Menjadi Pemimpin di Kelompok Kecil, Cara Tuhan Mengubahkan Hidupku

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Sewaktu duduk di bangku kuliah di kota Pekanbaru, aku mengikuti pembinaan dalam sebuah kelompok kecil yang diselenggarakan oleh Komunikasi Mahasiswa Kristen (KMK) di kampusku. Awalnya aku tidak pernah terpikir untuk ikut kegiatan ini. Keadaan ekonomi keluargaku yang sedang sulit membuatku ingin segera lulus dan mendapat nilai terbaik. Aku tidak ingin ikut kegiatan yang kupikir dapat mengganggu aktivitas studiku.

Aku sudah mengenal Kristus sejak SMP dan aku juga berjemaat di sebuah gereja. Hal ini jugalah yang menjadi alasan lain mengapa aku enggan mengikuti kelompok kecil dari KMK tersebut. Tapi, kakakku menasihatiku. Dia ingin aku berada di lingkungan Kristen yang baik, karena aku tinggal merantau di kota lain. Lalu, teman-temanku pun banyak yang mengajakku, hingga akhirnya aku mengiyakan ajakan mereka dan ikut dalam kelompok kecil.

Kami sepakat untuk rutin bertemu seminggu sekali, tapi itu tidak berjalan dengan konsisten. Kenyataannya, kami hanya bisa bertemu sebulan sekali atau bahkan lebih jarang dari itu. Karena tidak konsisten, aku merasa imanku tidak bertumbuh dengan baik. Namun aku bersyukur karena ada orang-orang di luar kelompokku yang tetap membantu dan mendukung pertumbuhan imanku. Mereka mengunjungiku, memberi saran buku yang bisa kubaca, sharing firman Tuhan, juga memberiku konseling pribadi.

Setelah dua tahun tergabung dalam kelompok kecil, rekan-rekan di persekutuan mendukungku supaya aku dapat memuridkan kembali adik-adik tingkatku, membagikan kesaksian tentang keselamatan dan pengajaran yang telah kuterima selama aku menjadi anggota kelompok kecil supaya lebih banyak lagi mahasiswa yang menjadi murid Kristus yang berdampak.

Tapi, aku menolak panggilan itu. Aku merasa tidak layak dan tidak mampu. Lagipula aku sendiri sedang mengalami kesulitan keuangan dan memiliki penyakit. Namun, setiap kali aku melihat adik-adik tingkatku atau melihat adanya kelompok kecil yang tidak berjalan efektif seperti kelompokku, aku merasa gelisah. Seandainya saja kelompok kecil itu dapat berjalan efektif, pasti akan menolong pertumbuhan rohani anggotanya. Dalam hatiku aku ingin supaya mahasiswa bisa jadi agent of change, yang selain diperlengkapi secara ilmu akademis, juga memiliki kedewasaan rohani agar kelak mereka bisa menjadi dampak melalui hidupnya. Akhirnya, setelah mendoakannya, aku menerima panggilan tersebut.

Aku lalu memilih nama “Vania Griselda” sebagai nama kelompok kecil yang aku pimpin. “Vania” adalah kata dalam bahasa Rusia yang artinya “hadiah dari Tuhan”. Sedangkan “Griselda” adalah kata dari bahasa Jerman yang artinya “wanita yang bertempur”. Jadi nama ini menggambarkan harapanku untuk anggota kelompokku. Mereka adalah hadiah dari Tuhan, yang Tuhan pilih untuk berperang memenangkan jiwa bagi-Nya.

Kelompok ini terdiri dari delapan mahasiswi yang latar belakang dan karakternya berbeda-beda. Tiap mereka punya cerita, kejatuhan, dan pergumulan sendiri-sendiri. Dari awal proses pendekatan sampai tahun-tahun berikutnya, menggembalakan mereka bukanlah proses yang mudah. Ada beberapa dari mereka yang perasaannya sangat sensitif, ada pula yang kalau bicara blak-blakan hingga membuat orang lain tersinggung. Tapi, aku berusaha untuk tidak menjadikan itu sebagai halangan. Aku belajar untuk menjadi bagian dari mereka. Aku mendengarkan setiap cerita mereka, mencoba menengahi konflik-konflik yang terjadi di antara mereka, mengajarkan firman Tuhan, membantu mereka saat jatuh, dan berusaha untuk menjadi teladan buat mereka. Ketika konflik terjadi karena masalah kedekatan dan kecemburuan, aku berusaha untuk membagi waktu dan perhatianku sama rata supaya tidak ada kesan aku pilih kasih. Dalam setiap pertemuan, aku menyiapkan bahan pengajaranku dengan sebaik mungkin sebab pemikiran mereka sangat kritis.

Sejak aku menjadi pemimpin kelompok kecil ini, hari-hari sebagai mahasiswa yang awalnya ingin kulalui dengan tenang berubah jadi lebih menantang. Aku harus menjadi rekan seperjalanan iman bagi mereka. Ada waktu, dana, dan tenaga yang harus aku korbankan di tengah pergumulan pribadi dan sederet masalah lain yang harus kuhadapi. Kami meluangkan waktu untuk belajar Alkitab bersama, berdoa bersama, dan juga sharing proses kehidupan kami masing-masing. Kami juga berlatih untuk saling mengingatkan, menegur, dan menghibur, serta melakukan pelayanan lainnya baik di dalam persekutuan ataupun di luar. Semua itu adalah pembelajaran buat kami mengikis ego kami dan berkomitmen untuk mau saling belajar.

Tapi, di waktu-waktu yang sulit dan berat itulah aku jadi sering merenungkan bagaimana ketika Tuhan Yesus sendiri menjadi gembala bagi kedua belas murid-Nya. Dalam pelayanan-Nya di bumi, selain mengajar dan menyembuhkan orang banyak, Tuhan Yesus juga memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk menjadi penjala manusia (Matius 4:18-22). Yesus selalu mengajak mereka ke mana Yesus pergi dan mengajar mereka lewat firman yang diucapkan-Nya dan lewat perbuatan-Nya. Yesus selalu sabar di tengah kelemahan, keraguan iman, dan motivasi-motivasi yang tidak benar dalam diri murid-Nya. Yesus menegur (Matius 16:23), mendoakan (Lukas 22:32), sekaligus menghibur dan menguatkan mereka (Matius 14:27 dan Lukas 6:23). Ketika konflik terjadi, Yesus ada dan menyelesaikannya (Lukas 9:46-48). Yesus juga mengambil bagian terkecil untuk melayani dengan membasuh kaki Petrus (Yohanes 13). Yesus, dikhianati oleh murid-Nya, dan disiksa oleh orang yang membenci-Nya, namun Dia tidak menaruh dendam. Yesus memaafkan mereka (Lukas 23:34).

Semuanya itu rela ditanggung Tuhan Yesus demi mempersiapkan mereka yang awalnya tidak mengenal Injil menjadi orang yang kelak bukan hanya sekadar menerima, tetapi juga menjadi pembagi berita Injil. Yesus menjadikan para pengikut-Nya memiliki kualitas murid supaya dapat menghasilkan murid kembali. Buah dari segala pelayanan dan penggembalaan yang Yesus lakukan itu adalah kesebelas murid-Nya yang dulu hidup hanya untuk diri sendiri menjadi orang yang hidup untuk Injil. Buah dari karya-Nya. Inilah yang membuat banyak orang sampai saat ini bisa mengenal dan menerima Injil.

Proses pemuridan dan penggembalaan yang kulakukan selain mengubahkan adik-adikku, ternyata juga memberikan mengubahkan hidupku. Karakter buah-buah rohku dibentuk. Aku dapat konsisten melakukan disiplin rohani yang menolongku mendisplinkan diriku sendiri. Karakterku yang dulu suka moody sekarang bisa lebih stabil, aku lebih sabar, dan aku pun jadi pribadi yang lebih terbuka. Selain itu, aku belajar menjadi lebih bijak mengelola aktivitas dan keuanganku. Aku juga menjadi orang yang berserah dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan lewat doa. Karunia mengajar dan menggembalakanku semakin terasah. Bahkan aku mendapatkan keluarga dan komunitas baru yang senantiasa mendukung dan menolongku, yaitu adik-adik rohaniku. Dan, puji Tuhan, pelayanan yang dulu kupikir dapat membuat kuliahku terganggu, ternyata malah membuatku jadi semakin termotivasi untuk menunjukkan teladan dalam studiku. Aku dapat lulus sarjana dalam waktu 3 tahun dan 10 bulan, lebih cepat daripada yang kupikirkan.

Ketika tantangan terasa sulit dan aku ingin menyerah, aku mengingat kembali bagaimana penggembalaan yang Yesus lakukan menghasilkan buah yang begitu besar. Inilah yang menjadi motivasiku. Seberapapun seringnya adik-adik rohaniku jatuh, sesakit apapun konflik yang kami alami, sebesar apapun masalah dan tantangannya, aku tetap bertahan untuk menjadi kakak rohani yang baik buat mereka. Karena sama seperti kesetiaan Tuhan yang menghasilkan banyak jiwa, aku pun ingin kelak melalui kesetiaanku boleh ada murid-murid Kristus baru yang dilahirkan.

Pada akhirnya, lewat proses pemuridan dalam kelompok kecil ini aku juga dapat melihat perubahan yang nyata dalam diri adik-adikku. Mereka yang awalnya tidak mengenal Kristus secara pribadi kini menerima jaminan keselamatan. Mereka yang dulu hidupnya sesuka hati kini belajar memprioritaskan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Mereka yang awalnya hidup untuk diri sendiri kemudian berganti menjadi orang yang mau kembali memuridkan adik-adik lainnya.

Membina komunitas dan menggembalakan adik-adik rohani mungkin bukan hal yang mudah. Butuh pengorbanan waktu, tenaga, uang, serta pikiran dan perasaan kita akan terkuras di samping kita juga harus mengurusi pergumulan pribadi kita. Namun, ketika kita mau belajar taat dan setia pada panggilan Tuhan, kita dapat melihat kehadiran komunitas dan penggembalaan itu sebagai salah satu cara Tuhan membentuk dan memproses kita untuk semakin serupa dengan Kristus hingga akhirnya kita kembali membagikan proses itu sendiri dan menghasilkan lebih banyak lagi jiwa buat Tuhan.

Tulisan ini ditulis sebagai apresiasi kepada Tuhan dan juga kedelapan anggota kelompok kecilku: Wan Devi, Dewi, Sophia, Rosmelisa, Rinda, Raisa, Martina, Tetty.

Sumber: warungsatekamu.org

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Kalau kamu ingin mengenal siapa Yesus lebih lagi, silahkan chat dengan kami.
Silahkan Whatsapp ke:
Whatsapp: +62 889-1466-144

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment