayani. Setiap langkah pelayanan membawaku satu langkah lebih dekat kepada kepenuhan Allah yang sempurna dalam pribadi Kristus, yang terus bekerja dalam diri setiap orang percaya untuk memberitakan Injil-Nya kepada dan memuridkan segala suku bangsa. “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36).

Hidup dalam realita pelayanan sebagaimana kita adanya

Kamu mungkin dapat menebak bahwa aku meminjam istilah “sisi gelap” dan “sisi terang” dari serial film Star Wars. Awalnya aku hanya ingin mencari judul yang tepat untuk tulisan tentang depresi dan pelayanan. Namun, ketika datang ilham untuk menuliskan alasanku melayani, aku memutuskan untuk meminjam juga istilah yang satunya lagi.

Serial Star Wars hingga saat ini terdiri atas tiga trilogi utama: episode IV–VI dengan Luke Skywalker sebagai tokoh utama, episode I–III yang menceritakan transformasi Anakin Skywalker menjadi Darth Vader, dan episode VII–IX yang berpusat pada Rey sebagai pengguna utama dari sisi terang The Force. Kalau kamu perhatikan dengan saksama, semua tokoh ini menghadapi dilema yang sama: Apakah mereka akan terus hidup dalam sisi terang The Force, atau malahan jatuh ke dalam sisi gelap? Kamu mungkin mengetahui pilihan yang (pada akhirnya) diambil oleh Anakin dan Luke, yaitu untuk berdiam dalam sisi terang The Force. (Sayangnya kita baru bisa mengetahui keputusan Rey dua bulan lagi saat episode IX dirilis.)

Apa yang ingin kusampaikan dari ilustrasi ini? Seperti para ksatria Jedi, dalam melayani, kita akan selalu diperhadapkan dengan pilihan untuk terus hidup melayani dalam terang dan anugerah Tuhan, atau menyerah saja kepada sisi gelap pelayanan. Dari waktu ke waktu pilihan pertama akan terasa sangat sulit, sementara pilihan kedua akan terdengar begitu mudah dan menggoda. Ketiga tokoh utama kita berkali-kali menghadapi godaan untuk bergabung dengan sisi gelap The Force, namun mereka (termasuk mungkin Rey) pada akhirnya selalu berhasil menguasai diri. Kita bukan tokoh utama Star Wars, karena dalam dosa kita akan cenderung memilih untuk mengikuti sisi gelap pelayanan. Tapi syukur kepada Allah, Ia bukanlah kuasa ilahi impersonal seperti The Force! Ia adalah Allah yang berpribadi, salah satunya Roh Kudus yang tinggal di dalam kita untuk mengajarkan dan mengingatkan semua yang telah dikatakan Tuhan Yesus kepada kita (Yoh. 14:26). Kita pun dimampukan untuk terus hidup dalam sisi terang pelayanan sehingga kita dapat berjalan dengan yakin di dalam Kristus melewati lembah sisi gelap pelayanan untuk mencapai rumah Tuhan, di mana pada akhirnya kita akan menikmati sukacita dan kemuliaan Allah selama-lamanya (Mzm. 23).

Marilah kita melayani dalam kesadaran penuh akan realita ini dan terus bergantung kepada Tuhan, dari satu kasih karunia menuju kasih karunia lain dari-Nya (Yoh. 1:16).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment